Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TINGGAL dua hari waktu bagi Asep untuk membeli pupuk buat tanaman padinya. Tapi, seperti petani lainnya di Desa Chambulu, Subang, Jawa Barat, Asep tak bersemangat mencari butiran nitrogen penyubur tanaman itu. "Mau beli di mana?" ujarnya kepada Nanang Sutisna dari TEMPO, Rabu pekan lalu, "Kalaupun ada, harganya masih mahal."
Pupuk tetap langka, meski pemerintah mengeluarkan sanksi lebih keras untuk pihak-pihak yang menyebabkan kelangkaan pupuk urea di wilayah tugasnya, seperti terjadi pada akhir April hingga pertengahan Mei lalu. Di surat Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 356, yang efektif 27 Mei, pemerintah mengancam akan melakukan penahanan, bahkan pembatalan, dana subsidi kepada produsen pupuk jika masih terjadi kelangkaan di wilayahnya. Distributor dan pengecer diancam dengan pencabutan surat izin usaha perdagangan (SIUP).
Ancaman penahanan dana subsidi pupuk layaknya ditakuti. Sebab, jumlahnya tak kecil. Bagi Pupuk Kaltim, yang produksi ureanya mencapai 1,7 juta ton, dana subsidinya bisa mencapai US$ 56 juta atau setara dengan Rp 504 miliar. Subsidi pemerintah diberikan US$ 1 per MMBTU atas harga gas yang dibeli pabrik pupuk dari produsen gas. Lalu, ditetapkanlah harga eceran pupuk tertinggi Rp 1.050 per kg. Dari lima produsen pupuk urea di Tanah Air, dana subsidi tahun ini Rp 1,3 triliun. Tahun depan nilainya akan dinaikkan menjadi Rp 1,5 triliun.
Seperti Asep, hal serupa dialami Bahrum dari Desa Telagasari, Kabupaten Karawang. Kalaupun pupuk ada, harganya lebih mahal dari harga pemerintah: Rp 1.300 per kg. "Kalau mau aman, kami harus menyetor uang dulu ke pengecer," katanya. Di Jember dan Situbondo, Jawa Timur, para petani yang telanjur menanam terancam merugi karena pemupukannya terlambat.
Menurut Ketua Kelompok Tani Nelayan Andalan Jember, Hamam, stok beberapa kios pengecer di sejumlah kecamatan kian tipis, harga pupuk merangkak naik. Harga urea produksi Pupuk Kaltim sekitar Rp 1.100 per kg, sedangkan produksi Pupuk Sriwijaya lebih mahal, hampir Rp 1.350. Jumantoro, rekan Hamam, menduga stok pupuk di wilayahnya dijual ke daerah lain. "Di kios milik kelompok tani saya, ada pesanan dari luar Jember karena di sana sedang kosong," ujarnya.
Menurut Dirjen Industri Kimia, Agro, dan Hasil Hutan Departemen Perindustrian, Benny Wahyudi, pasokan pupuk di beberapa daerah Jawa Timur memang masih kritis selama sepekan ini karena pengalihan tugas dari Pusri ke Pupuk Kaltim. Semula kewajiban Pupuk Kaltim hanya 500 ribu ton. Dengan pengalihan itu, naik menjadi 700 ribu ton.
Meski begitu, Benny optimistis kebijakan baru ini mampu mengatasi kelangkaan pupuk di masa datang. Sebab, sanksinya lebih keras ketimbang sebelumnya: sekadar surat teguran menteri. Apalagi ia menyaksikan sendiri, di Cilacap ada produsen pupuk yang tidak punya gudang di tingkat kabupaten. "Subsidi berjalan tidak efektif karena faktanya petani membeli pupuk lebih mahal dari Rp 1.050 per kg," katanya. "Karena itu, kami memperbaiki sistem pengawasan, wilayah kerja, dan sanksinya."
Pemerintah tetap melarang ekspor pupuk mulai Mei, hingga batas waktu tak ditentukan. "Kami harapkan mulai Juli stok nasional di tingkat provinsi dan kabupaten mencapai 250 ribu ton," tuturnya. Deputi Menteri Negara BUMN yang membidangi industri pupuk, Mawardi Simatupang, menilai kelangkaan pupuk bukan kelalaian pabrik pupuk. Alasannya, pabrik pupuk sudah menunaikan tugasnya dengan memproduksi pupuk melebihi kebutuhan. Dari kebutuhan 4,5 juta ton tahun ini, produksi mencapai 6,5 juta ton. "Lebih dari cukup, ditambah adanya kebijakan larangan ekspor," kata Mawardi kepada Adek dari Tempo News Room.
Pengamat pertanian Bustanul Arifin menilai sanksi penahanan dana subsidi pupuk mirip macan kertas. Hanya keras di atas kertas, tetapi melempem di tingkat pelaksanaannya. Apalagi, selama ini instrumen pengawasan penyaluran pupuk bersubsidi tidak ada yang jalan. Ia menilai, kelangkaan pupuk disebabkan produsen masih suka melakukan ekspor pupuk. Apalagi harga jual ekspor lebih mahal ketimbang pasar lokal. Di sini harga urea ditetapkan pemerintah Rp 1.050 per kg, sedangkan di pasar ekspor harganya bisa mencapai Rp 2.000.
Hasil studinya menemukan fakta bahwa penyaluran pupuk dari pabrik atau pelabuhan tujuan ke provinsi rawan penyelewengan. Begitu pula dari provinsi ke tingkat kabupaten. "Jadi, wajar saja pupuk di tingkat pengecer langka karena dari atasnya seret."
M. Syakur Usman, Mahbub Djunaidy (Jember), Dwidjo Maksum (Nganjuk), Ivansyah (Cirebon), Zed Abidien (Gresik)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo