BURUH masih tetap dilarang mogok -- apapun persoalannya, walau
itu menyangkut hak azasi mereka yang harus dipenuhi oleh
majikannya. Itulah, makanya, waktu buruh perusahaan pipa baja
Talang Tirta di Jakarta mengadakan pemogokan, tanggal 17, 18 dan
19 Juni lalu, alat negara segera turun tangan. Pimpinan
buruhnya, N. Makatita, yang dituduh memimpin aksi pemogokan
sampai harus sehari berurusan dengan Team Khusus anti Bandit
segala. Kepala Resort Tenaga Kerja, Staf Walikota, Polisi sampai
Kodim di Jakarta Selatan, berhasil menghentikan aksi buruh yang
melanggar hukum itu. Hari berikutnya perusahaan pipa itu, konon
satu-satunya milik pengusaha pribumi, sudah bekerja seperti
biasa. Namun pokok sengketanya sendiri, yaitu agar perusahaan
mau membayarkan uang gratifikasi buruh selama tahun 1974,
kabarnya belum seluruhnya beres.
Sengketa antara buruh dan majikan pabrik pipa milik PT Bakrie
bersaudara itu, sudah sejak lama dicari persesuaian dengan jalan
'dingin'. Sekitar 350-an buruh menuntut agar perusahaan memenuhi
kewajiban membayar bonus tahun 1974. Perusahaan mengelak.
Alasannya tahun itu perusahaan rugi sekian juta rupiah akibat
'resesi ekonomi dunia'. "Alasan itu tentu tak dapat diterima",
kata H. Atika Karwa, pengurus Serikat Buruh Logam & Keramik (SB
LK) di sana. Karena kenyataannya, buruh tetap bekerja, yang
menurut pendapatnya, "produksi terus meningkat". Runding
berkali-kali runding, uang bonus buruh sekitar Rp 10 juta itu
tak keluar-keluar juga.
Direksi Geleng-Geleng
Masih dengan sama-sama 'kepala dingin', persoalan dimintakan
keadilan ke Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah
(P4D). Dianggap belum cukup di kantor ini, perkara lanjut ke P4
Pusat. Bulan Pebruari lalu P4 Pusat memutuskan: memenangkan
tuntutan buruh dan mewajibkan perusahaan membayar gratifikasi
kepada buruh. Tapi keputusan ini saja belum menjamin pemenuhan
hak buruh. Sampai Ditjen Perlindungan dan Perawatan Tenaga
Kerja, atas nama Menteri Tenaga Kerja, memerintahkan PT Bakrie
itu agar segera menjalankan isi keputusan P4 Pusat.
Pertimbangannya jelas: "faktor buruh hendaknya tetap
diperhatikan pula, lebih-lebih keadaan pengupahan/pendapatan
buruh, yang ternyata masih di bawah naai KFM (kebutuhan fisik
minimal)".
Memperhatikan surat dari Ditjen, bulan April ini, perusahaan
mundur setapak. Tapi masih juga sempat melihat lobang untuk
berkelit. Bonus akan dibayarkan tapi cuma 2 bulan gaji. Sebab
baik keputusan P4 Pusat maupun surat Ditjen Tenaga Kerja tidak
menentukan seberapa kewajiban perusahaan. SBLK menolak langkah
perusahaan. "Memang keputusan P4 Pusat tidak menyebutkan
jumlahnya", kata seorang pengurus SBLK, "tapi pengertiannya
jelas, gratifikasi itu tentu 3 bulan gaji". Karena, memang,
"sudah bertahun-tahun sebelumnya kami selalu menerima sekian".
Jalan agaknya buntu. Untung jalan damai sementara dapat
ditempuh. Dua fihak sepakat (untuk sementara): buruh tidak akan
mogok lagi dan perusahaan akan membayar gratifikasi dua bulan
gaji, selambat-lambatnya tanggal 7 bulan ini. Dan berapa
sebenarnya yang jadi hak buruh dan berapa yang jadi kewajiban
majikan, tetap akan dipersengketakan dengan baik-baik. Dua fihak
akan tetap melanjutkan persengketaan ini ke Pengadilan Negeri.
Ini biasanya makan waktu lama juga sebelum memperoleh keputusan
yang pasti dari pengadilan. Alhasil, orang kecil diharap agar
bersabar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini