Defisit Kita di Antara Segunung Proyek Menteri Sumarlin bicara tentang sejumlah proyek raksasa bernilai puluhan milyar dolar. DESAKAN agar Pemerintah melonggarkan beleid uang ketatnya kian santer. Itu terjadi di tengah kredit besar yang konon sudah dijanjikan akan mengalir ke sejumlah proyek raksasa yang padat modal. Beberapa pengamat ekonomi Indonesia memperkirakan jumlah seluruh kredit untuk membiayai puluhan proyek raksasa akan mencapai US$ 70 milyar. Kalau benar, ada kekhawatiran defisit neraca berjalan dalam tahun anggaran 1991-1992 akan melampaui US$ 6 milyar, jauh di atas taksiran Bank Dunia yang US$ 4,3 milyar. "Suatu batas yang tak lagi bisa dipikul oleh ekonomi Indonesia," kata seorang konsultan urusan Indonesia di AS. "Akan sulit bagi In- donesia untuk memperoleh dana murah." Boleh jadi, angka yang dilontarkan konsultan pemerintah RI tersebut merupakan suatu skenario yang terburuk. Sebab, sebuah sumber TEMPO di lingkungan Ekuin berpendapat, kredit segede 70- an milyar dolar itu bakal diringkas lagi jadi US$ 45 milyar. Suatu jumlah yang dia perkirakan "tak akan terlalu mengganggu cadangan devisa di Bank Indonesia," yang pada akhir Maret 1992 sedikitnya akan mencapai US$ 9,1 milyar neto. Apa kata Profesor Sumarlin? Menteri Keuangan RI yang betah kerja hingga larut malam itu geleng-geleng ketika menerima serombongan wartawan TEMPO di kantornya, Kamis sore pekan lalu. "Angka 70 milyar dolar seperti Saudara kemukakan (lihat TEMPO, 20 Juli 1991, Laporan Utama -- Red.), baru merupakan daftar keinginan. Jadi, belum ada komitmen apa-apa," kata Sumarlin. "Daftar keinginan tersebut mungkin akan mencapai sebesar itu kalau rencana proyek-proyek pemerintah dijumlahkan dengan proyek swasta lainnya." Sumarlin tampak makin terduduk dalam sofanya, sambil membalik-balik tulisan dalam TEMPO, yang menurut dia kurang akurat di sana-sini. "Saya tidak pernah menganjurkan untuk memberikan kredit kepada sejumlah pengusaha besar pribumi dengan bunga 4% hingga 5% lebih murah dari bunga komersial," katanya. "Itu tidak benar." Syukurlah. Tapi itu pula kata seorang pengusaha yang mengaku akan mendapat kredit baru dari beberapa bank pemerintah. Mana mungkin bank pemerintah akan mau memberikan potongan sebesar itu. Dia akan rugi sendiri. Dari daftar yang US$ 70 milyar, berapa yang sudah disetujui, dan akan disetujui? Wah, saya lupa jumlahnya. Pokoknya, di dalamnya sudah termasuk pembangunan proyek-proyek listrik. Beberapa ahli sependapat, proyek pengadaan listrik dan telepon perlu untuk menjaga pertumbuhan. Tapi mestinya kan ada proyek mahal yang bisa ditangguhkan, Pak. Oh, ya. Kalau bunga tinggi, permintaan masyarakat, termasuk impor, jadi mahal. Dengan pengetatan itu diharapkan permintaan di dalam negeri bisa dikurangi. Salah satu sumber inflasi kan datang dari impor, yakni demand pull inflation. Seperti diketahui, investasi yang naik belakangan ini diikuti dengan naiknya kredit perbankan. Tapi, kenaikan investasi itu tak diimbangi dengan infrastruktur. Akibatnya, jumlah uang yang beredar jadi membengkak. Berapa bengkaknya? Ya, biasanya uang beredar hanya Rp 12 trilyun, tapi sekarang jadi Rp 30 trilyun. Apa Pemerintah tak lagi bisa menunda proyek-proyek besar, seperti di tahun 1983? Memang, dulu pada tahun 1983 ada 42 proyek senilai US$ 22 milyar yang dijadwalkan kembali menjadi hanya US$ 9 milyar. Bagaimana dengan rencana proyek yang konon akan senilai US$ 70 milyar? Begini. Yang bisa saya katakan, angkanya tak akan sebesar yang Saudara kemukakan. Itu saja. Menteri Sumarlin tak bersedia bicara banyak tentang rencana pendirian proyek-proyek besar. Tapi beberapa sumber Ekuin tak membantah bahwa ada sejumlah proyek "swasta" dan pemerintah yang kabarnya akan dibiayai dengan pinjaman komersial dari beberapa konsorsium perbankan di luar negeri. Juga dari ber- bagai bank di dalam negeri. Jumlah seluruhnya ditaksir akan menelan US$ 4 milyar. Dari jumlah utang jangka pendek tersebut, sekitar US$ 2,5 milyar kabarnya akan disalurkan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah yang tak ditanggung oleh kredit IGGI. Sisanya, yang US$ 1,5 milyar, akan dibagikan kepada sejumlah proyek swasta murni. Adapun proyek olefin di Cilegon, yang disebut-sebut akan menelan US$ 2,3 milyar, kabarnya akan dibiayai oleh suatu kelompok perbankan dalam negeri, di bawah koordinasi BBD. Alkisah, konsorsium itu akan mengumpulkan rupiah dulu, untuk kemudian dibelikan dolar agar bisa mengimpor barang-barang modal. Ada kekhawatiran, kalau persediaan dolar di BI tak men- cukupi, siapa tahu akan terulang kisah seperti Pertamina lebih dari 15 tahun silam. Yakni pembiayaannya terpaksa akan meng- gunakan cadangan devisa. Barangkali, yang juga masih perlu diluruskan menyangkut soal tingginya pembiayaan proyek olefin yang di Cilegon. Konon, proyek patungan punya Prajogo Pangestu, Henry Pribadi, dan Grup Bimantara itu antara lain akan ditopang dengan dana dari dalam negeri (BBD) US$ 700 juta. Jumlah inilah yang, menurut seorang pejabat keuangan, masih bisa ditekan. Ini jika dibandingkan dengan proyek serupa di Cilacap yang sebagian akan dibiayai oleh BNI '46 senilai US$ 400 juta. Soalnya, menurut sumber ter- sebut, kapasitas kedua proyek itu tak banyak berbeda. Adakah kelompok Salim Group ikut serta dalam proyek olefin di Cilegon? Ternyata, tidak. Menurut Johannes Kotjo, salah seorang Direktur Eksekutif Senior dari Salim Group, "Om Liem juga tak memiliki Proyek Pengembangan Pulau Bintan," yang kabarnya akan senilai Rp 3,8 trilyun. Yang benar, demikian Kotjo membantah tulisan di TEMPO pekan lalu, "Salim Group ikut berpartisipasi dalam proyek tersebut, dan sumber pembiayaannya bukan berasal dari bank-bank pemerintah." Salim Group atau bukan, yang agaknya menimbulkan rasa waswas adalah, kalau pelaksanaan proyek-proyek raksasa itu akan menohok beleid pemerintah Orde Baru, yang dikenal lebih suka berhemat-hemat dengan uangnya. Adakah kegemaran main pinjam utang luar negeri berjangka pendek -- yang biasa dikenal dengan off-shore loan -- menimbulkan kesan bahwa Pemerintah tak konsisten mempertahankan beleid uang ketatnya? Menteri Keuangan Sumarlin, yang gemar tenis, tak merasa dia sudah kena smash. "Pemerintah tetap konsisten menjalankan kebijaksanaan uang ketat. Yang dipakai untuk membiayai proyek- proyek itu bukan uang pemerintah. Kalau uang itu datangnya dari pemerintah berupa kredit likuiditas Bank Indonesia (KLBI), itu baru bisa dikatakan Pemerintah tidak konsisten," kata Sumarlin bersemangat. Tapi kalau di antara mereka kelak ada yang tak mampu mencicil utangnya, bukankah bank pemerintah ikut menanggung beban? Tidak semuanya akan begitu. Ambil saja kasus Bentoel. Kalau sampai perusahaan itu collapse, jaminannya bisa diambil. Memang ada proyek-proyek besar milik negara seperti di Pertamina. Ini, kalau dilaksanakan, dananya sangat besar. Proyek Pertamina mana saja yang dalam waktu dekat akan dilak- sanakan? Yang jelas proyek LNG Train F di Bontang, Kalimantan Timur, akan dilaksanakan dalam tahun anggaran sekarang. Jumlahnya senilai US$ 650 juta. Kalau yang ini prospeknya cukup bagus. Dan yang sekarang sedang diprioritaskan adalah pembangunan in- frastrukturnya. Di luar itu, boleh dibilang, masih belum apa- apa. Ada yang beranggapan proyek pengilangan Exor (export oriented refineries) milik Pertamina tidak ekonomis. Dalam 10 tahun pertama operasi, proyek itu diduga hanya akan meng- hasilkan nilai tambah sekitar US$ 200 juta per tahun. Sedang cicilan utang dan bunganya ditaksir akan mencapai US$ 400 juta setahun. Betulkah? Saya belum mempelajarinya. Tapi sebagian kan sudah mulai jalan, misalnya Exor I di Balongan, Cirebon, senilai US$ 1,9 milyar. Exor II di Dumai, belum ada pembicaraan. Exor III di Tanjung Uban, Riau Kepulauan, senilai US$ 1,5 milyar, juga belum jalan. Pokoknya, tujuan proyek pengilangan itu adalah agar kita jangan mengandalkan kepada ekspor minyak mentah saja. Kembali ke krisis Bentoel, Tommy Soeharto dari Grup Humpuss sudah berniat menyuntik dana Rp 200 milyar. Apa pendapat Anda? Mas Tommy memang mau membantu mengatasi krisis keuangan di perusahaan itu. Kesulitan likuiditas yang dialami pabrik rokok kretek itu sebenarnya bersumber pada mis-management, yakni adanya kesalahan perencanaan. Tapi kini masalah yang sifatnya intern itu sudah bisa mereka atasi. Pihak kreditor luar negeri tampaknya mau memperpanjang jangka waktu pembayaran utangnya. Produksi mereka juga masih berjalan baik. Jadi, maksud Pak Marlin, agar orang luar sebaiknya menahan diri untuk masuk karena bantuan kredit yang akan mereka ulurkan akhirnya toh datang dari BI juga? Ya, begitulah. Makin banyak perusahaan yang menuntut agar beleid likuiditas ketat segera dilonggarkan. Sebab, menurut mereka, dalam waktu dekat banyak perusahaan yang akan pingsan kalau bukan bangkrut. Pemerintah ingin tetap menjaga mengendalikan inflasi, tapi tak sampai mematikan dunia usaha. Di sini seninya. Makanya, pengetatan uang ini perlahan-lahan diturunkan. Deposito ber- jangka, yang tadinya 24%, sekarang sudah turun antara 21% dan 22% setahun. Bukankah bank pemerintah sendiri yang mulanya memelopori bunga tinggi. Bahkan, ada yang berani menawarkan melebihi bank- bank swasta. Memang, yang pertama menaikkan suku bunga deposito adalah BBD. Mereka sudah saya tegur. Sebenarnya, tak perlu demikian. Waktu ada pengonversian deposito BUMN ke SBI (Sertifikat Bank Indonesia), yang ditarik BI sebenarnya tidak banyak. Jadi, tak ada alasan bagi bank-bank untuk menaikkan bunga dengan amat tinggi. Bank-bank pemerintah tampaknya punya persoalan yang sendiri- sendiri, rupanya. Benar. Tapi jika mereka bisa kompak menurunkan suku bunga, mereka bisa jadi price leader. Itu sudah saya bicarakan dengan mereka. Hasilnya, sekarang, sudah mulai tampak. Tapi turunnya bunga deposito pasti tak akan sampai di bawah yang ditawarkan oleh bank di luar negeri, kan? Oh, itu hukum ekonomi. Bunga tinggi akan menarik masuknya modal dari luar. Tapi yang kita inginkan bukan masuknya off shore loan yang dipinjam pengusaha di sini untuk kemudian dis- impan ke dalam deposito. Tapi digunakan untuk investasi dan membiayai ekspor. Untuk melunasi dunia usaha yang lagi berteriak, berapa ting- kat inflasi yang bisa ditenggang Pemerintah? Sebaiknya kita melihat inflasi yang berjalan di negara mitra dagang Indonesia. Di AS inflasi diperkirakan sekitar 5%, di Jepang rencananya hanya sekitar 3%, sementara di Eropa dengan turunnya nilai mata uang DM terhadap dolar AS, inflasinya paling banter sekitar 6%. Jadi, Indonesia berani sampai berapa, agar kita tak kewalahan membayar kewajiban-kewajiban terhadap mereka? Menurut saya, harus tetap single digit, di bawah 10% setahun. Rambutnya yang makin memutih, dan wajah yang tampak letih, tak membuat Sumarlin merasa pesimistis melihat berbagai rintangan yang datang dari sana-sini. Dalam suasana ekspor yang belakangan ini agak menurun, dan dikhawatirkan bisa tak men- capai sasaran, Sumarlin menilai ekonomi kita masih tetap jalan. "Tak sampai terjadi stagnasi, dalam keadaan uang ketat," katanya. Fikri Jufri, Max Wangkar, Mohamad Cholid, Bambang Aji (Jakarta), dan Bambang Harymurti (Boston, AS)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini