Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Industri manufaktur tumbuh lebih lambat dari perekonomian nasional.
Daya saing manufaktur padat karya menurun.
Penghiliran bisa mendongkrak industri, tapi minim serapan tenaga kerja.
SELAMA satu dekade terakhir, industri manufaktur tumbuh lebih lambat daripada ekonomi nasional. Perannya terhadap penyerapan tenaga kerja pun semakin berkurang. Merujuk pada data Badan Pusat Statistik, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) sektor manufaktur berada di kisaran 4 persen sejak 2013 hingga kuartal ketiga 2023. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi nasional selama periode tersebut mencapai 5 persen. Pada kuartal III 2023, misalnya, PDB manufaktur hanya 4,84 persen, sedangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 5,05 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menuturkan perlambatan di industri manufaktur terutama terjadi pada bisnis pengolahan produk berorientasi ekspor. Pelemahan permintaan di tengah lesunya perekonomian global membuat kinerja industri tersebut ikut turun. “Kami juga melihat memang daya saing beberapa industri manufaktur terindikasi menurun, terutama yang bergerak di sektor padat karya,” tuturnya kepada Tempo, Senin, 8 Januari 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Industri manufaktur padat karya menghadapi tantangan tingginya biaya produksi. Kenaikan upah minimum yang terjadi di sentra-sentra industri tidak disertai kenaikan produktivitas. Di sisi lain, persaingan untuk mengundang investor global terus meningkat. Kini beberapa negara menjadi sumber pertumbuhan baru industri sejenis, seperti Bangladesh dan Vietnam. Salah satunya karena upah minimum tenaga kerja mereka yang lebih rendah.
Kondisi tersebut bakal mempengaruhi serapan tenaga kerja Indonesia. Pasalnya, selama ini industri manufaktur mempunyai peran penting dalam penyediaan lapangan kerja yang besar. Peran ini, menurut Josua, belum bisa digantikan industri lain.
Pekerja menyelesaikan produksi air conditioner (AC) di LG Factory, Legok, Kabupaten Tangerang, Banten, 23 Mei 2023. TEMPO/Tony Hartawan
Pemerintah memiliki target untuk terus mendongkrak pertumbuhan industri manufaktur. Dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015-2035, Indonesia menargetkan pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sebesar 9,1 persen. Kontribusinya pada PDB ditargetkan mencapai 27,4 persen dengan melibatkan tenaga kerja hingga 21,7 juta orang. Namun target ini bakal direvisi dengan target pertumbuhan dipatok 6,4 persen, kontribusi pada PDB 19,2 persen, dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 22,6 juta orang.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual mengatakan penurunan kinerja industri manufaktur, khususnya padat karya, tak terhindarkan. Dominasi industri pengolahan Cina membuat negara-negara lain kesulitan bersaing selama bertahun-tahun. Terlebih, Indonesia belum terlibat dalam rantai pasok produk olahan di pasar global.
Di dalam negeri, investor pun sudah lebih berfokus pada industri padat modal ketimbang industri padat karya. Menurut David, peralihan ini terjadi seiring dengan berkembangnya teknologi untuk membantu proses produksi. “Makin banyak automasi, mekanisasi, untuk efektivitas dan efisiensi,” kata David.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Shinta Kamdani mengkonfirmasi peralihan dari investasi di industri padat karya ke padat modal dan teknologi. “Sekarang trennya sudah berubah. Dengan adanya perkembangan teknologi, tidak butuh banyak tenaga kerja lagi,” katanya. Itulah sebabnya penyerapan tenaga kerja turun, dari sekitar 4.000 orang untuk tiap investasi senilai Rp 1 triliun pada 2014, menjadi hanya sekitar 1.000 orang untuk nilai yang sama pada 2021.
Buat Indonesia yang memiliki bonus demografi, pelemahan industri manufaktur, terutama padat karya, bisa menjadi petaka. “Ini bisa jadi liabilitas kalau kita tidak cukup menciptakan lapangan kerja,” ujar Shinta. Dia menilai dukungan terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah bisa menjadi salah satu solusi urusan tenaga kerja nasional.
Selain itu, Shinta menilai perlu strategi dari pemerintah dan pengusaha untuk meningkatkan kemampuan tenaga kerja Indonesia. “Sulit untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja kalau tidak ada transformasi keahlian yang sifatnya radikal dan signifikan mengubah tingkat kompetensi serta produktivitas tenaga kerja nasional,” ujarnya.
Terlepas dari lesunya sektor padat karya, Shinta optimistis industri manufaktur masih akan tumbuh. Dia menyebutkan program penghiliran mineral dan logam bisa menjadi salah satu pendongkraknya. “Problemnya memang berapa banyak tenaga kerja yang diserap,” katanya.
Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono pun menyebut program penghiliran sebagai upaya reindustrialiasi. Namun kebijakan ini sangat mengandalkan modal dan teknologi asing. Dia tak melihat ada upaya berarti untuk mendorong transfer teknologi dan kemampuan domestik.
Yusuf mengatakan pemerintah harus mengarahkan angkatan kerja produktif yang berlimpah untuk membangun keunggulan baru perekonomian, yaitu industri yang tidak lagi sekadar mengandalkan buruh murah atau sumber daya alam, serta membangun kapabilitas industri nasional.
Menurut dia, bonus demografi yang bakal mencapai puncaknya pada 2030 tidak akan berguna jika tak mampu mendorong daya saing industri dan perekonomian Indonesia. “Kombinasi dari rendahnya kualitas angkatan kerja dan deindustrialisasi dini menyebabkan bonus demografi tidak banyak memberikan manfaat ke industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
VINDRY FLORENTIN | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo