Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Kuala Tanjung Dengan Catatan

Ekspor pertama alumunium batangan (ingot), produksi pt. inalum, dari kuala tanjung, asahan, ditengah-tengah resesi dunia, harga yang sedang merosot, dan industri jepang yang lagi kendur. (eb)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUARA peluit kapal Ocean Prima terdengar nyaring mengalahkan rintik hujan yang turun renyai di Pelabuhan Kuala Tanjung, Asahan, Sumatera Utara, 14 Oktober siang. Perlahan-lahan kapal milik PT Samudera Indonesia berbobot mati 16.000 ton itu, yang memuat 8.000 ton aluminium, meninggalkan pelabuhan dengan iringan lambaian tangan lebih seratus pengunjung yang terpaksa berpayung melepas keberangkatannya. Itulah ekspor pertama aluminium ingot (batangan), produksi PT Inalum, setelah perusahaan patungan Indonesia Jepang tersebut memulai produksinya Januari 1982. Ekspor bernilai US$ 12 juta adalah sebagian dari 16.000 ton yang sudah selesai dihasilkan. Menurut rencana, sisa produksi yang 8.000 ton akan dikapalkan ke Jepang lagi, sebagai pembeli tetap, bulan Desember. Bisa dimengerti bila Bisuk Siahaan, Wakil Ketua Otorita Pengembangan Proyek Asahan (OPPA), yang di samping Menteri Perindustrian d.m ketua OPPA A.R. Soehoed merupakan arsitek provek Asahan, tampak menyeringai ketika disalami banyak orang." . . . seluruh perhatian luar negeri tertuju pada kita, bahwa di masa resesi dunia, sebuah proyek besar di Indonesia dapat selesai dibangun tepat pada waktunya," katanya. Dia patut bangga. Proyek PLTA Asahan dan pabrik aluminium di Kuala Tanjung yang terpisah sekitar 120 km garis lurus itu, dan akhirnya menelan biaya sebanyak US$ 2 milyar, seperti kata Bisuk, adalah yang paling besar di Asia dan Benua Australia. Pada 1984 bangunan raksasa itu--yang 75% sahamnya dimiliki pihak Jepang dan 25% kepunyaan pemerintah Rl--akan mampu memproduksi aluminium ingot sebanyak 225. o00 ton. Tapi yang menjadi pertanyaan: Adakah resesi dunia yang sampai sekarang masih melanda sektor industri di Jepang akan bisa pulih? Pasaran aluminium saat ini turun drastis, setelah mencapai masa emas harga rata-rata di atas US$ 2.000 per ton tiga tahun silam. Di pasaran tunai, seperti diakui orang No.2 proyek Asahan itu, harga kini berkisar pada US$ 1.10( per ton. Itu pun bisa lebih turun. Banyak industri yang menggunakan aluminium ingot sebagai bahan baku, seperti mobil, pesawat terbang dan industri bangunan (real estate), ikut terkena angin resesi. Dir-Ut Inalum, Seo, yang menggantikan Takasakumi Gonda, merasa prihain juga melihat perkembangan harga aluminium. "Sejak Maret atau April 1980, cadangan batangan aluminium di dunia terus bertambah, sedangkan harga pasaran aluminium semakin menurun," kata Seo. "Industri peleburan aluminium di dunia sedang mengalami masa sulit. Inalum pun tidak luput dari situasi tersebut." Toh menurut Bisuk Siahaan, ekspor pertama dari Kuala Tanjung itu dijual dengan harga yang di atas angin: US$ 1. 500 per ton. Adakah itu harga di atas kcrtas sembari menunggu pulihnya pasaran? Ada yang beranggapan begitu. Sekalipun menurut Bisuk, itulah harga kontrak dengan konsorsium pembeli di Jepang. Kalau benar begitu, masih perlu dilihat apakah pengiriman kedua, dalam praktek, akan tetap tunduk pada harga kontrak itu. Namun demikian, Dir-Ut Inalum merasa "yakin pasaran aluminium akan pulih pada waktu mendatang," selama aluminium masih berperan, "sebagai logam kedua yang terpenting setelah logam besi." Dan mengingat proyek raksasa itu merupakan kebanggaan masyarakat Sum-Ut, Bisuk Siahaan, yang oleh rekan-rekan Jepang-suka dipanggil "Mr. Asahan," menghimbau Pemda Sum-Ut: "Perlu dipersiapkan peraturan-peraturan daerah yang mendorong terciptanya iklim usaha yang sehat serta tidak bertentangan dengan peraturan tingkat nasional." Sampai sekarang, menurut Bisuk, pihak daerah masih belum memiliki bahasa yang sama dengan pusat. Berbagai pungutan, baik berupa Ipeda dan pajak lain, tetap mereka harapkan bisa dipungut dari proyek Asahan. Bisa dimengerti. Sebab, seperti kata seorang pejabat daerah, kalau pajak-pajak itu sudah masuk ke Jakarta, "kembalinya ke kas daerah sungguh tes-tes-tes," alias seret. Maka maunya Bisuk, "supaya dicari mekanisme yang melancarkan aliran pajakpajak itu kembali ke daerah," katanya. Sejak penandatanganan perjanjian induk pada 7 Juli 1975 hingga sekarang, porsi yang diraih pihak dalam negeri, menurut angka-angka yang diungkapkan Bisuk, lumayan juga besarnya: sekitar US$ 387 juta, atau sekitar 33% dari seluruh nilai kontrak pembangunan yang sudah dan sedang berjalan. Kepada pemerintah (pusat), "sumbangan" itu diperkirakan akan mencapai RP 48,5 milyar sampai tahun depan. Sedang kepada masyarakat di sekitarnya tak sampai Rp 12 juta. ADA pula sumbangan lain, berupa tenaga listrik 50 MW (megawatt), yang sudah mereka salurkan melalui PLN cabang Sum-Ut dengan ganti rugi biaya pokok. Adapun proyek terpadu itu kini memiliki 244 MW, dan kelak pada 1984 mencapai 600 MW. Penyaluran yang 50 MW tadi tentu dimaksudkan agar PLN memanfaatkannya buat penerangan rumah penduduk, atau untuk menarik masuknya industri-industri lain, di seputar Kuala Tanjung yang kini mulai 'hidup' itu. Namun sepanjang mata memandang, belum tampak munculnya suatu industri yang berarti di kawasan yang dekat dengan pelabuhan dan punya sarana jalan raya yang mulus, mulai dari Medan. Proyek Asahan, harap Bisuk, harus merupakan penggerak utama dari suatu pengembangan mdustri di wilayah Sumatera bagian Utara. Nyatanya, proyek Asahan, sampai sekarang praktis masih merupakan daerah tersendiri (enclave), dengan kegiatan ekonomi penduduk tingkat 'pondok' yang terlihat di kiri-kanan jalan mulus 16 km buatan proyek itu, dari Kota Baru sampai Kuala Tanjung. Sungguh suatu tantangan buat Pemda, dan, dalam batas-batas tertentu, pemerintah di Jakarta. Sebab sampai sekarang pihak BKPM masih juga meluluskan izin investasi kian bertumpuk di Jakarta, dan beberapa kota besar di Jawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus