TRUK tanki susu milik Koperasi Peternak Bandung Selatan (KPBS)
sudah kembali sibuk keluar masuk pelbagai pelosok desa di
Pengalengan. Sejak pekan lalu, truk tanki itu mulai bekerja
normal mengangkuti susu segar milik peternak yang telah
diawetkan untuk dikirim ke pabrik. Truk milik koperasi inilah
yang akhir Juli lalu menggegerkan Jakarta karena membuang
puluhan ribu liter susu segar di depan pabrik PT Friesche Vlag
Indonesia (FVI) di Jalan Raya Bogor.
Entah karena alasan apa, FVI, penghasil susu cap Bendera itu,
menolak kiriman tadi. Tapi dengan alasan kualitas susu tidak
memadai -- kadar lemak kurang dari 2,8% dan banyak tercemar
bakteri -- PT Foremost pernah pula menolak kiriman susu KPBS.
Sekretaris KPBS, E. Darman tentu saja membantah anggapan itu.
Menurut dia, kadar lemak susu eks para peternak itu bahkan
mencapai 3%, lebih tinggi dibandingkan persentase minimal.
Penolakan, katanya, sengaja dilakukan pabrik karena "ingin
membatasi susu lokal untuk memperbesar penyerapan susu impor."
Benarkan ? Menurut Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi
Peternakan dan Perikanan J.H. Hutasoit, pembuangan terjadi
karena pabrik tidak mau menyerap susu segar seperti diwajibkan
pemerintah. Berdasar ketentuan itu (mulai Januari-Juni), pabrik
diwajibkan menyerap satu liter susu segar eks peternak untuk
setiap pengimporan enam liter susu bubuk. Guna meringankan
pelaksanaan hal itu, katanya, pabrik diperbolehkan mengimpor
susu bubuk sebanyak-banyaknya lebih dulu, baru kemudian menyerap
susu segar. Tapi "sistem panjer itu disalahgunakan pihak
industri," ujar Hutasoit.
Sesudah mengimpor susu bubuk, pabrik ternyata tidak menyerap
susu segar seperti diwajibkan dalam ketentuan. Hingga Juni lalu
jumlah utang susu segar lima pabrik itu meliputi 8,8 juta liter:
FVI (3,1 juta), Foremost (2 juta), Indomilk (2,4 juta),
Sarihusada (1,2 juta), Ultra Jaya dan Dafa (172 ribu).
Secara teknis, demikian Direktur Jenderal Peternakan Daman
Danuwidjaja, lima pabrik susu tadi sesungguhnya punya kemampuan
menyerap seluruh alokasi susu segar itu, yang untuk
Juli-Desember dicadangkan 269 ribu liter per hari. Dia tak
melihat FVI dan Foremost (berada dalam satu manajemen), yang
mulai Juli-Desember diharuskan menyerap susu segar 70 ribu liter
per hari, punya alasan kuat untuk tak memenuhi alokasi. Tapi
dengan alasan alat penampung (storage tank), dan alat penguap
(evaporator) "belum sempurna" maka kedua pabrik itu setiap hari
hanya mampu menampung 50 ribu liter susu segar.
Alasan itu, yang pernah dikemukakan lima tahun lalu, menurut
Menteri Koperasi Bustanil Arifin, kini sudah bukan alasan lagi.
Alat penguap susu seperti milik PT Food Specialities Indonesia
(FSI) Surabaya, katanya, tidaklah terlalu mahal buat pabrik susu
itu. Dengan alat ini pulalah, FSI yang setiap hari menyerap
sekitar 130 ribu liter susu segar dari Ja-Tim akhirnya punya
kelebihan jatah menampung 8,8 juta liter.
Jika kini FSI berada di atas angin, maka FVI dan Foremost sedang
tak beruntung. Karena dianggap belum menunjukkan itikad baik,
kedua pabrik susu itu sejak awal bulan ini tidak diperkenankan
mengimpor susu bubuk. Baru September mendatang izin impor bisa
diberikan pada keduanya, yang masih punya stok susu bubuk untuk
4-5 bulan produksi bila mereka secara benar menyerap susu segar
sesuai alokasi. "Indomilk dan Sarihusada masih diperbolehkan
mengimpor susu bubuk karena mereka dinilai mau melaksanakan
ketentuan," ujar Direktur Jenderal Daman.
Dari kewajiban menyerap 25 ribu liter susu segar setiap hari,
mulai Juli-Desember satu liter susu segar untuk setiap lima
liter susu impor, Indomilk baru bisa menampung 23 ribu liter.
Sedang Sarihusana di Yogya bisa menyerap 13 ribu dari kewajiban
14 ribu liter. Kendati demikian Daman Danuwidjaja menganggap
mereka "telah beritikad baik". Alokasi tertinggi berdasar
ketentuan baru ini tetap dipegang FSI Surabaya 130 ribu liter,
sebelumnya 110 ribu liter susu segar.
Secara berangsur memang pabrik bakal kena kewajiban menyerap
susu segar lebih banyak lagi, hingga dalam jangka sembilan tahun
mendatang, pemakaian susu bubuk impor akan sebanding dengan susu
segar. Karena susu segar harganya lebih mahal, Rp 300,5-Rp
328,4, dibandingkan susu bubuk yang Rp 178 per liter, maka
kewajiban seperti itu jelas terasa memberatkan pabrik susu. Dan
itu oleh pabrik kemudian dimasukkan pula sebagai biaya produksi
yang akan menyebabkan harga jual naik. "Yang memikul pada
akhirnya konsumen juga," kata seorang pimpinan pabrik susu.
Apa boleh buat, kebijaksanaan seperti itu ternyata telah
mendorong pemasaran susu segar eks peternak kini lebih berat ke
industri dibandingkan ke konsumen (lihat grafik). Situasi yang
bisa menyebabkan peternak tergantung pada pabrik itu rupanya
telah dilihat Sunaryono, manajer Koperasi Susu Boyolali. Dalam
usaha mengurangi ketergantungan itu, para peternak di sana kini
dilatih membuat es krim dan kembang gula dari susu. "Dengan cara
itu pula kami berusaha memperkecil terbuangnya susu," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini