Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pak dosen belajar menulis

Dies natalis ke-20, dalam kesempatan tersebut diumumkan bahwa dosen atau mahasiswa untar yang karya tulisnya dimuat di media massa (sh, kompas, dan tempo), akan mendapat penghargaan sebesar rp 50.000,-.(pdk)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA kesempatan bagi dosen untuk menambah penghasilan, tanpa mengurangi integritas ilmiahnya, juga tanpa merugikan mahasiswanya. Kesempatan ini terbuka di Untar (Universitas Tarumanagara), Jakarta, yang Kamis peKan lalu merayakan Dies Natalis ke-20. D. Khumarga, SH, Rektor Untar, mengumumkan sejak pertengahan bulan lalu, dosen atau mahasiswa Untar yang karya tulisnya dimuat di media massa (terbatas baru di Kompas, Sinar Harapan dan TEMPO) akan mendapat penghargaan Rp 50 ribu dari Untar. Masih ada lagi kegiatannya itu akan dicatat sebagai cum atau credit poin untuk kenaikan pangkat. Ada syaratnya memang disamping nama pribadi, disebutkan juga nama Untar dan fakultasnya . Tujuannya, kata Khumarga pula, "ingin memperkenalkan Untar kalau bukan gudang para ilmuwan, ya, gudangnya orang-orang yang bisa menulis karya ilmiah." Gagasan ini diilhami tulisan salah seorang dosen Fak. Ekonomi Untar, Drs. Bob Widyahartono, yang dimuat di Sinar Harapan bulan lalu dan mencantumkan "FE Untar" di samping nama penulisnya. Sebelumnya banyak sudah dosen Untar yang menulis di surat kabar, "sayangnya mereka tidak membawa nama Untar," kata Khumarga. Bagi yang suka berpandangan negatif, boleh jadi ide Untar dianggap semacam iklan. Tapi apa pun anggapan itu, hal itu "merangsang dosen menggunakan ilmu pengetahuannya, di samping masyarakat memperoleh informasi," seperti kata Dr. Ir. Edi Guhardja, Purek I IPB. Sebab dengan demikian dosen dirangsang untuk terus mencari informasi baru, menambah bahan referensi--yang tentunya ini menguntungkan juga bagi mahasiswanya. Sebenarnya di Kompas dan Sinar Harapan misalnya, sudah sering tercantum predikat "UI ", "Undip", "ITB" atau "Unpad" di samping nama penulis artikel. Belum lagi yang memang tidak bersedia dicantumkan nama almamaternya. M.M. Poerbo Hadiwidjojo, 63 tahun, dosen luar biasa di ITB misalnya, yang sering menulis tentang masalah lingkungan di surat kabar, belum pernah mencantumkan nama ITB. Ia selalu memandang tulisannya sebagai "pendapat pribadi." Tapi memang, selintas ada kesan penulis dari kampus yang sering mengis media massa, hanya itu-itu juga. Sebabnya, mungkin "menulis itu susah," kata Dr. Sudjoko, dosen Senirupa ITB yang sering menulis. Sebagai pengelola Berkala ITB, media cetak khusus untuk warga ITB, dia tahu betapa susahnya memesan tulisan dari dosen atau mahasiswanya. Padahal "menulis di media kampus merupakan latihan yang baik," tambahnya. Tidak hanya itu. Menurut Prof. Soedarto, Rektor Undip, menulis bagi dosen merupakan "latihan menyiapkan disertasi. Setidaknya melatih cara berpikir sistematis, cara mencari referensi dan cara menyusun tulisan dengan baik," katanya. Karena itu ia sangat bangga dengan Satjipto Rahardjo, Dekan Fak. Hukum Undip, yang seringkali menulis di Kompas tentang masalah-masalah Hukum. Konon di Undip pernah terjadi disertasi seorang dosen ditolak, hanya karena susunan tulisannya tidak baik. DI IPB kegiatan menulis di media massa sudah dianggap sebagai pengabdian masyarakat, dicatat sebagai "cum" untuk promosi naik pangkat. Dan soal pencantuman nama "IPB" bukan keharusan. Bahkan Edi Guhardja berpendapat, pencantuman nama almamater "seperti mencari backing untuk tulisannya." Memang, siapa pun tahu, nama almamater bukan jaminan baikburuknya tulisan tersebut. Menurut Rektor ITB, Dr. Hariadi Soepangkat, "tulisan itu sepenuhnya tanggung jawab penulisnya secara pribadi," katanya, "baik mencantumkan nama ITB maupun tidak." Agak lain adalah pendapat Rektor UI, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto. Menurut dia, sebaiknya dosen atau mahasiswa UI tidak mencantumkan nama almamaternya bila menulis di media massa. Apalagi bila tulisan itu mengenai soal politik, pencantuman nama "UI" bisa memberi kesan seolah-olah "seluruh UI sependapat dengan tulisan itu," katanya. "Saya sendiri kalau menulis hanya menulis nama tanpa gelar dan tanpa UI". Tapi baiklah. Apa pun pendapat tentang kegiatan menulis para dosen, gagasan Untar tentulah bermanfaat: bagi dosen dan dunia perguruan tinggi umumnya, dan bagi masyarakat. Salah satu cara mendekatkan gagasan yang hidup dalam kampus dan masyarakat dan sebaliknya, mungkin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus