PEKAN lalu, ketika Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad menegaskan bahwa Pemerintah tidak akan mengambil tindakan mendadak dalam penanganan masalah moneter, seperti menurunkan nilai rupiah secara drastis, maka orang pun langsung teringat pada devaluasi tahun 1983 dan 1986. Syahdan, waktu itu Menteri Keuangan Radius Prawiro (1983) dan begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo (1986), mengeluarkan pernyataan yang juga memastikan "tidak akan ada devaluasi". Yang terjadi justru devaluasi. Wajarlah jika pekan lalu sejumlah individu dan perusahaan berlomba-lomba menukarkan rupiah mereka ke dolar. "Kondisi gawat. Kemarin BI kebobolan US$ 320 juta. Hari ini saya perkirakan akan mencapai US$ 500 juta," kata seorang Preskom bank devisa, Jumat lalu. Hal serupa dikemukakan seorang direktur bank swasta, seorang manajer treasury dari sebuah bank Jepang, dan seorang staf dari sebuah bank patungan asing -- ketiganya di Jakarta. Mereka membenarkan bahwa memang ada rush pembelian dolar. Tapi permintaan dolar di bank-bank pemerintah tampak biasa- biasa saja. "Jika melihat volume penjualan, masih stabil," kata Idris Hutasuhut, Direktur Muda Treasury di BNI. Maksudnya, masih di bawah plafon (net open position), yakni 20% dari modal bank bersangkutan. Namun, permintaan akan dolar di tempat penukaran valuta asing justru meningkat. "Memang benar, sekarang banyak yang mencari dolar AS. Kami sampai kewalahan melayaninya," tutur Fary, kasir di PT Semesta Perdana Jaya. Dan gejala itu sudah terasa dalam beberapa minggu terakhir. Seorang juru tukar valuta di PT Sinar Irawan juga berpendapat sama. "Nilai rupiah turun terus, ya, lebih baik pegang dolar. Lihat saja kurs jual dolar bulan lalu Rp 2.150, sekarang sudah Rp 2.169," kata karyawan Sinar Irawan tadi. Namun, kenaikan kurs itu sebenarnya cuma ulah pedagang valuta asing dan bank-bank devisa. Sebab, kurs tengah (kurs jual dan kurs beli dibagi dua) dalam sebulan ini tetap bertahan pada angka Rp 2.147. Pekan lalu Menteri Keuangan memang telah memberi aba-aba bahwa kurs rupiah terhadap dolar akan dikendurkan sekitar 6% dalam setahun. Artinya, kalau kurs tengah awal April 1994 ini adalah Rp 2.147, maka pada akhir tahun fiskal (Maret) 1995, kemungkinan akan jadi Rp 2.275. Dalam spekulasi memborong dolar, agaknya bank devisa sudah jera. Ketika Kamis lalu dikatakan ada US$ 300 juta diborong dari BI -- jadi sekitar Rp 650 miliar masuk kerangkeng BI -- tak terlihat tanda bahwa bank-bank kehabisan likuiditas. Buktinya, pada hari yang sama suku bunga pinjaman antarbank masih relatif rendah (6-8%). Transaksi sertifikat berharga pasar uang (SBPU) -- alat BI untuk memperbanyak uang beredar -- cuma Rp 5 miliar. Hari Kamis itu bank sentral bahkan masih bisa menyedot rupiah dari peredaran, dengan menjual sertifikat Bank Indonesia (SBI) senilai lebih dari Rp 100 miliar. Menurut seorang direktur bank devisa nasional, spekulan dolar bisa individu, bisa juga perusahaan. Dan beberapa bankir nasional mengatakan, spekulasi dolar belakangan ini sebenarnya disulut oleh bank asing di Jakarta dan Singapura. Mereka menebarkan isu bahwa akan ada devaluasi rupiah sekitar 30%. Alasan mereka, pendapatan devisa RI merosot karena harga minyak dan ekspor nonmigas menurun. Untuk memperkuat isu itu, mereka lalu memborong dolar di Indonesia dan Singapura. Pancingan ini paling mencolok dilakukan pada tanggal 28-31 Maret lalu, bertepatan dengan hari-hari sekitar Paskah. Menurut sumber dari sebuah bank Jepang, isu ini ditiupkan antara lain oleh Banker's Trust, West Bank, dan Barkeley Bank di Singapura serta bank-bank Amerika di Jakarta. Mungkin juga bankir-bankir swasta nasional ikut mengipas-ngipas agar beroleh "durian runtuh". Tentu saja bank devisa dan money changer di Jakarta panen besar. Dengan mengutip Rp 1 per dolar, jika transaksi sehari mencapai US$ 300 juta, mereka bisa untung sekitar Rp 300 juta per hari. Tentang rush dolar itu, Juru Bicara BI, Dahlan Sutalaksana, hanya mengatakan bahwa mutasi rupiah ke dolar adalah gejala yang wajar. Bank-bank Amerika membeli dolar, mungkin untuk ditanamkan kembali di AS. Tapi secara global, dolar sebenarnya masih lemah. Arus pembelian saham di Indonesia, kata Dahlan, juga agak terhenti. Soalnya, investor asing mungkin masih menunggu percepatan depresiasi rupiah hingga 6%. Kalau dolarnya buru- buru dicairkan ke rupiah, mereka rugi kurs. Satu hal yang penting, juru bicara BI ini yakin, Pemerintah tidak akan melakukan devaluasi. Harga minyak memang jatuh, tapi Dahlan mengingatkan bahwa ketergantungan APBN dari minyak kini cuma 30%. Pakar ekonomi seperti Dr. Hadisusatro dan Dr. Rizal Ramly juga berpendapat, tak mungkin akan ada devaluasi. Mereka umumnya setuju dengan rencana percepatan depresiasi rupiah sekitar 6% untuk setahun. "Perhitungan itu memang cocok dengan perkiraan inflasi. Inflasi tahun ini paling rendah barangkali 8%, sedangkan inflasi di AS diperkirakan 2%, maka apresiasi rupiah kira-kira akan 6%," kata Dr. Hadisusastro kepada Bina Bektiati dari TEMPO. Laksamana Sukardi, mantan Direktur Lippobank, juga tak melihat bahwa Pemerintah masih punya peluang untuk melakukan devaluasi. "Saya khawatir, kalau terjadi devaluasi, 75% pendapatan Pemerintah akan habis untuk cicilan utang," katanya. Berarti, tak akan tersisa dana untuk anggaran pembangunan -- suatu hal yang mustahil akan terjadi di bawah bayang-bayang Kabinet Pembangunan.Max Wangkar, Bambang Aji, dan Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini