ROBBY Tjahjadi, dua pekan belakangan ini digayuti perasaan tak menentu. Ada bahagia tapi ada juga sedih. Rekan-rekannya tiap sebentar menelpon, menyampaikan selamat karena keberhasilannya membangun pabrik tekstil di Bawen. Namun, mereka juga mempertanyakan berita yang dimuat majalah TEMPO (edisi 13 Oktober 1990). Dalam cerita itu, disinggung sepintas masa lampau Robby yang "gelap", hingga terkesan bagaikan ada cacat hitam di tengah-tengah sukses bisnisnya yang cerah. Robby sendiri tidak mengingkari adanya cacat itu. Bahkan dalam obrolan panjang dengan reporter Sugrahetty dan penanggung jawab rubrik Ekonomi & Bisnis, Max Wangkar, dari TEMPO, ia bicara apa adanya. Misalnya mengenai teman-teman dekat yang banyak mengulurkan bantuan, tentang tekadnya untuk menjadi pengusaha yang bonafid, dan cita-citanya ingin membangun pabrik tekstil terpadu. Robby dan keluarganya tinggal di kawasan elite, Menteng, Jakarta Pusat. Selain taman yang apik, di sana juga ada tiga sedan mewah: sebuah Baby Benz dan dua Honda Accord. "Hobi saya memang mobil, makan, dan baju bagus," kata Robby, 48 tahun, yang tampak perlente dan awet muda. Dengan istrinya Chandra Sari, 44 tahun, ia dikaruniai empat anak. Robby yang mengaku cuma tamatan SMA, bershio kuda, dan sebagai warga keturunan Cina ia percaya bahwa shio kuda ditakdirkan bekerja keras. Berikut, petikan wawancara Robby: Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana orang dengan masa lampau seperti Anda bisa come back dan bahkan bisa membangun sebuah pabrik tekstil yang besar. Apa motivasi Anda? Saya disebut seorang bekas narapidana, itu memang fakta. Tapi saya ingin membuktikan bahwa saya bisa membangun negara. Umur saya 48 tahun, sebenarnya sudah senja. Uang saya banyak. Kalau didepositokan saja, bisa hidup dari bunga. Tapi, dengan mendirikan industri tekstil, saya bisa memberikan kesempatan kerja kepada banyak orang. Kedua, membantu Pemerintah mencari devisa. Pabrik saya, kalau sudah rampung April tahun 1991, akan menampung tenaga 6.000 orang. Saya mau membangun industri tekstil terpadu, mulai pabrik serat poliester sampai industri pakaian jadi. Itu nanti akan menyerap 20.000 tenaga kerja. Mengapa saya memilih lokasi Jawa Tengah, itu juga karena di sana pendapatan rata-rata masyarakat adalah yang paling rendah. Saya yakin kalau ada apa-apa, masyarakat tentu melindungi perusahaan saya. Bagaimana Anda bisa bangkit? Sekeluar saya dari tahanan, semua teman saya datang. Mereka semua sudah jadi pengusaha besar. Teman saya dari kecil Robby Ketek (Robby Sumampou), Ronny, dan banyak pengusaha pribumi datang membantu. Kenalan saya ada di mana-mana, dari yang kelas bawah sampai kelas atas (Robby lalu menyebut beberapa nama pengusaha muda yang kini beken). Bahkan seorang pejabat tinggi yang dulu mengadili saya, telah membantu sehingga rumah ini bisa dikembalikan. Dulu rumah dan mobil-mobil saya disita. Lalu, Anda terjun lagi ke bisnis? Saya jual beli properti, juga ekspor impor. Saya kumpulkan duit pelan-pelan, saya menghemat. Nasib baik kembali pada tahun 1987. Saya memegang TSSB (Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah). (Waktu mengelola TSSB, hanya dalam tiga tahun saja, Robby berhasil menghimpun rezeki besar dari lahan yang kontroversial itu. Cuma jumlahnya tak disebutkan. Tapi jika pabrik tekstilnya menelan investasi Rp 380 milyar, dan 35% ditanggung sendiri, modal Robby setidaknya mencapai Rp 130 milyar). Tahun 1986, industri tekstil mengalami boom. Saya lihat peluang di situ. Saya pergi ke Taiwan dan mempelajari industri tekstil di sana. Penduduknya 20 juta, memiliki 10 juta spindel (mata pintal). Penduduk Indonesia 180 juta, tapi cuma memiliki dua juta spindel. Saya lihat industri di sana sudah mulai bangkrut. Katakanlah tutup lima juta spindel, tentu bisa kita ambil alih. Apalagi permintaan tekstil dunia akan terus meningkat. Jadi, pasar pasti ada. Itu sebabnya saya berani langsung mendirikan pabrik (raksasa) dengan 120.000 spindel. Selama ini biasanya orang mulai cuma dengan 30.000 spindel. Bagaimana Anda bisa mendapatkan kredil dari bank pemerintah? Saya jelaskan kepada (Dirut Bapindo) Pak Subekti Ismaun. Saya kasih lihat bahwa saya punya uang banyak, ditaruh di luar negeri. Kalau dibantu, saya mau tanamkan di Indonesia. Saya berasal dari keluarga yang sudah 30 tahun lebih menjalankan usaha tekstil, yakni PT Naga Rajut Mills. Perusahaan ini memproduksi kaus dan garmen, sekarang sudah ekspansi ke Tangerang. (Direktur Kredit Bapindo, Towil Herjoto yang ditemui di lapangan golf Bedugul, Bali, membenarkan bahwa Robby mempunyai modal yang diperoleh dari TSSB. "Itu kan bisnis yang legal," ujar Towil.) Berapa kredit yang sudah diambil? Yang dicairkan Bapindo baru Rp 120 milyar, tapi pinjaman saya dihitung dalam dolar. Sekarang Pemerintah menjalankan pengetatan likuiditas sehingga Kanindo harus cari pinjaman sendiri dari luar negeri. Tokai Bank (bank Jepang yang juga menjadi mitra Bapindo) beberapa hari yang lalu sudah mengonfirmasikan pada kami, bahwa mereka mau kasih kredit (untuk impor mesin tekstil dari Toyo Menka) sebesar US$ 78 juta. Tokai menanggung US$ 35 juta, dan yang US$ 43 juta akan diberikan oleh konsorsium yang dipimpin Tokai Bank. Kredit itu akan disalurkan lewat Bank Bumi Daya. Bunganya? Saya bukan nasabah utama, sehingga Bapindo memungut bunga sekitar 2% di atas SIBOR (suku bunga pinjaman antarbank di Singapura). Tokai kasih bunga 2% di atas LIBOR (suku bunga pinjaman antarbank di London). Sebab, konsorsium Tokai nanti melibatkan bank Inggris dan Jerman. Orang Bapindo dan BBD bilang bahwa kondisi yang diberikan Tokai kurang bagus, tapi buat Kanindo cukup memuaskan. Kami memang nasabah baru. Jika sudah jadi nasabah utama dan kondisi likuiditas membaik, tentu kami akan dapat fasilitas prime (nasabah utama). Berapa tahun investasi akan kembali modal? Mudah-mudahan delapan tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini