Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dana, mutu, dan gudang

Jalur tata niaga cengkih yang baru, bermula dari petani, kud, akhirnya bppc, belum efektif. kendala yang dihadapi bppc antara lain mutu, dana dan gu- dang.

17 Agustus 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Untuk menampung 70.000 ton panen cengkeh, BPPC akan menombok Rp 130 milyar. Cengkeh petani yang ditolak BPPC akan diapakan? RASA letih sehabis mengikuti reli mobil Gudang Garam agaknya belum hilang tatkala Hutomo Mandala Putera -- panggilan akrabnya Tommy -- sudah harus menelusuri kemelut cengkeh. Ada apa? Kenyataan menunjukkan bahwa tata niaga cengkeh yang baru, dengan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) sebagai tulang punggungnya, belum bekerja sebagaimana yang diharapkan. Situasi semakin runyam setelah kritik berhamburan dari berbagai arah. Apalagi sebagian besar petani merasa terpukul lantaran impian mereka akan harga cengkeh Rp 7.000-Rp 8.500 per kilo, seperti yang pernah dijanjikan Tommy, kini buyar begitu saja. Jalur tata niaga baru yang digariskan Departemen Perdagangan, yang bermula dari petani, lalu KUD, akhirnya ke BPPC, ternyata tidak efektif. Menurut Tommy, "Kalau mau melihat BPPC sempurna sekarang ini, sama saja dengan mengharapkan bayi yang baru lahir langsung lari," demikian kutipan Jawa Pos dari wawancara dengan Tommy, Kamis pekan lalu. Boleh jadi, Tommy benar. BPPC yang lahir enam bulan lalu bersama-sama tata niaga -- yang diciptakan untuk meningkatkan pendapatan petani -- tampaknya belum lincah. Sebagai Ketua BPPC, ia mengakui, itu terjadi karena berbagai kendala. Salah satu kendala menyangkut mutu. Katanya, BPPC kerap menolak pembelian dari KUD karena mutu cengkeh yang ditawarkan tak memenuhi standar. Bahkan tak sedikit cengkeh yang masih hijau kadar airnya lebih dari 50%. Padahal, ambang batas yang bisa ditenggang oleh BPPC maksimum 15% (kadar air) dan 10% (kadar kotoran). Ini bisa terjadi, kata Tommy, "Karena petani tergesa-gesa menjual cengkehnya." Akibatnya, harga si emas cokelat terbanting ke Rp 3.000-4.000 per kilo. Bahkan, di beberapa daerah di Jawa Timur, cengkeh hanya dihargai Rp 1.400-1.700 per kilo. "Berat sekali bagi KUD kalau harus membeli cengkeh yang bermutu jelek dengan harga dasar," kata Drs. Slamet Waluyanto, Sekretaris KUD Anjasmoro di Jombang. Namun, mengolah cengkeh menjadi komoditi yang bermutu ternyata bukan perkara gampang. Kebanyakan petani, yang sumber hidupnya hanya dari cengkeh, tak punya pilihan lain kecuali buru-buru menjual cengkeh, semata-mata demi memenuhi kebutuhan perut. Fasilitas untuk mengeringkan cengkeh saja, mereka tak punya. Fasilitas itu, misalnya, berupa pelataran untuk menjemur, gudang, dan alat ukur (tester). Alhasil, karena mereka menjemur di sela-sela halaman rumah, bahkan di tengah jalan umum yang padat debu, wajar bila kadar kotoran cengkehnya cukup tinggi. Tentang perkara ukur-mengukur berat dan mutu cengkeh sebenarnya ada pihak yang lebih bertanggung jawab. Surveyor yang ditunjuk berdasarkan SK Menteri Perdagangan adalah Sucofindo. Menurut I Nyoman Moena, Direktur Utama Sucofindo, pengujian mutu cengkeh oleh pihaknya hanya dilakukan pada saat KUD akan menjualnya kepada BPPC. Ini berarti, pengujian itu baru dilakukan atas dasar permintaan dari BPPC. Menurut ketentuannya, pengujian harus tuntas dalam tempo tidak lebih dari 48 jam, dan jumlah cengkeh yang akan diuji minimal satu ton. Untuk itu, Sucofindo sudah membangun sedikitnya 12 pos pengukuran di setiap ibu kota provinsi yang menjadi sentra produksi cengkeh. Namun, Moena membantah bahwa pihaknya ikut menghambat tata niaga. Ditegaskannya, ia belum pernah menerima laporan hingga sekarang. "Faktanya, kami memang tidak pernah menolak pengujian setiap cengkeh KUD yang akan dijual kepada BPPC," ujarnya. Setelah melalui proses pengukuran, banyak cengkeh yang mutunya jauh di bawah kualitas yang ditetapkan. Lalu, dibeli atau tidak? Menurut Moena, "Itu terserah BPPC." Namun, jika petani tak mungkin menjual cengkehnya ke KUD, mengapa ia tak dibolehkan menjual ke pihak lain? Perkara jual beli adalah perkara duit. Boleh jadi, KUD tak punya dana, mungkin juga gara-gara kucuran kredit BRI yang tersendat-sendat. Ir. Sugianto, Direktur Kredit BRI, tidak membantah hal ini. "Banyak KUD di daerah, terutama di Sulawesi Utara, kekurangan dana," katanya. Alangkah baiknya jika Pemerintah akan mendongkrak anggaran Rp 6 milyar, dari Rp 77 milyar. BRI juga sudah mencairkan Rp 19 milyar, terutama untuk KUD-KUD di daerah penghasil cengkeh terbesar, seperti Sul-Ut, Sul-Teng, Sul-Sel, Maluku, dan Ja-Tim. Sedangkan BPPC? Menurut Tommy, untuk menghadapi panen raya tahun ini -- sekitar 70 ribu ton -- BPPC hanya akan mengandalkan pinjaman lunak dari Bank Bumi Daya sebesar Rp 359 milyar. Cukup? Ternyata, BPPC masih harus menombok Rp 130 milyar. Toh, Tommy tampaknya tak perlu ambil pusing. Dari hasil menjual 20 ribu ton stok cengkehnya ke Gudang Garam, bulan lalu, sedikitnya BPPC akan mengantungi Rp 258 milyar, sedangkan hingga pekan ini, BPPC baru menyangga 7.600 ton. Rendahnya skala pembelian BPPC itu, tampaknya, juga terbentur pada soal gudang. "Karena banyaknya cengkeh yang dipanen, gudangnya nggak cukup," kata Tommy. Jadi, kini semakin jelas mengapa tata niaga cengkeh yang baru itu tidak bisa menggelinding. Apa komentar Menteri Perdagangan Arifin Siregar? "Yang pasti, masalah ini menjadi perhatian serius Pemerintah." Ini dikemukakannya pada Bisnis Indonesia, Jumat pekan lalu. Moebanoe Moera dan Iwan Qodar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus