HARGA minyak kelapa di pasar internasional sedang bagus. Sesudah
angin puyuh Vera meremukkan tanaman kelapa Filipina, yang diduga
bakal mengurangi suplai minyak kelapa dunia sebesar 20% tahun
ini, harga komoditi itu di Manila meroket dari US$ 635 (Mei)
jadi US$ 1.000 (Agustus) per ton. Tapi membaiknya harga minyak
kelapa itu tak bakal dinikmati eksportir Indonesia.
Maklum mulai Juli lalu, pemerintah tak mengizinkan lagi komoditi
itu untuk diekspor. Tindakan yang bersifat sementara itu -- juga
berlaku buat kopra -- menurut Direktur Jenderal Perdagangan
Dalam Negeri, Kardjono Wirioprawiro, dilakukan untuk
"mengamankan konsumsi dalam negeri". Dia khawatir membaiknya
harga minyak goreng dan kopra di luar negeri itu justru akan
menyedot persediaan dalam negeri kedua komoditi itu.
Kekhawatiran serupa itu juga menghinggapi pabrik minyak goreng.
Jika ekspor kopra dan minyak kelapa diizinkan, demikian H.
Hanjaya, ketua Gabungan Pabrik Minyak Kelapa Jawa Timur, harga
kopra yang di Surabaya Rp 400 per kg, dan minyak goreng yang Rp
675-Rp 750 per kg, jelas akan naik. "Harga minyak goreng dengan
bahan baku kelapa mungkin akan naik sampai Rp 1.000 per kg,"
katanya.
Beleid pemerintah yang cenderung berdiri di pihak pabrikan itu
tak urung memojokkan petani kelapa. Kopra eks petani Sulawesi
Selatan, misalnya, 6 Agustus lalu hanya ditawar Rp 350, sedang
sebelum larangan ekspor itu keluar masih Rp 400 per kg di
Ujungpandang. Bahkan kini tampak tanda-tanda pabrik minyak
goreng "tak berani membuka penawaran kopra", kata Muchtar Pani,
pedagang kopra di Ujungpandang. Dia menaksir harga minyak goreng
yang pernah mencapai Rp 900 ketika Lebaran lalu juga akan turun.
Seorang bekas eksportir menganggap penghentian izin ekspor kopra
dan minyak kelapa itu merugikan eksportir, sekaligus mengurangi
kesempatan pemerintah memperoleh devisa. Dari ekspor terakhir
pada triwulan pertama 1981, kopra masih sempat menghasilkan
devisa US$ 1,5 juta.
Angka yang dicapai komoditi itu memang kecil jika dibandingkan
minyak kelapa sawit. Ekspor kelapa sawit ini pernah jaya empat
tahun lalu ketika hasil penjualannya bisa mengeruk devisa US$
254 juta (438 ribu ton). Tapi ketika konsumsi dalam negeri naik,
ekspornya tahun lalu tinggal US$ 82 juta (230 ribu ton). Untuk
semester kedua tahun ini Demerintah mengalokasikan ekspor
komoditi itu sebesar 190 ribu ton.
Untuk kebutuhan dalam negeri alokasi minyak sawit, bahan
pengganti kopra dalam pembuatan minyak goreng, dicadangkan 300
ribu ton. Berbeda dengan kopra, tata niaga kelapa sawit yang
harganya Rp 295 per kg di Belawan diatur oleh pemerintah yang
merupakan produsen terbesar komoditi itu. Jatah alokasi untuk
setiap pabrik minyak goreng ditetapkan setiap enam bulan sekali.
Unilever yang meminta 3.125 ton untuk Juli-Desember ini kabarnya
hanya menerima 1.420 ton. Tapi sebuah perusahaan minyak kelapa
lain alokasinya naik dari 15 ribu ton iadi 20 ribu ton. "Karena
tahu kami kekurangan, perusahaan itu menawari kami minyak sawit
dengan harga Rp 450 per kg," kata sebuah sumber TEMPO. "Di
Rotterdam harganya cuma Rp 440." Jika benar demikian, Direktur
Jenderal Kardjono perlu menyetop adanya spekulasi macam itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini