SEMULA dikira hanya teguran. Dewi, suatu majalah di Jakarta
tidak serius menanggapinya. Tapi kantor pengacara Prof. Dr. Gouw
Giok Siong SH biasanya sungguhan, apalagi kliennya sekali ini
adalah Reader's Digest Association Far East Ltd di Hongkong.
Persoalan ialah Dewi memuat artikel -- 24 Januari dan 6
Pebruari 1978 - yang berjudul: Apa yang dinyatakan oleh sikap
tidur anda. Sumbernya tak disebut. Maka mendarat suatu surat
dari kantor pengacara tadi, yang segera dibalas (21 September
oleh pimpinan majalah itu dengan kata-kata "telah kami terima
dengan baik."
Surat Gouw itu meminta Dewi supaya lain kali jangan memuat
tulisan yang bersumber dari Reader's Digest, majalah bulanan
yang tersebar luas di banyak negeri. Tentang "tidur" itu rupanya
juga dimuat Reader's Digest (Nopember 1977) dengan judul: What
your sleep position reveals.
Pemimpin redaksi R. Risman Hafil mengaku belum pernah membaca
artikel berbahasa Inggeris itu. Dia mengetahui naskah yang
dimuat majalahnya berasal dari seorang pembantu tetap dalan
bahasa Indonesia. Barulah ketika tiba panggilan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan-Barat, Hafil dan stafnya terkejut.
Panggilan itu menyusul tuntutan Reader's Digest, melalui Gouw,
sebesar US$ 100.000 sebagai ganti kerugian atas artikelnya yang
dipakai tanpa seizinnya.
Pengacara itu, cerita Hafil pada TEMPO, keliru memahami surat
balasan Dewi, khusus mengenai "telah kami terima dengan baik."
Hafil rupanya sama sekali tidak bermaksud itu untuk menyatakan
bersedia menerima gugatan. Dia telah menemui sang pengacara
supaya perkara ini tidak diteruskan, tapi supaya damai saja.
Apa reaksinya? "Gouw senyum-senyum saja. Sulit menebak senyum
pengacara itu," kata Hafil. Namun pemimpin redaksi itu
dinasehatinya supaya membikin suatu janji "tidak akan menjiplak
lagi."
Menjiplak sesuatu tanpa menyebut sumbernya, komentar ketua Dewan
Kehormatan PWI Suardi Tasrif, yang juga pengacara ulung, "jelas
salah menurut kode etik." Kebetulan soal kode etik kewartawanan
kini menjadi hangat. Bahkan PWI Pusat, demikian laporannya pada
Menpen Ali Murtopo pekan lalu, akan meminta semua media cetak
supaya memuat kode etik itu dalam penerbitan masing-masing
selama Pebruari.
Sebagai profesi, kiranya Hafil dkk sukar akan merebut simpati
dari lingkungan korps sendiri. Jika ada simpati orang, mungkin
hanya karena Dewi (oplah 40.000) yang kecil seperti David harus
dipaksa melawan Reader's Digest yang demikian raksasa seperti
Goliath.
Majalah domestik ini, yang muncul dua kali dalam sebulan sejak
1973, dimiliki Yayasan Chandra Sakti. Almarhum H. Yasin Toha
memelopori Yayasan itu yang kini diketuai Aris Purianto. Dengan
kondisinya sekarang majalah itu jelas akan mampus bila harus
membayar kerugian, meskipun puluhan ribu dollar saja.
Segi Hukum
Tapi bisakah ia digugat karena mengambil copyright, hak cipta
orang? Indonesia masih di luar konvensi Bern. Sejak tahun 1954,
kata pengacara Tasrif, "kita merasa bebas. Orang luar negeri tak
bisa bikin apa-apa (dalam hal pelanggaran hak cipta ini). Bila
karya kita dicontek mereka, kita pun tidak bisa berbuat
apa-apa."
Kasus Dewi ini merupakan batu-ujian jika diteruskan di
pengadilan. TEMPO pernah juga digugat karena wajahnya mirip
TIME. Tapi majalah Amerika itu mencabut tuntutannya sesudah
sidang pengadilan yang berlarut. Pengacara Gouw, ketika ditanya
pekan lalu, belum bisa memastikan apakah Reader's Digest ingin
melanjutkan tuntutannya.
Pembajakan atas hak cipta asing, jika dikumpulkan, cukup banyak
di negeri ini. Hak cipta Walt Disney, misalnya, sudah dibeli
Gaya Favorit Press tapi masih leluasa dibajak penerbit Cypress.
Juga Cypress menerbitkan seri Tupai Mas yang sudah dibeli
penerbit Gramedia. Dan Dewi 2 tahun lalu juga membajak Tupai MAS
itu. Sesudah ditegur Gramedia, kata Hafil, "kami langsung
hentikan."
Intisari, majalah bulanan yang beroplah 153.000 dari kelompok
harian Kompas, juga sering mengambil-alih bahan asing. Wakil
pemimpin redaksi Irawati mengaku, "tapi kami selalu menyebut
sumbernya -- nama penulis dan penerbitannya. Kalau tidak
disebut, itu karena lupa saja, bukan disengaja."
Irawati mengatakan soal sumber ini bisa dijaganya karena naskah
terjemahan dikerjakan redaksi Intisari sendiri. Dari luar, hasil
terjemahan ditolaknya. Sedang di Dewi, Hafil mengaku, anggota
redaksinya seringkali menerima naskah dari para pembantu tanpa
diketahui apakah hasil karangan asli atau terjemahan. Kali ini
keseleo, sayang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini