Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dia Yang Kembali

Babak-belur didera krisis, bisnis Bakrie melejit dalam dua tahun terakhir. Karena perencanaan, garis tangan, atau posisi politik?

8 Mei 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIMPI itu diwujudkan di Ku-ning-an. Dari bangunan 30 lan-tai- yang direncanakan, se-paruh-nya kini sudah berdiri. Inilah menara ke-18 di tengah perkampungan modern yang dibangun kelompok Bakrie di Kuningan, kawasan bisnis kelas wahid di Jakarta Selatan.

Dalam rancangan PT Bakrieland Development Tbk, melalui PT Bakrie Swasakti Utama, akan ada sebelas mena-ra- apartemen lagi yang akan mere-ka ba-ngun- dalam sepuluh tahun mendatang, plus satu lagi yang disebut Bakrie Tower setinggi 48 lantai.

Peluncurannya dilakukan pada 5 April- lalu, dan Juli nanti semua rancang-an yang diberi nama Rasuna Epicentrum- itu akan dibangun dengan investasi awal Rp 1,2 triliun. Seperti namanya, di areal 44,7 hektare inilah pusat komando bisnis Bakrie akan berada. Sebuah bisnis raksasa yang meliputi sektor perkebunan, properti, pertambangan, infrastruktur, dan media massa serta telekomunikasi.

Saat ini, dengan 6.000 penghuni di 15 tower apartemen, Kompleks Rasuna- laksana kelurahan mandiri. Sepuluh tahun- lagi kompleks itu mungkin bakal jadi kecamatan tersendiri. Sebuah wi-layah yang seluruhnya dikuasai keluarga- Bakrie.

Kontribusi Bakrieland pada kelompok- Bakrie Brothers memang lebih kecil dibanding anak perusahaan di sektor lain. Tapi properti adalah simbol kerajaan bisnis dan mimpi keluarga Bakrie. Laba bersih dari bisnis ini tahun lalu -Rp 92,5 miliar. ”Kami punya keuntungan operasi perusahaan sampai Rp 46,6 miliar. Yang lain kan karena saham,” kata Direktur Utama Bakrieland, Marudi Surachman.

l l l

BAKRIE bangkit kembali? Dalam sebuah wawancara dengan Tempo, tak lama setelah kalah dalam konvensi Partai- Golkar dua tahun lalu, Aburizal Bakrie bercerita tentang pengalamannya berbisnis. ”Saya pernah naik dan jatuh bangkrut sampai lebih miskin dari mereka yang di pinggir jalan. Utang saya begitu besar,” kata Ical, panggilan akrab Aburizal.

Ketika jatuh miskin lima tahun lalu itu pula, putra sulung Achmad Bakrie ini pernah bertandang ke Koran Tempo. Saat itu, dengan mata basah ia mengaku bingung bagaimana menjelaskan kepada ibunya mengapa perusahaan warisan itu bisa sangat kempis: saham keluarga susut hingga 2,9 persen.

Utangnya saat itu memang bejibun. Ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) saja, kewajibannya per Desember 1999 mencapai Rp 4,3 triliun—pengutang keempat terbesar. Utang itu berasal dari tiga perusahaan induknya: PT Bakrie & Brothers Tbk, PT Bakrie Investindo, dan PT Bakrie Capital Indonesia, ditambah utang keluarga Bakrie. Belum lagi ke ratusan kreditor asing.

Jika ditotal, utang PT Bakrie Brothers saja mencapai US$ 1,08 miliar (sekitar Rp 10 triliun). Tak mengherankan, ketika kesepakatan restrukturisasi utang diteken pada November 2001, porsi kepemilikan saham keluarga Bakrie menciut tinggal 2,92 persen. Sedang-kan 95 per-sen saham Bakrie Brothers berpindah ke tangan kreditor, dan 2,08 persen sisanya milik publik.

Tak semua orang percaya dengan peng-akuan itu. Bank Exim Amerika-, salah satu kreditor Bakrie, bahkan sam-pai- mengeluh di media masa. Mereka merasa- ada yang disembunyikan Ical dan keluarga tentang jumlah harta mere-ka yang tersisa.

Tapi inilah kelebihan Ical. Bukannya lari seperti dilakukan kebanyakan konglomerat lain yang sama-sama tumbang dihajar krisis, ia justru mendatangi kreditor itu dan memintanya mengaudit- ulang kekayaan pribadi dan perusahaan Bakrie. Hasilnya, mereka percaya dan mendukung proposal restrukturisasi yang diajukan Ical. Kalau tudingan Bank Exim itu benar, ”Tidak mungkin saya dipercaya mengambil utang lagi. Saat ini ada 220 kreditor, 90 persen asing,” kata Ical lagi. Hampir semuanya menerima piutang mereka diganti dalam bentuk pemilikan di perusahaan-perusahaan Bakrie. Sebagian lagi ditukar aset, dan hanya sedikit yang dibayar tunai.

Hasilnya langsung terasa. Sementara pengusaha lain gulung tikar, masuk bui, atau kabur ke luar negeri, Ical bahkan masih bisa menjaga kepercayaan para inves-tor. ”Buktinya, saya bisa beli lagi Kal-tim- Prima Coal (KPC) senilai US$ 500 juta dengan kredit baru,” ujarnya. KPC diambil Bakrie pada Oktober 2003 da-ri tangan dua raja tambang dunia, Rio Tinto dan Beyond Petroleum Plc.

Sebelum itu sebetulnya Bakrie sudah menggeliat. Melalui PT Bumi Resources- Tbk, Oktober 2001, Bakrie mengambil alih PT Arutmin Indonesia, tambang batu bara milik BHP Biliton Australia seharga US$ 180 juta.

Bakrie tahu kapan harus menangguk untung. Pada 16 Maret lalu, Bumi melepas sahamnya di Arutmin dan PT Indo-coal Resources, sebuah perusahaan tambang lainnya. Pembelinya adalah PT Borneo Lumbung Energi, milik peng-usaha Samin Tan melalui Renaisance Capital Asia. Plus saham Bakrie di KPC, berarti ada tiga perusahaan yang di-lego. Hasilnya bukan alang-kepalang: dari ketiganya Bakrie mendapat US$ 3,2 miliar atau Rp 29 triliun lebih.

Dalam paparannya kepada publik, sepekan kemudian, Direktur Utama Bumi Resources Ari Saptari Hudaya menga-takan bahwa harga yang mereka- terima- itu lebih tinggi 30 persen dari harga- pasar- saham Bumi, yang totalnya senilai- sekitar US$ 2 miliar. Berapa hasil bersih-nya setelah dipotong utang dan kewajiban pada negara, saat ini masih- dihitung. Tapi kepada Bursa Efek Jakar-ta, Ari mengatakan dari transaksi itu Bumi mengeruk duit hingga US$ 2,7 miliar. Artinya, dalam tiga tahun, Bumi ber-hasil membuat investasi mereka berlipat lebih dari empat kali.

Pengusaha Achmad Kalla menilai- ke-untungan seperti yang dinikmati- Ba-krie di ladang batu bara ini sebagai- ”hoki” terbesar dalam sejarah bisnis Indonesia. ”Untung 10-20 persen itu karena ren-cana dan perhitungan yang matang, tapi kalau untung lebih dari 200 persen itu namanya sudah garis tangan,” kata -bos Bukaka Teknik Utama ini kepada T-empo.

l l l

TIGA bulan sebelum Ical masuk kabinet, ia mundur dari posisi resminya sebagai komisaris utama Bakrie Brothers-. Posisinya digantikan oleh Irwan Syar-kawi, yang sebelumnya adakah komisaris independen perusahaan itu.

Sepeninggal Achmad Bakrie pada 1988, bisnis Bakrie diserahkan kepada- Ical dan dua adik laki-lakinya, Nirwan- dan Indra. Kendali utama ada pada Ical melalui PT Bakrie Investindo, yang membawahkan perusahaan-perusaha-an- dengan mayoritas saham dikuasai keluarga. Nirwan ditugasi memimpin Bakrie Capital Indonesia, yang aktif melakukan akuisisi perusahaan-perusa-ha-an lain, misalnya PT Elang Realty milik Budiono Hindoro Halim, yang kemudian diubah menjadi Bakrieland Development.

Bakrie Brothers, yang mengelola per-usahaan-perusahaan keluarga yang -cukup mapan, dikendalikan Indra. Dalam perjalanannya, manajemen Bakrie- Brothers sempat diserahkan ke profesional seperti Tanri Abeng. Tapi, ketika krisis datang, dan Tanri diangkat menjadi Menteri Negara BUMN dalam kabinet Habibie, Indra kembali turun tangan.

Pada 2002, posisi direktur utama Bakrie Brothers kembali diserahkan ke profesional. Kali ini yang dipilih adalah Gafur Sulistyo Umar, lebih dikenal dengan Bobby Gafur. Ia berasal dari luar ke-luarga, meski tak jauh-jauh amat: Bobby- adalah putra Sucipto Umar, kawan dekat Acmad Bakrie, ayah Ical.

Di tangan Bobby, Bakrie Brothers kem-bali bergigi. Saham di beberapa perusahaan yang sempat dilepas kepemilikannya diambil alih kembali, misalnya di perkebunan karet dan sawit PT Bakrie Sumatera Plantation, yang meningkat hingga hampir 54 persen. Ekspansi lebih agresif terjadi di Bakrie Telecom dengan produk andalan telepon seluler, Esia.

Indikasi kebangkitan kembali Bakrie- juga terpantau oleh majalah Forbes, yang rajin mengeluarkan data ke-kayaan orang kaya di seluruh dunia. Dalam ca-tatan mereka, kekayaan Ical pada 2004 diperkirakan US$ 735 juta atau -Rp 6,6 triliun. Jumlah itu jauh lebih tinggi dibanding kekayaannya sepuluh tahun sebelumnya, yang diperkirakan -”hanya” US$ 250-500 juta.

Posisi itu menempatkan Ical sebagai orang terkaya keempat di Indonesia, setelah pemilik Gudang Garam Rachman Halim, bos Grup Djarum Budi Hartono, dan Putera Sampoerna. Kenyataannya, kemiskinan memang tak pernah benar-benar dialami Bakrie.

Meski begitu, kepada Komisi Pem-beran-tasan Korupsi, Ical hanya mencatat-kan kekayaan Rp 1,19 triliun. Setelah dipotong utang US$ 35 juta, kekayaan bersihnya menjadi Rp 860 miliar—jauh di bawah angka Forbes.

Adakah posisi Ical di kabinet mendongkrak kelompok bisnisnya? Marudi Surachman dari Bakrieland dan Direktur Bakrie Swasakti Utama Dicky Setiawan dengan cepat menggeleng. ”Sebaliknya, justru jadi beban. Kami jadi harus lebih hati-hati karena takut salah dan kemudian dipolitisasi,” kata Marudi. Direktur Bakrieland Sri Hascaryo menambahkan, ”Dalam negosiasi, nama Bakrie itu tak berpengaruh.”

l l l

TELAH lama memang terdengar- guyon-, bahwa Indonesia saat ini dikuasai- BBM—Bukaka, Bakrie, dan Medco. Yang terakhir adalah kelompok usaha mi-lik Arifin Panigoro—yang bersama-sama Bakrie tumbuh dan dibesarkan semasa Menteri Pertambangan dan Ener-gi dipegang Ginandjar Kartasasmita. -Ketiganya memang kerap dijuluki ”The Ginandjar’s boys”. Tak bisa disangkal, performa Bakrie Brothers meningkat tajam setelah Ical duduk di kabinet. Pada September 2004 Ical diangkat menjadi Menteri Koordinator Perekonomian ka-binet Presiden -Yudhoyono. Setahun kemudian ia dipindah menjadi -Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat hingga kini.

Namun Achmad Kalla, adik Wakil -Pre-siden Jusuf Kalla, yakin bahwa sukses- bisnis dan kekuasaan tak lagi punya hubungan di era reformasi ini. ”Saya sendiri merasakan, justru banyak- pe-luang hilang karena kami kelewat ketakutan,” ujarnya. Menurut dia, Ical saat ini jauh lebih kaya dibandingkan -sebelum krisis karena dua hal: ia mendapatkan banyak potongan utang dan karena investasi di pertambangan batu bara memberikan untung luar -biasa.

Namun inilah faktanya. Pada 2004—ketika Ical belum masuk kabinet—-Bakrie membukukan kerugian bersih Rp 267 miliar, tapi sampai Desember 2005 kelompok ini sudah mencatat laba bersih Rp 292 miliar. Utang perusahaan juga turun hingga US$ 172 juta.

”Penjualan perusahaan juga me-ningkat menjadi Rp 2,7 triliun sepanjang 2005, dibanding tahun sebelumnya Rp 1,2 triliun,” kata Direktur dan -Sekretaris Perusahaan, Juliandus Lumban Tobing, beberapa pekan lalu. Kontribusi terbesar, 55 persen, datang dari bisnis infrastruktur. Perkebunan menyumbang 33 persen, dan telekomunikasi 12 persen. Jangan lupa, Ical juga punya bisnis infrastruktur—proyek yang menjadi prioritas pemerintah ketika- Ical menjadi Menteri Perekonomian. Dengan total nilai diperkirakan US$ 150 miliar, jelas ini akan menjadi lahan bisnis -yahud.

Tak bisa dipastikan, apakah Ical memanfaatkan jabatan untuk menggelembungkan bisnisnya. Yang mungkin adalah mengajukan pertanyaan: tidak-kah, dalam bisnis, informasi adalah aset berharga? Tidakkah posisi menteri membuat seorang pebisnis selalu mendapat informasi kelas satu?

Y. Tomi Aryanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus