LIEM Sioe Liong mau tanam modal satu miliar dolar di Cina. Itu berita The Sunday Morning Post yang terbit di Hong Kong, pekan lalu. Di situ disebutkan, untuk membiayai investasi Rp 2 triliun lebih, Grup Salim akan menjual sebagian sahamnya ke PT Indocement. Selain itu, konglomerat Indonesia terbesar itu juga akan menjual sebagian saham PT Indofood yang juga miliknya. Tentu saja berita itu menjadi pembicaraan kalangan bisnis di Jakarta. Sebab, sangat terkesan adanya indikasi pelarian modal. "Dananya diambil dari masyarakat tapi dipakai investasi di luar negeri. Yang begini ini apalagi namanya kalau bukan capital flight," kelakar seorang pengusaha garmen. Memang, berita itu tergolong kabar angin yang kebenarannya masih perlu dibuktikan. Namun, sumber TEMPO yang dekat dengan Grup Salim membantah isu tersebut. Bahkan Anthony Salim, putra mahkota grup ini, sempat berang. "Itu sama sekali tidak betul," katanya kepada sumber TEMPO. Memang, saat ini Salim sibuk menghimpun dana untuk ditanamkan di dalam negeri. Dana itu bisa untuk pabrik semen di Kalimantan Timur -- berpatungan dengan perusahaan dari Korea Selatan dan Jepang -- ataupun investasi di agroindustri dan properti. Yang jelas, dana itu akan diambil dari dua sumber: PT Indofood dan Indocement. Dari Indofood, Salim akan mengeruk dana US$ 550 juta. Rinciannya: US$ 50 juta akan dihimpun dari pasar modal dalam negeri berupa penjualan 21 juta lembar saham. Sedangkan untuk yang US$ 500 juta, Salim akan menjual convertible bond ke luar negeri. Surat berharga sejenis obligasi ini, konon, sudah diincar banyak investor asing. Bahkan, kabarnya, 90% sudah habis dipesan. Mungkin karena setelah delapan bulan, bond ini bisa dikonversikan ke saham Indofood. Tak jelas berapa banyak investor asing yang akan menguasai saham perusahaan makanan ini (secara resmi yang dibolehkan hanya 49%). Yang pasti, Salim menjaga betul agar dana yang masuk tak akan lebih dari 49% seperti diatur oleh UU Penanaman Modal Asing. Selain dari Indofood, Salim juga akan menjual sebagian saham Indocement. Ini dilakukan demi memperoleh dana tambahan US$ 450 juta (maksudnya untuk melengkapi kebutuhan yang US$ 1 miliar). Nah, kalau saja target itu benar, maka -- dengan harga saham Indocement saat ini yang Rp 16.500 per lembar -- Liem atau pemegang saham lainnya harus melego sedikitnya 58,6 juta saham Indocement. Sampai di sini, persoalan sudah mulai lebih jelas. Maksudnya, jika saham yang dilego sebanyak itu, bagi Salim bukan masalah. Sebab, jika dipersentasekan, jumlahnya hanya 9 sampai 10 persen dari total saham. Artinya, kelompok Salim, yang saat ini menguasai lebih dari 60% saham Indocement, tetap akan menjadi pemegang saham mayoritas. Jadi, ada benarnya Christianto Wibisono -- Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia -- yang mengatakan, sekalipun hasil penjualan saham ditanamkan di luar negeri, basis usaha Liem Sioe Liong dan rekan-rekannya tetap berada di Indonesia. Soalnya, berdasarkan data yang dikumpulkan PDBI, usaha Salim di luar negeri -- sebagian besar menggunakan bendera First Pacific -- jika ditotal tak lebih dari 25% total kekayaan grup. Katakanlah, pernyataan Christianto benar, tapi orang tetap saja bertanya-tanya, kenapa Salim merencanakan megaproyek secara begitu tiba-tiba. Dan benarkah rencana ekspansi itu membutuhkan dana sampai Rp 2,1 triliun? Jangan-jangan, dana sebanyak itu akan dipakai untuk keperluan lain. Syak wasangka semacam itu bukan tidak beralasan. Soalnya, ada titik-titik kelemahan pada neraca konsolidasi yang diterbitkan PT Indocement Tunggal Prakarsa And Subsidiaries, pekan lalu. Dalam neraca konsolidasi per 31 Desember 1993 tersebut, terlihat bahwa Indocement masih berhasil meraih laba bersih Rp 312,3 miliar (jumlah ini tak jauh berbeda dengan laba bersih yang diperoleh Barito Pacific). Berarti, kemampuan mengeruk untung Rp 1 miliar sehari (tak termasuk hari Minggu), masih tetap akan jadi kebanggaan grup ini. Namun, jika dilihat dari current ratio (perbandingan antara harta lancar dan utang lancar), tampak jelas grup ini mengalami penurunan kinerja. Tahun sebelumnya (1992) harta lancar berbanding utang lancar masih memiliki rasio 101 : 100 (101%). Artinya, kondisi keuangan perusahaan ini cukup likuid. Tapi keadaan itu berbalik pada akhir 1993. Di situ terlihat, total utang lancar membengkak menjadi Rp 1.182 miliar, sedangkan aset encernya malah tinggal Rp 824,5 miliar. Akibatnya, current ratio Indocement menukik jadi tinggal 69,7%. Membengkaknya utang lancar, berdasarkan neraca tersebut, terjadi karena banyaknya utang jangka panjang yang berubah menjadi utang segera. Tahun lalu, utang jangka panjang yang pindah pos itu tercatat sekitar Rp 276 miliar. Wajarlah jika ada pengamat yang menduga, sebagian dari hasil penjualan saham, kelak, akan digunakan untuk menutup utang- utang jangka pendek yang jatuh tempo, yang jumlahnya mencapai Rp 635,5 miliar. Siapa tahu? Soalnya, kendati laba yang ditahan sebesar Rp 653,5 miliar, toh perusahaan sebesar Indocement harus selalu menyiapkan dana cadangan yang raksasa juga. Apalagi di dalam harta lancarnya masih terdapat pos persediaan sebesar Rp 330 miliar. Jelas, ini memang pos harta yang -- walaupun termasuk kategori lancar -- tidak bisa diuangkan dengan segera. Setidaknya, masih harus melalui proses penjualan, dan proses ini memerlukan waktu.Budi Kusumah, Yopie Hidayat, Bambang Aji, Sri Wahyuni, dan Bina Bektiati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini