Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sesudah Embun Beku

Harga kopi di pasaran dunia merosot, karena usaha negara-negara produsen meningkatkan produksinya akibat gagalnya panen kopi Brazil akibat embun pagi. Dewan kopi sedunia diminta menstabilkan harga.

7 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENCAPAI rekor gemilang pada 1977, komoditi kopi nampaknya untuk sementara merupakan andalan Indonesia untuk ekspor di bidang non-minyaknya. Dengan penghasilan 'devisa US$ 635 juta, kopi menggeser kedudukan karet sebagai bahan ekspor utama, dan tempatnya hanya diungguli oleh kayu dan minyak. Namun, di kala Indonesia memerlukan peningkatan ekspor non-minyak - karena kenaikan ekspor minyak sudah tak bisa diharapkan lagi --kini perdagangan kopi menghadapi situasi yang tak menentu. Harga kopi sekarang hanya sepertiga dari keadaannya pada bulan pertama 1977, ketika harga mencapai puncaknya dengan gagalnya panen kopi Brazil akibat embun beku yang menyerang. Jenis Arabica Brazil, misalnya, di awal 1977 mencapai US$ 3,40 per pound, kini hanya US 1.20 per pound, sekalipun ini masih lebih tinggi dari harga sebelum bencana embun beku Brazil. Sebab merosotnya harga kopi ini karena usaha negara-negara produsen meningkatkan produksinya untuk mengisi kekosongan akibat gagalnya panen Brazil kini sudah membuahkan hasil. Kolumbia, produsen kopi terbesar sesudah Brazil kini sudah meningkatkan produksinya dari 500.000 ton menjadi 600.000 ton setahun. Peningkatan produksi juga terjadi di beberapa negara Afrika dan Asia. Sementara itu produksi kopi Brazil sendiri sudah berangsur pulih. Seberapa jauh pulihnya, tak ada orang tahu. Brazil merahasiakan hal ini. Akibatnya, menebak berapa produksi Brazil sekarang ini merupakan bisnis yang mengasyikkan, karena dari sinilah bisa lahir spekulasi yang menguntungkan. Tapi kalangan pedagang umumnya menaksir bahwa produksi kopi Brazil kini sekitar 1 juta ton setahun, masih di bawah 174 juta ton produksinya sebelum bencana embun beku. Seperti biasanya ketika harga memburuk, orang mulai menengok ke organisasi induknya. Organisasi Kopi Sedunia (ICO) yang sudah melepaskan sistim kwota ekspor kopi sejak 1972, kini diminta bantuannya lagi Kolumbia merupakan salah satu negara yang ngotot menuntut dihidupkannya lagi sistim kwota ekspor. Alasannya memang bisa dimengerti. Sebagai produsen yang kuat, jatah yang akan diperolehnya dari satu sistim kwota akan lebih besar dari yang lain, dus memperkuat kedudukannya di pasaran tanpa bisa disaingi oleh negara lain. Bila tanpa kwota, siapa saja boleh mengekspor sebanyak-banyaknya. Karena itu jelaslah, bahwa mayoritas produsen kopi, termasuk Indonesia dan Brazil sendiri, menentang dihidupkannya kembali sistim kwota ekspor lagi. Indonesia, misalnya, tanpa kwota berarti masih akan bisa mengekspor 160.000 ton kopi seperti yang terjadi pada 1977. Bila dengan kwota, maka mungkin Indonesia hanya diberi jatah 80.000 ton, atau separuh dari jumlah yang semestinya mampu diekspor. Sudah tiga minggu soal jatah itu dibicarakan dalam Dewan Kopi Internasional, London, bertujuan menstabilkan harganya. Sampai akhir minggu lalu, 67 anggotanya (produsen dan konsumen) gagal mencapai persetujuan. Busuk, Berjamur Tambahan permintaan yang mendadak telah membuka mata tentang problema yang dihadapi produksi perkebunan Indonesia. Seperti halnya kelapa dan karet, kopi juga punya masalah strukturil yaitu suplainya yang tidak elastis produksinya tak bisa ditingkatkan dalam waktu singkat bila diperlukan. Ini disebabkan, seperti halnya kelapa dan karet, perkebunan kopi sebagian besar merupakan perkebunan rakyat, yang rendah mutu atau pun produktivitasnya. Kini, dengan adanya harga yang baik di pasaran, rencana peningkatan produksi kopi mulai kelihatan bentuknya, sekalipun hasilnya baru akan terasa pada akhir abad ini. Memang dua tahun terakhir ini ada kenaikan yang agak meyolok pada produksi kopi Indonesia. Ini terjadi karena pemilik kebun buru-buru membenahi pohon kopinya begitu mendengar harga di luar negeri melonjak, dan ternyata ekspor kopinya pun juga ikut melonjak. Tapi ini menimbulkan masalah baru lagi. Jumlah kopi Indonesia yang ditahan Food and Drug Administration di AS meningkat dari US$ 11 juta pada 1976 menjadi US$ 13 juta selama semester I 1977 saja. Ini serius mengingat Amerika merupakan pasaran utama kopi Indonesia. Mutu kopi yang diekspor ternyata tak diawasi dengan seksama, hingga, banyak bijih kopi yang diekspor busuk, berjamur, atau berserangga. Pemerintah memang belum bersikap keras terhadap pengawasan mutu. Bahwa boom harga kopi mulai berakhir, angka ekspor selama semester I tahun ini membuktikannya. Jumlah ekspor kopi sampai Juni tercatat US$ 205 juta, atau merosot 40% dari periode yang sama tahun lalu. Selama periode tersebut karet merebut kembali kedudukannya yang tadinya tergeser, dengan hasil ekspornya mencapai US$ 300 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus