Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari susu yang terbuang

Terjadi pembuangan susu segar. pabrik susu friesche vlag dan foremost tidak menyerap susu segar seperti diwajibkan dalam ketentuan. (eb)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRUK tanki susu milik Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS) sudah kembali sibuk keluar masuk pelbagai pelosok desa di Pengalengan. Sejak pekan lalu, truk tanki itu mulai bekerja normal mengangkuti susu segar milik peternak yang telah diawetkan untuk dikirim ke pabrik. Truk milik koperasi inilah yang akhir Juli lalu menggegerkan Jakarta karena membuang puluhan ribu liter susu segar di depan pabrik PT Friesche Vlag Indonesia (FVI) di Jalan Raya Bogor. Entah karena alasan apa, FVI, penghasil susu cap Bendera itu, menolak kiriman tadi. Tapi dengan alasan kualitas susu tidak memadai -- kadar lemak kurang dari 2,8% dan banyak tercemar bakteri -- PT Foremost pernah pula menolak kiriman susu KPBS. Sekretaris KPBS, E. Darman tentu saja membantah anggapan itu. Menurut dia, kadar lemak susu eks para peternak itu bahkan mencapai 3%, lebih tinggi dibandingkan persentase minimal. Penolakan, katanya, sengaja dilakukan pabrik karena "ingin membatasi susu lokal untuk memperbesar penyerapan susu impor." Benarkan ? Menurut Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Peternakan dan Perikanan J.H. Hutasoit, pembuangan terjadi karena pabrik tidak mau menyerap susu segar seperti diwajibkan pemerintah. Berdasar ketentuan itu (mulai Januari-Juni), pabrik diwajibkan menyerap satu liter susu segar eks peternak untuk setiap pengimporan enam liter susu bubuk. Guna meringankan pelaksanaan hal itu, katanya, pabrik diperbolehkan mengimpor susu bubuk sebanyak-banyaknya lebih dulu, baru kemudian menyerap susu segar. Tapi "sistem panjer itu disalahgunakan pihak industri," ujar Hutasoit. Sesudah mengimpor susu bubuk, pabrik ternyata tidak menyerap susu segar seperti diwajibkan dalam ketentuan. Hingga Juni lalu jumlah utang susu segar lima pabrik itu meliputi 8,8 juta liter: FVI (3,1 juta), Foremost (2 juta), Indomilk (2,4 juta), Sarihusada (1,2 juta), Ultra Jaya dan Dafa (172 ribu). Secara teknis, demikian Direktur Jenderal Peternakan Daman Danuwidjaja, lima pabrik susu tadi sesungguhnya punya kemampuan menyerap seluruh alokasi susu segar itu, yang untuk Juli-Desember dicadangkan 269 ribu liter per hari. Dia tak melihat FVI dan Foremost (berada dalam satu manajemen), yang mulai Juli-Desember diharuskan menyerap susu segar 70 ribu liter per hari, punya alasan kuat untuk tak memenuhi alokasi. Tapi dengan alasan alat penampung (storage tank), dan alat penguap (evaporator) "belum sempurna" maka kedua pabrik itu setiap hari hanya mampu menampung 50 ribu liter susu segar. Alasan itu, yang pernah dikemukakan lima tahun lalu, menurut Menteri Koperasi Bustanil Arifin, kini sudah bukan alasan lagi. Alat penguap susu seperti milik PT Food Specialities Indonesia (FSI) Surabaya, katanya, tidaklah terlalu mahal buat pabrik susu itu. Dengan alat ini pulalah, FSI yang setiap hari menyerap sekitar 130 ribu liter susu segar dari Ja-Tim akhirnya punya kelebihan jatah menampung 8,8 juta liter. Jika kini FSI berada di atas angin, maka FVI dan Foremost sedang tak beruntung. Karena dianggap belum menunjukkan itikad baik, kedua pabrik susu itu sejak awal bulan ini tidak diperkenankan mengimpor susu bubuk. Baru September mendatang izin impor bisa diberikan pada keduanya, yang masih punya stok susu bubuk untuk 4-5 bulan produksi bila mereka secara benar menyerap susu segar sesuai alokasi. "Indomilk dan Sarihusada masih diperbolehkan mengimpor susu bubuk karena mereka dinilai mau melaksanakan ketentuan," ujar Direktur Jenderal Daman. Dari kewajiban menyerap 25 ribu liter susu segar setiap hari, mulai Juli-Desember satu liter susu segar untuk setiap lima liter susu impor, Indomilk baru bisa menampung 23 ribu liter. Sedang Sarihusana di Yogya bisa menyerap 13 ribu dari kewajiban 14 ribu liter. Kendati demikian Daman Danuwidjaja menganggap mereka "telah beritikad baik". Alokasi tertinggi berdasar ketentuan baru ini tetap dipegang FSI Surabaya 130 ribu liter, sebelumnya 110 ribu liter susu segar. Secara berangsur memang pabrik bakal kena kewajiban menyerap susu segar lebih banyak lagi, hingga dalam jangka sembilan tahun mendatang, pemakaian susu bubuk impor akan sebanding dengan susu segar. Karena susu segar harganya lebih mahal, Rp 300,5-Rp 328,4, dibandingkan susu bubuk yang Rp 178 per liter, maka kewajiban seperti itu jelas terasa memberatkan pabrik susu. Dan itu oleh pabrik kemudian dimasukkan pula sebagai biaya produksi yang akan menyebabkan harga jual naik. "Yang memikul pada akhirnya konsumen juga," kata seorang pimpinan pabrik susu. Apa boleh buat, kebijaksanaan seperti itu ternyata telah mendorong pemasaran susu segar eks peternak kini lebih berat ke industri dibandingkan ke konsumen (lihat grafik). Situasi yang bisa menyebabkan peternak tergantung pada pabrik itu rupanya telah dilihat Sunaryono, manajer Koperasi Susu Boyolali. Dalam usaha mengurangi ketergantungan itu, para peternak di sana kini dilatih membuat es krim dan kembang gula dari susu. "Dengan cara itu pula kami berusaha memperkecil terbuangnya susu," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus