Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Dewi, David VS Goliath

Majalah Dewi digugat di Pengadilan Negeri Jakarta selatan-barat. Reader's digest melalui pengacara Prof. Gouw Giok Siong menuntut ganti rugi atas artikelnya yang dimuat Dewi tanpa menyebuntukan sumber.(md)

30 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMULA dikira hanya teguran. Dewi, suatu majalah di Jakarta tidak serius menanggapinya. Tapi kantor pengacara Prof. Dr. Gouw Giok Siong SH biasanya sungguhan, apalagi kliennya sekali ini adalah Reader's Digest Association Far East Ltd di Hongkong. Persoalan ialah Dewi memuat artikel -- 24 Januari dan 6 Pebruari 1978 - yang berjudul: Apa yang dinyatakan oleh sikap tidur anda. Sumbernya tak disebut. Maka mendarat suatu surat dari kantor pengacara tadi, yang segera dibalas (21 September oleh pimpinan majalah itu dengan kata-kata "telah kami terima dengan baik." Surat Gouw itu meminta Dewi supaya lain kali jangan memuat tulisan yang bersumber dari Reader's Digest, majalah bulanan yang tersebar luas di banyak negeri. Tentang "tidur" itu rupanya juga dimuat Reader's Digest (Nopember 1977) dengan judul: What your sleep position reveals. Pemimpin redaksi R. Risman Hafil mengaku belum pernah membaca artikel berbahasa Inggeris itu. Dia mengetahui naskah yang dimuat majalahnya berasal dari seorang pembantu tetap dalan bahasa Indonesia. Barulah ketika tiba panggilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan-Barat, Hafil dan stafnya terkejut. Panggilan itu menyusul tuntutan Reader's Digest, melalui Gouw, sebesar US$ 100.000 sebagai ganti kerugian atas artikelnya yang dipakai tanpa seizinnya. Pengacara itu, cerita Hafil pada TEMPO, keliru memahami surat balasan Dewi, khusus mengenai "telah kami terima dengan baik." Hafil rupanya sama sekali tidak bermaksud itu untuk menyatakan bersedia menerima gugatan. Dia telah menemui sang pengacara supaya perkara ini tidak diteruskan, tapi supaya damai saja. Apa reaksinya? "Gouw senyum-senyum saja. Sulit menebak senyum pengacara itu," kata Hafil. Namun pemimpin redaksi itu dinasehatinya supaya membikin suatu janji "tidak akan menjiplak lagi." Menjiplak sesuatu tanpa menyebut sumbernya, komentar ketua Dewan Kehormatan PWI Suardi Tasrif, yang juga pengacara ulung, "jelas salah menurut kode etik." Kebetulan soal kode etik kewartawanan kini menjadi hangat. Bahkan PWI Pusat, demikian laporannya pada Menpen Ali Murtopo pekan lalu, akan meminta semua media cetak supaya memuat kode etik itu dalam penerbitan masing-masing selama Pebruari. Sebagai profesi, kiranya Hafil dkk sukar akan merebut simpati dari lingkungan korps sendiri. Jika ada simpati orang, mungkin hanya karena Dewi (oplah 40.000) yang kecil seperti David harus dipaksa melawan Reader's Digest yang demikian raksasa seperti Goliath. Majalah domestik ini, yang muncul dua kali dalam sebulan sejak 1973, dimiliki Yayasan Chandra Sakti. Almarhum H. Yasin Toha memelopori Yayasan itu yang kini diketuai Aris Purianto. Dengan kondisinya sekarang majalah itu jelas akan mampus bila harus membayar kerugian, meskipun puluhan ribu dollar saja. Segi Hukum Tapi bisakah ia digugat karena mengambil copyright, hak cipta orang? Indonesia masih di luar konvensi Bern. Sejak tahun 1954, kata pengacara Tasrif, "kita merasa bebas. Orang luar negeri tak bisa bikin apa-apa (dalam hal pelanggaran hak cipta ini). Bila karya kita dicontek mereka, kita pun tidak bisa berbuat apa-apa." Kasus Dewi ini merupakan batu-ujian jika diteruskan di pengadilan. TEMPO pernah juga digugat karena wajahnya mirip TIME. Tapi majalah Amerika itu mencabut tuntutannya sesudah sidang pengadilan yang berlarut. Pengacara Gouw, ketika ditanya pekan lalu, belum bisa memastikan apakah Reader's Digest ingin melanjutkan tuntutannya. Pembajakan atas hak cipta asing, jika dikumpulkan, cukup banyak di negeri ini. Hak cipta Walt Disney, misalnya, sudah dibeli Gaya Favorit Press tapi masih leluasa dibajak penerbit Cypress. Juga Cypress menerbitkan seri Tupai Mas yang sudah dibeli penerbit Gramedia. Dan Dewi 2 tahun lalu juga membajak Tupai MAS itu. Sesudah ditegur Gramedia, kata Hafil, "kami langsung hentikan." Intisari, majalah bulanan yang beroplah 153.000 dari kelompok harian Kompas, juga sering mengambil-alih bahan asing. Wakil pemimpin redaksi Irawati mengaku, "tapi kami selalu menyebut sumbernya -- nama penulis dan penerbitannya. Kalau tidak disebut, itu karena lupa saja, bukan disengaja." Irawati mengatakan soal sumber ini bisa dijaganya karena naskah terjemahan dikerjakan redaksi Intisari sendiri. Dari luar, hasil terjemahan ditolaknya. Sedang di Dewi, Hafil mengaku, anggota redaksinya seringkali menerima naskah dari para pembantu tanpa diketahui apakah hasil karangan asli atau terjemahan. Kali ini keseleo, sayang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus