TIGA ekonom top Indonesia suatu sore berbincang-bincang tentang
situasi perekonomian sekarang. Hasilnya, orang menduga, akan
keluar suatu keputusan penting. Apalagi yang bertemu sore itu
tak lain Prof. Dr. Widjojo Nitisastro, Prof. Dr. Sumitro
Djojohadikusumo, dan Prof. Sarbini Sumawinata. Tapi ternyata
pertemuan sore itu, di salah satu cottage Hotel Indo Alam di
Cipanas yang sejuk itu hanya diisi oleh obrolan santai, seusai
pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) yang
IX, 27 sampai 30 Juli lalu.
Kongres ISEI kali ini, selain berjalan santai, memang agak lain
dari sebelumnya. Seperti dikatakan Dr. Arifin Siregar yang
terpilih kembali sebagai ketua umum organisasi para ekonom
Indonesia itu, kongres kali ini secara khusus juga membahas
bidang teori. Suatu hal yang dalam masa Orde Baru ini banyak
terlewatkan.
Kepada peserta kongres, Arifin Siregar, yang sehari-hari adalah
Gubernur BI, menggugah agar para sarjana ekonomi mulai menekuni
lagi bidang teori. Sarjana ekonomi yang bekerja di suatu negara
yang sedang giat membangun, kata Arifin, perlu mengikuti teori
yang terus berkembang. Tujuan: agar dapat mempertimbangkan dalam
keadaan apa teori-teori tersebut dapat diterapkan di sini.
Di luar dugaan, banyak juga di antara 260 peserta yang tertarik
mendengarkan pembahasan perkembangan supply-side economics yang
sejak lima tahun lalu sudah ramai dibicarakan di AS, teori
pembangunan ekonomi, teori perkembangan ekonomi regional,
masalah neraca pembayaran ditinjau dari segi moneter, teori
manajemen, teori pembelanjaan, dan teori akuntansi.
Kongres, setelah mencerna 29 makalah, akhirnya berkesimpulan:
teori pembangunan yang berkembang sekarang dapat dikelompokkan
jadi tiga bagian besar. Kelompok pertama lebih menekankan pada
faktor variabel ekonomi yang akan mempengaruhi pertumbuhan
sebagaimana dikemukakan oleh Kindleberger. Kelompok kedua lebih
menekankan pada struktur yang akan mempengaruhi pembangunan
ekonomi, seperti dikemukakan oleh Michael P. Todaro,
Chenery-Syrquin, dan Gunnar Myrdal yang lebih melihat pada
faktor lingkungan dan mengarah pada teori ekonomi neo-Marxis.
Sedang kelompok terakhir, seperti Paul Streeten, penulis The
Frontiers of Development Studies, lebih menekankan pada
aktornya: pelaksana pembangunan itu sendiri yang akan
mempengaruhi corak pembangunan yang dilakukan.
Dengan memperhatikan keadaan selama ini, kongres berpendapat
teori pembangunan ekonomi hendaknya diarahkan pada segisegi
mikro, karena masih banyak hal yang kurang sesuai dalam skala
makro. Beberapa peserta menyayangkan tak ada yang menyinggung
teori pembangunan Marxis, termasuk pandangan Oskar Lange, ahli
ekonomi kelahiran Polandia yang meninjau kembali Marxisme lama
dan dulu populer di kalangan ekonom Indonesia.
Berbicara tentang keadaan sekarang, kongres beranggapan, memang
telah nampak tanda-tanda permulaan perbaikan dalam perekonomian
dunia. Namun keadaan yang akan dihadapi Indonesia, "kelihatannya
tidak akan sebaik seperti selama tiga tahun pertama Pelita III".
Di samping terbatasnya dana pembangunan, Indonesia juga akan
menghadapi tuntutan dari masyarakat yang semakin meningkat dan
beraneka ragam.
Maka ketika pengurus pusat ISEI menghadap ke Bina Graha, Sabtu
lalu, Presiden nampak manggut-manggut pertanda menyetujui
kesimpulan yang dibacakan oleh Arifin Siregar. Kepada ISEI,
Presiden meminta agar mereka tidak saja memperhatikan soal-soal
ekonomi sekarang, atau yang akan terjadi pada Pelita IV, yang
akan dimulai awal April tahun depan. Perencanaan untuk masa itu,
menurut Presiden, sudah dipersiapkan, tinggal pelaksanaannya
saja. Para ekonom, menurut Presiden, harus mampu melihat apa
yang akan terjadi setelah Pelita IV.
Harapan Kepala Negara agaknya cocok dengan semangat ISEI sendiri
untuk tak terlampau terlibat dalam kesibukan Draktis
sehari-hari. Waktunya sudah tiba: ekonom Indonesia yang banyak
bekerja di pemerintah perlu mengambil jarak dari kemestian
memecahkan soal sekarang, dan menenok kembali khasanah
pemikiran yang membahas soal besar untuk kini dan kelak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini