MENCAPAI rekor gemilang pada 1977, komoditi kopi nampaknya untuk
sementara merupakan andalan Indonesia untuk ekspor di bidang
non-minyaknya. Dengan penghasilan 'devisa US$ 635 juta, kopi
menggeser kedudukan karet sebagai bahan ekspor utama, dan
tempatnya hanya diungguli oleh kayu dan minyak.
Namun, di kala Indonesia memerlukan peningkatan ekspor
non-minyak - karena kenaikan ekspor minyak sudah tak bisa
diharapkan lagi --kini perdagangan kopi menghadapi situasi yang
tak menentu. Harga kopi sekarang hanya sepertiga dari keadaannya
pada bulan pertama 1977, ketika harga mencapai puncaknya dengan
gagalnya panen kopi Brazil akibat embun beku yang menyerang.
Jenis Arabica Brazil, misalnya, di awal 1977 mencapai US$ 3,40
per pound, kini hanya US 1.20 per pound, sekalipun ini masih
lebih tinggi dari harga sebelum bencana embun beku Brazil.
Sebab merosotnya harga kopi ini karena usaha negara-negara
produsen meningkatkan produksinya untuk mengisi kekosongan
akibat gagalnya panen Brazil kini sudah membuahkan hasil.
Kolumbia, produsen kopi terbesar sesudah Brazil kini sudah
meningkatkan produksinya dari 500.000 ton menjadi 600.000 ton
setahun. Peningkatan produksi juga terjadi di beberapa negara
Afrika dan Asia. Sementara itu produksi kopi Brazil sendiri
sudah berangsur pulih. Seberapa jauh pulihnya, tak ada orang
tahu. Brazil merahasiakan hal ini. Akibatnya, menebak berapa
produksi Brazil sekarang ini merupakan bisnis yang mengasyikkan,
karena dari sinilah bisa lahir spekulasi yang menguntungkan.
Tapi kalangan pedagang umumnya menaksir bahwa produksi kopi
Brazil kini sekitar 1 juta ton setahun, masih di bawah 174 juta
ton produksinya sebelum bencana embun beku.
Seperti biasanya ketika harga memburuk, orang mulai menengok ke
organisasi induknya. Organisasi Kopi Sedunia (ICO) yang sudah
melepaskan sistim kwota ekspor kopi sejak 1972, kini diminta
bantuannya lagi Kolumbia merupakan salah satu negara yang ngotot
menuntut dihidupkannya lagi sistim kwota ekspor. Alasannya
memang bisa dimengerti. Sebagai produsen yang kuat, jatah yang
akan diperolehnya dari satu sistim kwota akan lebih besar dari
yang lain, dus memperkuat kedudukannya di pasaran tanpa bisa
disaingi oleh negara lain. Bila tanpa kwota, siapa saja boleh
mengekspor sebanyak-banyaknya. Karena itu jelaslah, bahwa
mayoritas produsen kopi, termasuk Indonesia dan Brazil sendiri,
menentang dihidupkannya kembali sistim kwota ekspor lagi.
Indonesia, misalnya, tanpa kwota berarti masih akan bisa
mengekspor 160.000 ton kopi seperti yang terjadi pada 1977. Bila
dengan kwota, maka mungkin Indonesia hanya diberi jatah 80.000
ton, atau separuh dari jumlah yang semestinya mampu diekspor.
Sudah tiga minggu soal jatah itu dibicarakan dalam Dewan Kopi
Internasional, London, bertujuan menstabilkan harganya. Sampai
akhir minggu lalu, 67 anggotanya (produsen dan konsumen) gagal
mencapai persetujuan.
Busuk, Berjamur
Tambahan permintaan yang mendadak telah membuka mata tentang
problema yang dihadapi produksi perkebunan Indonesia. Seperti
halnya kelapa dan karet, kopi juga punya masalah strukturil
yaitu suplainya yang tidak elastis produksinya tak bisa
ditingkatkan dalam waktu singkat bila diperlukan. Ini
disebabkan, seperti halnya kelapa dan karet, perkebunan kopi
sebagian besar merupakan perkebunan rakyat, yang rendah mutu
atau pun produktivitasnya. Kini, dengan adanya harga yang baik
di pasaran, rencana peningkatan produksi kopi mulai kelihatan
bentuknya, sekalipun hasilnya baru akan terasa pada akhir abad
ini.
Memang dua tahun terakhir ini ada kenaikan yang agak meyolok
pada produksi kopi Indonesia. Ini terjadi karena pemilik kebun
buru-buru membenahi pohon kopinya begitu mendengar harga di luar
negeri melonjak, dan ternyata ekspor kopinya pun juga ikut
melonjak. Tapi ini menimbulkan masalah baru lagi. Jumlah kopi
Indonesia yang ditahan Food and Drug Administration di AS
meningkat dari US$ 11 juta pada 1976 menjadi US$ 13 juta selama
semester I 1977 saja. Ini serius mengingat Amerika merupakan
pasaran utama kopi Indonesia. Mutu kopi yang diekspor ternyata
tak diawasi dengan seksama, hingga, banyak bijih kopi yang
diekspor busuk, berjamur, atau berserangga. Pemerintah memang
belum bersikap keras terhadap pengawasan mutu.
Bahwa boom harga kopi mulai berakhir, angka ekspor selama
semester I tahun ini membuktikannya. Jumlah ekspor kopi sampai
Juni tercatat US$ 205 juta, atau merosot 40% dari periode yang
sama tahun lalu. Selama periode tersebut karet merebut kembali
kedudukannya yang tadinya tergeser, dengan hasil ekspornya
mencapai US$ 300 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini