Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berita Tempo Plus

Menunggu Deadline Akhir Oktober

Akhir oktober '82, merupakan batas terakhir bagi 127 pemegang hph yang diancam dicabut izin usahanya apabila tidak memenuhi peraturan/kewajiban yang berlaku. (eb)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Menunggu Deadline Akhir Oktober
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH saat-saat yang mendebarkan bagi 127 pemegang Hak Penguiahaan Hutan (HPH). Jika sampai akhir Oktober mereka juga melakukan kegiatan logging penebangan kayu), melunasi tunggakan luran Hasil Hutan (IHH). dan pembangun industri perkayuan, pemerintah mengancam akan mencabut izin usaha mereka. "Kalau mau cabut, eabut saja, nggak usah teriak-teriak," kata Ketua Masyarakat Perkayuan Indonesia Sukamdani Gitosardjono. Ancaman mencabut Izin usaha 127 megang HPH itu sesungguhnya sudah dikemukakan Dirjen Kehutanan Soedjarwo Juli silam seusai menghadap Presiden Soeharto. Mereka dianggap melalaikan kewajiban melakukan peremajaan, menunggak IHH, tak punya tapal batas, dan tak mampu membangun industri perkayuan. Nama-nama yang terancam itu, termasuk Sahid Timber milik Sukamdani, dan Balapan Jaya milik almarhum Bung Tomo yang patungan dengan Korea Selatan. Sebelum vonis dijatuhkan, mereka telah mendapat peringatan tiga kali, masing-masing berjarak 30 hari. Pengusaha hotel yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Pusat itu, menganggap tenggang waktu peringatan tersebut terlalu pendek. "Kalau dunia bisnis sedang lesu, untuk memulihkannya tidak bisa dihitung secara harian," kata Sukamdani ambil mengayunkan tongkat golf. Dia kelihatan jengkel pagi itu ketika bermain golf di Pondok Indah, Jakarta Selatan. "Kalau kami dipukuli terus menerus, bisa frustrasi." Bisnis kayu gelondongan (log) memang lesu sejak negara-negara industri (konsumen), terutama Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan, dilanda resesi. Harga kayu yang pernah mencapai puncak US$ 200 per meter kubik sekitar tiga tahun lalu, kini anjlok sampai US$ 90 saja. Ketika Februari silam pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan yang membatasi ekspor kayu gelondongan, ruang gerak para pemegang HPH itu jadi terasa makin sempit. Surat Keputusan bersama empat Dirjen --Aneka Industri, Perdagangan Luar Negeri, Kehutanan, dan Perdagangan Dalam Negeri sesungguhnya bertujuan merangsang tumbuhnya industri pengolahan kayu di dalam negeri. Dengan SK Bersama pertengahan Februari itu pula, pemerintah mencanangkan secara berangsur akan mengurangi ekspor kayu gelondongan hingga tahun 1985 disetop sama sekali. Maka jika tahun ini ekspornya dibatasi 4,5 juta m3, pada 1983 dan 1984, masing-masing hanya 3 juta dan 1,5 juta m3. Tanpa dibatasi pun, eksploitasi kayu gelondongan sudah mengendur sejak harganya di pasar dunia anjlok. Tapi Sahid Timber menghentikan penebangan, yang pernah dicoba antara 1975-76, katanya bukan karena itu. "Kami hentikan karena medannya sulit," ujar Sukamdani. Sahid memperoleh konsesi 127 ribu ha kayu meranti di dua tempat terpisah di Kalimantan Timur, jauh di dalam. Kendati sudah pindah lokasi lima kali, "saya ternyata tak mendapat kesempatan memperoleh lokasi yang baik," kata Sukamdani. Sekalipun demikian, Sukamdani menyatakan tetap membayar biaya peremajaan, dan melunasi IHH. Namun Ny. H.S Sutomo, pemegang konsesi 115 ribu ha di Sintang, Kalimantan Barat, mengakui belum membayar IHH sekitar Rp 100 juta. Tunggakan itu, katanya, dibuat oleh partnernya: Ahyu Forestu (Korea Selatan) yang bersama Bung Tomo almarhum suaminya, mendirikan PT Ahyu Balapan. "Kami baru tahu kalau ada tunggakan sesudah si Korea angkat kaki," tambahnya jengkel. Toh kini Balapan Jaya tetap melakukan logging-selama 1,5 tahun sudah 90 ribu m3 kayu meranti ditebang. Menurut Dirjen Kehutanan Soedjarwo, jumlah IHH yang harus dibayar adalah 6% dari harga patokan kayu. IHH ini ditagih berdasarkan Laporan Hasil Penerbangan (LHP), dan harus dibayar ke bank yang ditunjuk instansi kehutanan. selakangan terasa volume pemasukan IHH berkurang terutama sesudah ekspor kayu gelondongan dibatasi, dan harga kayu jatuh di pasaran dunia. "Jadi pengusaha bukannya tak mampu membayar luran Hasil Hutan," Soedjarwo memaklumi. KENDATI demikian, Direktur Bim Produksi Kehutanan, Djamaludin tetap meminta pemegang HPH, dengan cara bergabung, membeli saham (minimal 20 % dari modal dasar) industri perkayuan. Ketua MPI Sukamdani mengecam gagasan yang dianggapnya tak jelas itu. "Ini yang bikin saya keki, pejabat kehutanan itu hanya ngomong, belum pernah bicara serius di depan MPI," katanya. Dalam keadaan serba sulit itu, CV Dayak Besar, pemegang konsesi 200 ribu ha hutan meranti dan kapur di Kalimantan Timur, yang terancam dicabut HPH-nya, sudah menanamkan dana Rp 5 milyar untuk membangun industri perkayuan. Pembangunan industri itu, kata Aggi Tjetje, Ketua Yayasan Dayak Besar, nyaris terhenti gara-gara ekspor kayu dibatasi. "Tahun depan kami harapkan industri kayu lapis kami bisa jalan," katanya. Tapi dia mengeluh harga kayu lapis (plywood) di dalam negeri jatuh hingga Rp 500 per lembar. Tahun lalu selembarnya mencapai Rp 3.000. Sudah bayar IHH? "Sejak berdiri 1967 kami sudah bayar milyaran rupiah," kata Aggi Tjetje. "Untuk satu tahun saja sekitar Rp 300 juta." Peremajaan, katanya, memang sudah dilakukan - tapi belum penuh. Dia menganjurkan agar dana peremajaan kini yang US$ 4 dinaikkan jadi US$ 10 per m3, dan pengangannya dilakukan pemerintah sepenuhnya. Tapi kenapa Dayak Besar, dan Balapan Jaya diancam dicabut, kendati sejumlah kewajiban sudah dipenuhi keduanya? Hanya Dirjen Soedjarwo yang bisa menjawab. Yang jelas, menurut seorang pemegang HPH, di luar kantor Ditjen Kehutanan puluhan orang sudah antre. "Areal hutan sih tetap saja luasnya, tapi pemintanya berjubel," katanya. Dan sejak daftar yang terancam beredar, kata Ny. Sutomo, areal hutannya yang ditumbuhi rapat kayu meranti dengan diameter besar sudah ditawar. Dari 518 pemegang HPH kini, yang masih aktif beroperasi sekitar 261 HPH.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus