INILAH saat-saat yang mendebarkan bagi 127 pemegang Hak
Penguiahaan Hutan (HPH). Jika sampai akhir Oktober mereka juga
melakukan kegiatan logging penebangan kayu), melunasi tunggakan
luran Hasil Hutan (IHH). dan pembangun industri perkayuan,
pemerintah mengancam akan mencabut izin usaha mereka. "Kalau mau
cabut, eabut saja, nggak usah teriak-teriak," kata Ketua
Masyarakat Perkayuan Indonesia Sukamdani Gitosardjono.
Ancaman mencabut Izin usaha 127 megang HPH itu sesungguhnya
sudah dikemukakan Dirjen Kehutanan Soedjarwo Juli silam seusai
menghadap Presiden Soeharto. Mereka dianggap melalaikan
kewajiban melakukan peremajaan, menunggak IHH, tak punya tapal
batas, dan tak mampu membangun industri perkayuan. Nama-nama
yang terancam itu, termasuk Sahid Timber milik Sukamdani, dan
Balapan Jaya milik almarhum Bung Tomo yang patungan dengan Korea
Selatan. Sebelum vonis dijatuhkan, mereka telah mendapat
peringatan tiga kali, masing-masing berjarak 30 hari.
Pengusaha hotel yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri
Indonesia (Kadin) Pusat itu, menganggap tenggang waktu
peringatan tersebut terlalu pendek. "Kalau dunia bisnis sedang
lesu, untuk memulihkannya tidak bisa dihitung secara harian,"
kata Sukamdani ambil mengayunkan tongkat golf. Dia kelihatan
jengkel pagi itu ketika bermain golf di Pondok Indah, Jakarta
Selatan. "Kalau kami dipukuli terus menerus, bisa frustrasi."
Bisnis kayu gelondongan (log) memang lesu sejak negara-negara
industri (konsumen), terutama Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan,
dilanda resesi. Harga kayu yang pernah mencapai puncak US$ 200
per meter kubik sekitar tiga tahun lalu, kini anjlok sampai US$
90 saja. Ketika Februari silam pemerintah mengeluarkan
kebijaksanaan yang membatasi ekspor kayu gelondongan, ruang
gerak para pemegang HPH itu jadi terasa makin sempit. Surat
Keputusan bersama empat Dirjen --Aneka Industri, Perdagangan
Luar Negeri, Kehutanan, dan Perdagangan Dalam Negeri
sesungguhnya bertujuan merangsang tumbuhnya industri pengolahan
kayu di dalam negeri.
Dengan SK Bersama pertengahan Februari itu pula, pemerintah
mencanangkan secara berangsur akan mengurangi ekspor kayu
gelondongan hingga tahun 1985 disetop sama sekali. Maka jika
tahun ini ekspornya dibatasi 4,5 juta m3, pada 1983 dan 1984,
masing-masing hanya 3 juta dan 1,5 juta m3. Tanpa dibatasi pun,
eksploitasi kayu gelondongan sudah mengendur sejak harganya di
pasar dunia anjlok. Tapi Sahid Timber menghentikan penebangan,
yang pernah dicoba antara 1975-76, katanya bukan karena itu.
"Kami hentikan karena medannya sulit," ujar Sukamdani. Sahid
memperoleh konsesi 127 ribu ha kayu meranti di dua tempat
terpisah di Kalimantan Timur, jauh di dalam. Kendati sudah
pindah lokasi lima kali, "saya ternyata tak mendapat kesempatan
memperoleh lokasi yang baik," kata Sukamdani.
Sekalipun demikian, Sukamdani menyatakan tetap membayar biaya
peremajaan, dan melunasi IHH. Namun Ny. H.S Sutomo, pemegang
konsesi 115 ribu ha di Sintang, Kalimantan Barat, mengakui belum
membayar IHH sekitar Rp 100 juta. Tunggakan itu, katanya, dibuat
oleh partnernya: Ahyu Forestu (Korea Selatan) yang bersama
Bung Tomo almarhum suaminya, mendirikan PT Ahyu Balapan. "Kami
baru tahu kalau ada tunggakan sesudah si Korea angkat kaki,"
tambahnya jengkel. Toh kini Balapan Jaya tetap melakukan
logging-selama 1,5 tahun sudah 90 ribu m3 kayu meranti ditebang.
Menurut Dirjen Kehutanan Soedjarwo, jumlah IHH yang harus
dibayar adalah 6% dari harga patokan kayu. IHH ini ditagih
berdasarkan Laporan Hasil Penerbangan (LHP), dan harus dibayar
ke bank yang ditunjuk instansi kehutanan. selakangan terasa
volume pemasukan IHH berkurang terutama sesudah ekspor kayu
gelondongan dibatasi, dan harga kayu jatuh di pasaran dunia.
"Jadi pengusaha bukannya tak mampu membayar luran Hasil Hutan,"
Soedjarwo memaklumi.
KENDATI demikian, Direktur Bim Produksi Kehutanan, Djamaludin
tetap meminta pemegang HPH, dengan cara bergabung, membeli saham
(minimal 20 % dari modal dasar) industri perkayuan. Ketua MPI
Sukamdani mengecam gagasan yang dianggapnya tak jelas itu. "Ini
yang bikin saya keki, pejabat kehutanan itu hanya ngomong, belum
pernah bicara serius di depan MPI," katanya.
Dalam keadaan serba sulit itu, CV Dayak Besar, pemegang konsesi
200 ribu ha hutan meranti dan kapur di Kalimantan Timur, yang
terancam dicabut HPH-nya, sudah menanamkan dana Rp 5 milyar
untuk membangun industri perkayuan. Pembangunan industri itu,
kata Aggi Tjetje, Ketua Yayasan Dayak Besar, nyaris terhenti
gara-gara ekspor kayu dibatasi. "Tahun depan kami harapkan
industri kayu lapis kami bisa jalan," katanya. Tapi dia mengeluh
harga kayu lapis (plywood) di dalam negeri jatuh hingga Rp 500
per lembar. Tahun lalu selembarnya mencapai Rp 3.000.
Sudah bayar IHH? "Sejak berdiri 1967 kami sudah bayar milyaran
rupiah," kata Aggi Tjetje. "Untuk satu tahun saja sekitar Rp 300
juta." Peremajaan, katanya, memang sudah dilakukan - tapi belum
penuh. Dia menganjurkan agar dana peremajaan kini yang US$ 4
dinaikkan jadi US$ 10 per m3, dan pengangannya dilakukan
pemerintah sepenuhnya.
Tapi kenapa Dayak Besar, dan Balapan Jaya diancam dicabut,
kendati sejumlah kewajiban sudah dipenuhi keduanya? Hanya Dirjen
Soedjarwo yang bisa menjawab. Yang jelas, menurut seorang
pemegang HPH, di luar kantor Ditjen Kehutanan puluhan orang
sudah antre. "Areal hutan sih tetap saja luasnya, tapi
pemintanya berjubel," katanya. Dan sejak daftar yang terancam
beredar, kata Ny. Sutomo, areal hutannya yang ditumbuhi rapat
kayu meranti dengan diameter besar sudah ditawar. Dari 518
pemegang HPH kini, yang masih aktif beroperasi sekitar 261 HPH.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini