SUARA peluit kapal Ocean Prima terdengar nyaring mengalahkan
rintik hujan yang turun renyai di Pelabuhan Kuala Tanjung,
Asahan, Sumatera Utara, 14 Oktober siang. Perlahan-lahan kapal
milik PT Samudera Indonesia berbobot mati 16.000 ton itu, yang
memuat 8.000 ton aluminium, meninggalkan pelabuhan dengan
iringan lambaian tangan lebih seratus pengunjung yang terpaksa
berpayung melepas keberangkatannya.
Itulah ekspor pertama aluminium ingot (batangan), produksi PT
Inalum, setelah perusahaan patungan Indonesia Jepang tersebut
memulai produksinya Januari 1982. Ekspor bernilai US$ 12 juta
adalah sebagian dari 16.000 ton yang sudah selesai dihasilkan.
Menurut rencana, sisa produksi yang 8.000 ton akan dikapalkan ke
Jepang lagi, sebagai pembeli tetap, bulan Desember.
Bisa dimengerti bila Bisuk Siahaan, Wakil Ketua Otorita
Pengembangan Proyek Asahan (OPPA), yang di samping Menteri
Perindustrian d.m ketua OPPA A.R. Soehoed merupakan arsitek
provek Asahan, tampak menyeringai ketika disalami banyak orang."
. . . seluruh perhatian luar negeri tertuju pada kita, bahwa di
masa resesi dunia, sebuah proyek besar di Indonesia dapat
selesai dibangun tepat pada waktunya," katanya.
Dia patut bangga. Proyek PLTA Asahan dan pabrik aluminium di
Kuala Tanjung yang terpisah sekitar 120 km garis lurus itu, dan
akhirnya menelan biaya sebanyak US$ 2 milyar, seperti kata
Bisuk, adalah yang paling besar di Asia dan Benua Australia.
Pada 1984 bangunan raksasa itu--yang 75% sahamnya dimiliki pihak
Jepang dan 25% kepunyaan pemerintah Rl--akan mampu memproduksi
aluminium ingot sebanyak 225. o00 ton.
Tapi yang menjadi pertanyaan: Adakah resesi dunia yang sampai
sekarang masih melanda sektor industri di Jepang akan bisa
pulih? Pasaran aluminium saat ini turun drastis, setelah
mencapai masa emas harga rata-rata di atas US$ 2.000 per ton
tiga tahun silam. Di pasaran tunai, seperti diakui orang No.2
proyek Asahan itu, harga kini berkisar pada US$ 1.10( per ton.
Itu pun bisa lebih turun. Banyak industri yang menggunakan
aluminium ingot sebagai bahan baku, seperti mobil, pesawat
terbang dan industri bangunan (real estate), ikut terkena angin
resesi.
Dir-Ut Inalum, Seo, yang menggantikan Takasakumi Gonda, merasa
prihain juga melihat perkembangan harga aluminium. "Sejak Maret
atau April 1980, cadangan batangan aluminium di dunia terus
bertambah, sedangkan harga pasaran aluminium semakin menurun,"
kata Seo. "Industri peleburan aluminium di dunia sedang
mengalami masa sulit. Inalum pun tidak luput dari situasi
tersebut."
Toh menurut Bisuk Siahaan, ekspor pertama dari Kuala Tanjung itu
dijual dengan harga yang di atas angin: US$ 1. 500 per ton.
Adakah itu harga di atas kcrtas sembari menunggu pulihnya
pasaran? Ada yang beranggapan begitu. Sekalipun menurut Bisuk,
itulah harga kontrak dengan konsorsium pembeli di Jepang. Kalau
benar begitu, masih perlu dilihat apakah pengiriman kedua, dalam
praktek, akan tetap tunduk pada harga kontrak itu.
Namun demikian, Dir-Ut Inalum merasa "yakin pasaran aluminium
akan pulih pada waktu mendatang," selama aluminium masih
berperan, "sebagai logam kedua yang terpenting setelah logam
besi." Dan mengingat proyek raksasa itu merupakan kebanggaan
masyarakat Sum-Ut, Bisuk Siahaan, yang oleh rekan-rekan
Jepang-suka dipanggil "Mr. Asahan," menghimbau Pemda Sum-Ut:
"Perlu dipersiapkan peraturan-peraturan daerah yang mendorong
terciptanya iklim usaha yang sehat serta tidak bertentangan
dengan peraturan tingkat nasional."
Sampai sekarang, menurut Bisuk, pihak daerah masih belum
memiliki bahasa yang sama dengan pusat. Berbagai pungutan, baik
berupa Ipeda dan pajak lain, tetap mereka harapkan bisa dipungut
dari proyek Asahan. Bisa dimengerti. Sebab, seperti kata seorang
pejabat daerah, kalau pajak-pajak itu sudah masuk ke Jakarta,
"kembalinya ke kas daerah sungguh tes-tes-tes," alias seret.
Maka maunya Bisuk, "supaya dicari mekanisme yang melancarkan
aliran pajakpajak itu kembali ke daerah," katanya.
Sejak penandatanganan perjanjian induk pada 7 Juli 1975 hingga
sekarang, porsi yang diraih pihak dalam negeri, menurut
angka-angka yang diungkapkan Bisuk, lumayan juga besarnya:
sekitar US$ 387 juta, atau sekitar 33% dari seluruh nilai
kontrak pembangunan yang sudah dan sedang berjalan. Kepada
pemerintah (pusat), "sumbangan" itu diperkirakan akan mencapai
RP 48,5 milyar sampai tahun depan. Sedang kepada masyarakat di
sekitarnya tak sampai Rp 12 juta.
ADA pula sumbangan lain, berupa tenaga listrik 50 MW
(megawatt), yang sudah mereka salurkan melalui PLN cabang
Sum-Ut dengan ganti rugi biaya pokok. Adapun proyek terpadu itu
kini memiliki 244 MW, dan kelak pada 1984 mencapai 600 MW.
Penyaluran yang 50 MW tadi tentu dimaksudkan agar PLN
memanfaatkannya buat penerangan rumah penduduk, atau untuk
menarik masuknya industri-industri lain, di seputar Kuala
Tanjung yang kini mulai 'hidup' itu.
Namun sepanjang mata memandang, belum tampak munculnya suatu
industri yang berarti di kawasan yang dekat dengan pelabuhan dan
punya sarana jalan raya yang mulus, mulai dari Medan. Proyek
Asahan, harap Bisuk, harus merupakan penggerak utama dari suatu
pengembangan mdustri di wilayah Sumatera bagian Utara. Nyatanya,
proyek Asahan, sampai sekarang praktis masih merupakan daerah
tersendiri (enclave), dengan kegiatan ekonomi penduduk tingkat
'pondok' yang terlihat di kiri-kanan jalan mulus 16 km buatan
proyek itu, dari Kota Baru sampai Kuala Tanjung.
Sungguh suatu tantangan buat Pemda, dan, dalam batas-batas
tertentu, pemerintah di Jakarta. Sebab sampai sekarang pihak
BKPM masih juga meluluskan izin investasi kian bertumpuk di
Jakarta, dan beberapa kota besar di Jawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini