ADA kesempatan bagi dosen untuk menambah penghasilan, tanpa
mengurangi integritas ilmiahnya, juga tanpa merugikan
mahasiswanya. Kesempatan ini terbuka di Untar (Universitas
Tarumanagara), Jakarta, yang Kamis peKan lalu merayakan Dies
Natalis ke-20. D. Khumarga, SH, Rektor Untar, mengumumkan sejak
pertengahan bulan lalu, dosen atau mahasiswa Untar yang karya
tulisnya dimuat di media massa (terbatas baru di Kompas, Sinar
Harapan dan TEMPO) akan mendapat penghargaan Rp 50 ribu dari
Untar.
Masih ada lagi kegiatannya itu akan dicatat sebagai cum atau
credit poin untuk kenaikan pangkat. Ada syaratnya memang
disamping nama pribadi, disebutkan juga nama Untar dan
fakultasnya .
Tujuannya, kata Khumarga pula, "ingin memperkenalkan Untar kalau
bukan gudang para ilmuwan, ya, gudangnya orang-orang yang bisa
menulis karya ilmiah." Gagasan ini diilhami tulisan salah
seorang dosen Fak. Ekonomi Untar, Drs. Bob Widyahartono, yang
dimuat di Sinar Harapan bulan lalu dan mencantumkan "FE Untar"
di samping nama penulisnya. Sebelumnya banyak sudah dosen Untar
yang menulis di surat kabar, "sayangnya mereka tidak membawa
nama Untar," kata Khumarga.
Bagi yang suka berpandangan negatif, boleh jadi ide Untar
dianggap semacam iklan. Tapi apa pun anggapan itu, hal itu
"merangsang dosen menggunakan ilmu pengetahuannya, di samping
masyarakat memperoleh informasi," seperti kata Dr. Ir. Edi
Guhardja, Purek I IPB. Sebab dengan demikian dosen dirangsang
untuk terus mencari informasi baru, menambah bahan
referensi--yang tentunya ini menguntungkan juga bagi
mahasiswanya.
Sebenarnya di Kompas dan Sinar Harapan misalnya, sudah sering
tercantum predikat "UI ", "Undip", "ITB" atau "Unpad" di samping
nama penulis artikel. Belum lagi yang memang tidak bersedia
dicantumkan nama almamaternya. M.M. Poerbo Hadiwidjojo, 63
tahun, dosen luar biasa di ITB misalnya, yang sering menulis
tentang masalah lingkungan di surat kabar, belum pernah
mencantumkan nama ITB. Ia selalu memandang tulisannya sebagai
"pendapat pribadi." Tapi memang, selintas ada kesan penulis dari
kampus yang sering mengis media massa, hanya itu-itu juga.
Sebabnya, mungkin "menulis itu susah," kata Dr. Sudjoko, dosen
Senirupa ITB yang sering menulis. Sebagai pengelola Berkala ITB,
media cetak khusus untuk warga ITB, dia tahu betapa susahnya
memesan tulisan dari dosen atau mahasiswanya. Padahal "menulis
di media kampus merupakan latihan yang baik," tambahnya.
Tidak hanya itu. Menurut Prof. Soedarto, Rektor Undip, menulis
bagi dosen merupakan "latihan menyiapkan disertasi. Setidaknya
melatih cara berpikir sistematis, cara mencari referensi dan
cara menyusun tulisan dengan baik," katanya. Karena itu ia
sangat bangga dengan Satjipto Rahardjo, Dekan Fak. Hukum Undip,
yang seringkali menulis di Kompas tentang masalah-masalah Hukum.
Konon di Undip pernah terjadi disertasi seorang dosen ditolak,
hanya karena susunan tulisannya tidak baik.
DI IPB kegiatan menulis di media massa sudah dianggap sebagai
pengabdian masyarakat, dicatat sebagai "cum" untuk promosi
naik pangkat. Dan soal pencantuman nama "IPB" bukan keharusan.
Bahkan Edi Guhardja berpendapat, pencantuman nama almamater
"seperti mencari backing untuk tulisannya." Memang, siapa pun
tahu, nama almamater bukan jaminan baikburuknya tulisan
tersebut. Menurut Rektor ITB, Dr. Hariadi Soepangkat, "tulisan
itu sepenuhnya tanggung jawab penulisnya secara pribadi,"
katanya, "baik mencantumkan nama ITB maupun tidak."
Agak lain adalah pendapat Rektor UI, Prof. Dr. Nugroho
Notosusanto. Menurut dia, sebaiknya dosen atau mahasiswa UI
tidak mencantumkan nama almamaternya bila menulis di media
massa. Apalagi bila tulisan itu mengenai soal politik,
pencantuman nama "UI" bisa memberi kesan seolah-olah "seluruh UI
sependapat dengan tulisan itu," katanya. "Saya sendiri kalau
menulis hanya menulis nama tanpa gelar dan tanpa UI".
Tapi baiklah. Apa pun pendapat tentang kegiatan menulis para
dosen, gagasan Untar tentulah bermanfaat: bagi dosen dan dunia
perguruan tinggi umumnya, dan bagi masyarakat. Salah satu cara
mendekatkan gagasan yang hidup dalam kampus dan masyarakat dan
sebaliknya, mungkin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini