Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

<font face=verdana size=1>Harga Minyak Goreng</font><br />Jalan Berliku Melawan Minyak Goreng

Harga minyak goreng kembali meroket. Subsidi tunai Rp 500 miliar bakal digerojokkan ke masyarakat.

10 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH Direktur Bina Pasar dan Distribusi Departemen Perdagangan Gunaryo menyelesaikan penjelasan, serempak tangan-tangan terangkat. Satu per satu pertanyaan ditumpahkan. ”Karena ini sudah menyangkut hitungan miliar, apakah payung hukumnya sudah ada?” tanya seorang utusan dari Sulawesi Selatan.

Pertemuan di ruang rapat lantai dua gedung Departemen Perdagangan pada Kamis lalu itu memang membahas penyaluran subsidi langsung minyak goreng senilai setengah triliun rupiah. Gunaryo mesti menjelaskan teknis penyaluran subsidi tersebut di depan para kepala dinas perdagangan seluruh Indonesia.

Walau subsidi pangan bukan barang baru, tetap saja banyak hal yang membuat mereka gagap. Misalnya, produsen mana yang akan digandeng dalam aksi pasar murah, apa jenis minyak gorengnya: curah, kemasan, atau minyak lokal seperti minyak kelapa, dan bagaimana distribusinya. Selain itu, masih berderet pertanyaan lain: apakah barang bisa dikirim segera, siapa yang berhak menerima: warga miskin atau yang berpendapatan rendah, bagaimana seleksinya.

Subsidi langsung tunai hingga Rp 500 miliar itu salah satu jurus pemerintah meredam harga minyak goreng yang menggila. Dalam dua pekan terakhir kenaikan terjadi merata di seluruh Indonesia. Di Yogyakarta, harga tertinggi pekan lalu Rp 15.600 per kilogram, sepekan sebelumnya hanya Rp 8.900. Di Jember, Jawa Timur, harga sudah menyentuh Rp 14 ribu. Level yang sama terjadi di Jakarta dan sekitarnya, juga di Banjarmasin. Angka paling fantastis diperlihatkan di Madiun, yang mencapai Rp 16 ribu sekilonya.

Akibat kenaikan tak terkendali ini, banyak warga mengeluh. Selain minyak goreng, harga berbagai barang kebutuhan rumah tangga lain juga melonjak bak kuda binal. Rosidah, warga Kemranjen, Banyumas, Jawa Tengah, misalnya, terpaksa tidak lagi berjualan kelapa. Ia mengolahnya menjadi minyak kelentik, karena harga buah kelapa tak seberapa. Tak sebanding dengan uang yang mesti dibelanjakannya untuk minyak goreng.

Tak cuma konsumen yang mengurut dada. Para penjual minyak goreng juga ikut kena getah. Sunarto, pedagang minyak di pasar Demangan, Yogyakarta, mengaku penjualannya terus menyusut. Pada saat harga masih Rp 8.900 per kilogram, saban hari dagangannya laku hingga lima galon. Setiap galon berisi 16,5 kilogram. Kini paling banyak dia cuma bisa menjual setengahnya.

Menurut Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurti, keputusan mengambil dana dari anggaran belanja itu telah digodok di tingkat menteri koordinator. Nah, sumber Tempo mengatakan, yang alot diperdebatkan adalah mekanisme pemberian subsidi: apakah secara langsung atau disalurkan melalui barang. Secara pribadi, Menteri Boediono cenderung memilih uang Rp 500 miliar langsung dibagi ke masyarakat. Subsidi komoditas dianggap banyak bolongnya.

Pertemuan lintas departemen itu akhirnya memutuskan subsidi dalam bentuk barang. Salah satu alasan, pelaksanaannya lebih gampang. Namun, dari angka subsidi tersebut, 5 persen terpaksa dipakai untuk biaya operasional. ”Sekitar Rp 475 miliar yang betul-betul masuk subsidi ke masyarakat,” kata Bayu. Dana itu kemudian dialokasikan ke produsen Rp 2.500 per liter. Jadi, konsumen akan membeli minyak seharga Rp 13 ribu hanya dengan Rp 10.500, misalnya.

Mekanismenya, kata Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, setiap kepala keluarga yang berpendapatan rendah menerima kupon untuk jatah dua liter setiap bulan. Tiket ini bisa digunakan di pasar murah yang digelar sebulan sekali oleh dinas perdagangan setempat. Rencananya, operasi pasar akan dimulai pekan ini dan dilaksanakan selama enam bulan. ”Begitu dana cair, segera dilaksanakan,” kata Mari.

Sejatinya, guyuran dana itu merupakan salah satu langkah pemerintah untuk mengontrol harga pangan. Pada awal bulan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan paket kebijakan stabilitas harga pangan. Penjabarannya melalui penghapusan bea masuk kedelai dan terigu, penanggungan pajak pertambahan nilai terigu dan minyak goreng oleh pemerintah, dana pengenaan pajak ekspor secara progresif untuk crude palm oil (CPO) hingga 25 persen, dan pengurangan pajak penghasilan impor kedelai.

Biarpun aneka instrumen kebijakan fiskal telah dikeluarkan, harga komoditas ternyata terus naik. Lebih-lebih minyak goreng. Lalu, banyak kalangan menganggap langkah tersebut tak bertaji. Pande Radja Silalahi, peneliti Center for Strategic and International Studies, mengatakan bahwa strategi yang diambil pemerintah tak bisa mengerem harga minyak goreng karena kenaikannya lebih dipicu faktor harga internasional. Yang memungkinkan, katanya, adalah dengan menetapkan kuota ekspor. Produsen CPO diharuskan memenuhi lebih dahulu kebutuhan dalam negeri, baru bisa ekspor.

Menurut Direktur Econit Advisory Group Hendri Saparini, kelemahan pemerintah adalah tak memberikan sanksi tegas bagi produsen yang tidak bisa menekan harga. Sanksi itu bisa berupa pemberian disinsentif kredit dan impor bahan baku, pencabutan kemudahan fiskal, atau memasukkan produsen ke daftar pengusaha bermasalah. Ekonom Fadhil Hasan menambahkan, mestinya pajak ekspor digenjot hingga 60 persen.

Diserbu tuduhan gagal, Mari bertahan. Ia menganggap berbagai instrumen yang digunakan telah menunjukkan keampuhannya. ”Semua itu berhasil meredam kenaikan harga minyak goreng,” katanya berkilah. Jika tidak, kenaikan lebih tinggi dari sekarang.

Bayu pun mendukung Mari. Kebijakan fiskal yang dipilih dirasa paling tepat untuk saat ini. Menurut dia, ada sejumlah sebab mengapa harga tetap naik. Lonjakan tinggi dalam tempo cepat akibat harga dunia. Di pasar internasional, faktor pendorongnya adalah kenaikan minyak mentah dunia dan produk biji-bijian seperti kedelai. Itu faktor luar yang tak bisa dihadang melalui kebijakan fiskal.

Usul untuk menaikkan pajak ekspor hingga 60 persen, kata Bayu, bukan langkah bijak. Langkah itu pernah diambil pada 1998, saat krisis ekonomi. Yang terjadi adalah eskalasi spiral. Nilai pajak dan harga internasional berkejaran. Akhirnya sektor industri yang menjadi korban.

Namun ia tak mengelak kalau dikatakan berbagai langkah itu belum sempurna. Karena itu, tim stabilitas harga pangan selalu melakukan evaluasi. ”Masih ada beberapa opsi yang kami godok jika ini belum reda,” kata Bayu. Mari menambahkan, pemerintah sudah memikirkan semua instrumen. Yang belum dilakukan adalah substitusi ke minyak kelapa atau mendorong pola makan yang lebih sehat.

Muchamad Nafi, R.R. Ariyani

Harga Rata-rata Minyak Goreng Curah
(Rp/kilogram)
2007
Maret
6.486
April
7.165
Mei
8.291
Juni
8.787
Juli
8.550
Agustus
9.073
September
9.116
Oktober
9.033
November
9.114
Desember
9.242
2008
Januari
10.147
Februari
10.709
3 Maret
11.985
4 Maret
12.275
5 Maret
12.763

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus