Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Persentase Pemulihan Aset Masih Rendah

Wawancara Kepala PPATK Dian Ediana Rae tentang pembahasan RUU Perampasan Aset yang tertunda. Indonesia kehilangan kesempatan membangun ekonomi yang transparan.

9 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae di Istana Negara, Jakarta, 6 Mei 2020. Edwin Dwi Putranto/Republika/Pool

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • DPR menunda pembahasan RUU Perampasan Aset.

  • Undang-undang yang penting membangun ekonomi yang tranpasaran.

  • Ekonomi negara-negara maju yang memiliki UU Perampasan Aset melaju pesat.

RANCANGAN Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dibutuhkan untuk memudahkan penarikan dan penanganan aset yang diduga berasal dari kegiatan ilegal. Namun Dewan Perwakilan Rakyat menolak RUU itu dibahas dalam Program Legislasi Nasional 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Dian Ediana Rae menilai aturan tersebut mendesak untuk disahkan. Kepada wartawan Tempo, Hussein Abri Dongoran dan Raymundus Rikang, Dian memberi penjelasan tentang urgensi aturan tersebut melalui video telekonferensi pada Jumat, 8 Oktober lalu.

RUU Perampasan Aset tak masuk Prolegnas 2021. Bagaimana sikap Anda?
Jika dibilang kecewa, ya, tentu saja kecewa. Saya mengira hal itu akan menjadi kenyataan, ternyata belum berhasil tahun ini. DPR menyatakan akan segera berkoordinasi dengan pemerintah dan berjanji mengusungnya pada Prolegnas tahun depan.

Mengapa RUU ini gagal masuk Prolegnas 2021?
Waktunya mepet untuk membahas RUU itu, sementara ada regulasi lain yang sifatnya sama-sama mendesak. Semoga janji dibahas di masa sidang 2022 tak meleset karena makin lama aturan ini keluar, makin sulit kita melakukan asset recovery.

Seberapa urgen regulasi ini?
Aturan ini mengisi kekosongan hukum untuk mengatasi tindak pidana ekonomi. Memang sudah ada Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, tapi implementasinya kurang optimal. Penerapannya harus digabung dengan tindak pidana asal, misalnya kasus narkoba atau korupsi. Aturan ini memudahkan pemerintah menangani aset yang diduga diperoleh dari bisnis ilegal. Pemiliknya wajib melakukan pembuktian terbalik, asetnya didapat dari aktivitas yang sah.

Presiden mendukung penuh pengesahan RUU ini?
Kami beberapa kali berdiskusi dengan Presiden Joko Widodo dan sejumlah menteri. Presiden cukup responsif karena beliau menaruh perhatian pada rendahnya persentase pemulihan aset di negara kita.

Seperti apa rendahnya pemulihan aset di Indonesia?
Dalam kasus korupsi KTP elektronik, misalnya, kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun. Tapi aset yang disita cuma Rp 400 miliar.

Di negara lain, bagaimana aturan ini diterapkan?
Sejumlah negara maju sudah menerapkan regulasi ini, seperti Amerika Serikat. Undang-Undang Perampasan Aset turut membantu membangun sistem perekonomian yang transparan, akuntabel, dan cepat. Tanpa kecepatan itu, kita makin sulit mendeteksi pencucian uang karena bisa jadi asetnya hilang atau dialihkan menjadi bisnis yang legal.

Publik ragu terhadap kemampuan pemerintah mengelola aset yang disita dari kasus kejahatan. Undang-undang itu bisa menjadi solusi?
Sudah kami siapkan instrumennya secara detail dalam RUU itu. Aturan dalam draf itu dibuat dengan governance yang tinggi, misalnya pelaporan statistik dan data yang lengkap. Kejaksaan sebagai pengelola aset wajib melapor secara berkala kepada kepala negara. Manajemen aset ini menjadi salah satu mandat Presiden Joko Widodo ketika membahas draf undang-undang ini.

Kami menerima informasi ada keberatan mengenai kewenangan menangani aset dari lembaga penegak hukum?
Ada dispute mengenai hal itu di awal, tapi semuanya sudah clear. Kewenangan merampas aset masih dipegang oleh jaksa. Selagi aset itu masih bermasalah, kejaksaan akan menangani. Pokoknya Kementerian Keuangan akan menerima hasil perampasan aset yang sudah beres dan tak berkasus lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus