Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Deflasi Lima Bulan Beruntun, Kilas Balik Peristiwa Deflasi Terparah yang Pernah Terjadi di Indonesia

Deflasi lima bulan beruntun terjadi di Mei-September 2024, Situasi ini mengingatkan deflasi parah yang pernah mengguncang beberapa negara di era lalu.

8 Oktober 2024 | 11.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa perekonomian Indonesia mengalami deflasi lima bulan beruntun, terakhir sebesar 0,12 persen secara bulanan pada September 2024.

Dalam Berita Resmi Statistik yang dipaparkan hari ini, disebutkan bahwa deflasi telah berlangsung selama lima bulan berturut-turut sejak Mei lalu.

Menurut Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), kondisi ini dianggap mengkhawatirkan karena menunjukkan kemiripan dengan situasi krisis, terutama dengan deflasi yang terjadi secara berturut-turut selama lima bulan.

Deflasi, sebuah kondisi di mana harga barang dan jasa menurun secara signifikan, pernah menghantam Indonesia dengan keras dalam beberapa periode penting sejarahnya. Salah satu periode deflasi terparah di Indonesia terjadi selama krisis ekonomi besar yang dikenal sebagai Depresi Besar pada tahun 1930-an, serta selama krisis moneter Asia pada tahun 1997-1998.

Pada masa Depresi Besar, Indonesia yang saat itu masih berada di bawah penjajahan Belanda mengalami penurunan aktivitas ekonomi secara global. Depresi yang melanda sebagian besar negara di dunia juga memengaruhi perdagangan internasional dan harga komoditas yang menjadi andalan ekspor Indonesia, seperti gula, kopi, dan karet. Ketika harga-harga komoditas global merosot, ekonomi Indonesia ikut terpuruk. Dampaknya tidak hanya terasa di sektor perdagangan, tetapi juga pada perekonomian domestik. Harga barang-barang turun drastis, memicu deflasi yang merata di berbagai sektor ekonomi.

Namun, deflasi yang paling dikenal oleh masyarakat modern Indonesia terjadi selama krisis moneter Asia pada tahun 1997-1998. Krisis ini berawal dari gejolak ekonomi di Thailand, yang kemudian merembet ke negara-negara Asia Tenggara lainnya, termasuk Indonesia. Ketika krisis ini mencapai puncaknya di Indonesia, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi tajam, mencapai titik terendah sepanjang sejarah.

Pada masa-masa awal krisis moneter, permintaan konsumen menurun secara signifikan akibat ketidakpastian ekonomi yang melanda negara. Hal ini menyebabkan dunia usaha mengalami kesulitan besar, karena produksi barang melampaui permintaan, sehingga banyak perusahaan terpaksa menurunkan harga untuk menghabiskan stok yang ada.

Fenomena ini terjadi di berbagai sektor, dari bahan pokok hingga produk non-essensial. Deflasi ini menambah beban ekonomi karena meski harga barang menurun, daya beli masyarakat justru semakin menurun akibat pengangguran dan inflasi yang terjadi setelahnya.

Deflasi selama krisis 1997-1998 juga diperburuk oleh ketidakstabilan politik yang menyertai krisis ekonomi. Pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama lebih dari tiga dekade, runtuh. Krisis politik ini memperburuk kondisi masyarakat yang sudah terdampak oleh deflasi dan depresiasi nilai tukar rupiah.

Akibat dari deflasi ini sangat merusak perekonomian Indonesia. Banyak perusahaan mengalami kebangkrutan karena tidak mampu menahan penurunan harga yang drastis, sementara banyak pekerja dipecat atau dirumahkan. Pengangguran meroket, dan angka kemiskinan melonjak secara signifikan. Dunia usaha mengalami stagnasi, dan sektor perbankan terperosok ke dalam krisis yang lebih dalam. Pada akhirnya, Indonesia harus meminta bantuan dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menstabilkan ekonominya, meskipun langkah-langkah yang diambil saat itu juga memicu kontroversi.

Meski Indonesia telah pulih dari krisis dan deflasi tersebut, peristiwa ini menjadi pelajaran penting mengenai betapa rapuhnya ekonomi suatu negara ketika dihadapkan pada krisis besar. Inflasi dan deflasi keduanya dapat menjadi ancaman bagi stabilitas ekonomi dan sosial, terutama jika tidak ditangani dengan kebijakan ekonomi yang tepat dan dukungan politik yang kuat. Deflasi lima bulan beruntun tentu amat diwaspadai, bukan disambut dengan gembira.

ANANDA RIDHO SULISTYA | MYESHA FATINA RACHMAN | IDRIS BOUFAKAR | ILONA ESTHERINA
Pilihan editor: Lebih Jauh Soal Deflasi: Berapa Persen yang Tergolong Masih Aman?

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus