Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kristen di indonesia

Sidang raya ke-8 dgi di salatiga membicarakan kerukunan diantara gereja kristen di indonesia, pergantian bph (badan pengurus harian) dgi. sambutan presiden soeharto menekankan kerukunan agama.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUKUNAN agama, itulah topik sambutan Presiden Soeharto dalam Sidang Raya DGI ke-8 di Salatiga. Tapi lain lagi topik terpenting yang akan dibicarakan oleh gerejawan-gerejawan Protestan itu sendiri. Kerukunan antar gereja Kristen, itulah topik yang bakal makan paling banyak waktu selama sidang raya itu. Di samping topik pergantian BPH (Badan Pengurus Harian) DGI, tentunya. Dalam yargon DGI temanya. adalah: "Bersatu Untuk Bersaksi dan Melayani." Sebetulnya, soal kerukunn antar gereja alias "keesaan" itu bukan barang baru lagi. Dari sidang raya ke sidang raya, masalahnya itu-itu juga. Suatu problematik laten, yang diwariskan oleh sidang raya pertama yang membentuk Dewan Gereja-Gereja di Indonesia di Jakarta, 25 Mei 1950. Entah terdorong oleh perjuangan penyatuan bangsa dan penyatuan gereja-gereja Protestan (yang beberapa tahun sebelumnya masih terpisah antara gereja-gereja di daerah pendudukan Belanda dan gereja-gereja di daerah kekuasaan de facto RI), 30 pimpinan sinode gereja Kristen yang berkumpul di Jakarta sepakat uruk mencantumkan satu kalimat keramat dalam Anggaran Dasarnya. Itulah pasal 3 yang sudah diperdebatkan selama 26 tahun ini, yang mencantumkan tujuan DGI untuk menuju "satu Gereja Kristen yang Esa di Indonesia". Dari sidang raya ke sidang raya, para gerejawan yang sementara ini sudah bertambah menjadi 44 sinode anggota DGI sering maju mundur dalam menafsirkan pasal itu. Boleh dikata, sampai hari ini perdebatan itu belum mencapai garis konsensus, melainkan berputar-putar sekitar tiga soal "keesaan" alias "kesatuan" gereja-gereja Kristen itu: * Pertama, soal "isi" dari pada gereja-gereja anggota yang konon mau bersatu itu. Maksudnya soal penyeragaman liturgi, bahasa, tata-cara keagamaan dan adat-istiadat, serta untung-ruginya penyeragaman itu bagi jemaat maupun masyarakat di luar gereja. * Kedua, soal "wadah pemersatu" atau organisasi Gereja yang Esa itu, di mana DGI diharapkan menjadi embrionya. Ini menyangkut hubungan antara DGI dengan gereja-gereja anggotanya, serta hubungan antara gereja-gereja setempat itu dengan bentukan-bentukan baru seperti DGW (Dewan Gereja-gereja Wilayah) dan DGS (Dewan Gereja-gereja Setempat). * Ketiga, yang mulai muncul ke permukaan, adalah soal yang menyangkut solidaritas antar dan intra-gereja. Atau menurut kata-kata seorang tokoh DGI, drs. Pooroe, menyangkut "keesaan fungsionil, yang tidak perlu menunggu terwujudnya keesaan formil-organisatoris". Gereja-gereja Protestan memang di negeri asalnya (Eropa) lahir dari pembaharuan oleh mereka yang tidak senang terhadap kebekuan Gereja Katolik Roma yang monolitik itu. Semangat itu mewariskan tradisi berbeda pendapat di antara penganutnya di Indonesia. Kendati demikian, sepintas lalu dapat dikatakan bahwa perbedaan penafsiran soal pasal 3 AD DGI itu juga dilatar-belakangi oleh perbedaan sumber reformasi gereja-gereja anggota DGI. Khususnya perbedaan antara gereja-gereja yang lebih berorientasi pada kesukuan, dengan yang lebih "nasional". Juga perbedaan kedudukan antara tokoh DGI alias "orang Pusat" dan tokoh gereja lokal alias "orang jemaat". "Pada umumnya", kata J.L.Ch. Abineno, ketua umum DGI pada TEMPO, "kami tidak menghendaki gereja yang monolitik seperti Gereja Katolik". Lantas apa? "Keesaan dalam keanekaragaman, hampir serupa dengan Bhinneka Tunggal Ika. Ini masalah prinsipiil, sebab karunia-karunia yang Tuhan berikan pada tiap-tiap gereja tidak sama. Jadi kalau kita paksakan struktur yang seragam, itu tidak akan bisa jalan. Selain itu ada pula keberatan praktis untuk tidak membentuk satu gereja Kristen Indonesia yang tunggal. Letak gereja-gereja tersebar di seluruh tanah air. Makanya sudah pasti kita tidak akan mampu mewujudkan satu gereja nasional dengan pimpinan yang sentral. Sekalipun komunikasi sekarang lebih mudah, toh biayanya lebih mahal dari pada kalau masing-masing gereja mengurus dirinya sendiri seperti sekarang. Di samping itu gereja-gereja kecil belum yakin bahwa kalau kita semua bersatu mereka tidak akan didominir oleh gereja-gereja besar", tutur pendeta kelahiran Timor itu di kamar tidurnya di Institut Roncalli, Salatiga. PEMIMPIN Protestan itu juga mencatat, bahwa di lingkungan gereja Katolik juga sudah terdengar suara yang tidak menyukai bentuk gereja yang monolitik. Sedang gereja-gereja Protestan sejak semula berniat mempertahankan kebebasan mereka masing-masing. Tapi sebaliknya, Abineno juga kurang puas terhadap pengaruh suku yang sangat besar di beberapa gereja. "Sekarang, ruang pekabaran Injil lebih besar dari pada ruang lingkup suku. Itu berarti, gereja-gereja harus berani keluar dari batas-batas suku mereka dan bekerjasama dengan suku-suku lain". Kalau menurut kata-kata T.B. Simatupang: "Ada bahaya gereja-gereja jadi museum suku. Padahal gereja sebenarnya harus mengantisipasi pembaharuan, bukan hanya di masa depan, tapi juga sekarang, di sini. Itulah yang disebut membaca tanda-tanda zaman". Lain pula komentar Dr Soritua Nababan, Sekretaris Umum BPH-DGI. Yang penting, menurut cendekiawan muda lulusan STT Jakarta itu, adalah "supaya dunia sekitar melihat kesatuan antara kata dan perbuatan gereja-gereja". "Gedung-gedung gereja yang menonjol, mengkhianati kesaksian Kristen", ujarnya berapi-api. Sambil menambahkan bahwa "mungkin gereja-gereja kecil di pelosok-pelosok yang miskin lebih menampakkan orijinalitas Kristen dari pada gereja-gereja kaya di kota-kota besar". Dan ketimpangan itulah yang ingin digempurnya terus, walaupun sesudah masa jabatannya sebagai Sekum -- yang sudah dipegangnya 2 x berturut-turut -- akan berakhir di Salatiga. Kendati demikian dia toh mengakui bahwa keesaan gereja-gereja Kristen di Indonesia itu perlu, "supaya tidak membingungkan". Namun apa pun komentar para tokoh DGI di Jakarta, banyak cendekiawan dan pemimpin jemaat berfikiran lain. Pokoknya, seperti ditegaskan oleh pendeta Christopus Kitting dari Gereja Kristen Evangelis (Kalimantan) dan Dr W.P. Sijabat dari HKBP: "Keesaan tidak bisa didrop dari atas, tapi harus dimulai dari bawah. Tumbuh dari jemaat-jemaat". Mengapa demikian? Menurut Dr Soetarno, Rektor Universitas Kristen Satya Wacana yang juga seorang tokoh GKJ (Gereja Kristen Jawa) dan anggota BPL (Badan Pengurus Lengkap) DGI: "Kita harus menjaga jangan sampai DGI ini menjadi panggung yang terlalu spektakuler, sementara jemaat gereja-gereja lokal sendiri masih tetap terkebelakang". Katanya lebih lanjut pada TEMPO di kampus Satya Wacana, "panggung yang terlalu spektakuler, tentunya harus diisi dengan aktor-aktor terbaik yang bermutu nasional. Kalau bisa malah internasional. Akibatnya dana dan personil kita yang terbaik tersedot ke atas, dan ketergantungan gereja-gereja lokal pada wadah nasional itu makin membesar". "Sekarang saja", kata sang rektor, "sudah terasa adanya jurang komunikasi antara DGI dengan gereja-gereja anggotanya. Karena itu saya rasa, bahwa gerakan keesaan ini lebih baik diturunkan ke tingkat yang lebih rendah, DGW dan DGS. Juga putera-putera terbaik dari masing-masing gereja sebaiknya tidak semua mau pindah ke Jakarta, tapi baiklah tetap tinggal di daerah memperkuat basis-basis gereja-gereja kita. Hanya dengan demikian kita bisa mencegah DGI makin menjadi terlalu berat di atas. Ini bukan sekedar menyangkut soal dana, tapi juga fleksibilitas gereja-gereja kita menghadapi perubahan situasi di sekitarnya. Jadi tidak perlu setiap saat menunggu BPH atau BPL berapat dulu, yang makan banyak waktu dan dana". Sorotan soal organisasi ini juga dilakukan oleh Julius R. Siyaranamual, redaktur Beita Oikumene. "Kendati ada kecenderungan untuk meyakinkan diri pada suatu keyakinan iman yang sentral", tulisnya dalam BO Juni 1976, "faktor pengorganisasian dengan kekuasaan senantiasa merupakan penggodaan yang perlu dikuatirkan". Kecenderungan ini tampak dengan kuat dalam proses pergantian BPH, di mana jabatan Sekretaris Umum lebih dianggap penting dari pada kursi Ketua Umum. Maklumlah, kepemimpinan sehari-hari ada di tangan Sekum, lengkap dengan seluruh aparat dan dananya. Sedang para ketua kerjanya hanya berapat sekali-sekali. Pada TEMPO Julius juga mengemukakan bahwa DGI lebih berfungsi sebagai "tempat penampungan orang-orang pensiunan. Termasuk pensiunan DGI sendiri, yang ditempatkan di badan-badan bentukan DGI". Daftar ini masih bisa diperpanjang lagi. Misalnya kritikan pendeta HF Tan dari Gereja Kristus di Jakarta bahwa "fungsi DGI itu seperti Sinterklas saja: membagi-bagi fasilitas dan bantuan luar negeri. Sedang dari sinode-sinode anggotanya tiap tahun paling banter bisa dipungut iuran 1 juta rupiah saja" (TEMPO, 24 April 1971). Atau sorotan John Titaley, ketua DM-Satya Wacana, yang mengemukakan bahwa "potret" DGI di mata seorang mahasiswa Kristen di Kalimantan Utara adalah "penyalur bea siswa semata-mata". Namun pada umumnya boleh dikatakan bahwa ada terasa kurang pendelegasian wewenang kepemimpinan gereja dari DGI pada anggota-anggotanya sendiri. Malah di sana sini terasa ada tumpang-tindih (overlapping) kegiatan oleh DGI dengan aktifitas yang sudah dapat dikerjakan oleh umatnya sendiri. Sehingga tidak selalu kegiatan badan-badan DGI itu "melayani" kegiatan anggotanya sendiri, atau badan-badan Kristen non-DGI, -- malah kadang-kadang sudah maju ke tingkat "persaingan". Tapi memang tidak dapat dikatakan bahwa segala keributan soal keesaan macam mana, dan bagaimana pun bentuknya -- bukan semata-mata kesibukan BPH atau BPL-DGI saja. Keresahan umat Kristen sendiri -- paling tidak sebagian -- yang mau keluar dari kungkungan liturgi, adat atau pergaulan setempat yang sudah berkatat ikut mendorong gerakan oikumenisme itu. Antara lain seperti dilukiskan oleh kritikus sastra M.S. Hutagalung dari kampus UI Rawamangun, seorang warga gereja biasa. "Soal keesaan itu penting direnungkan", tulisnya dalam BO, Juni lalu, "karena masih tebalnya perasaan banyak orang bahwa hanya gerejanya sendirilah yang sah. Orang yang mau masuk anggota sebuah gereja. walaupun ada membawa surat anggota dari gereja lain,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus