Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dilema Swap

Swap kurang banyak peminat. Disamping lambannya dipresiasi rupiah juga harus pandai membuat perkiraan mengenai naik turunnya kurs dolar. (eb)

28 Juli 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LAMBANNYA depresiasi rupiah melawan dolar AS, ternyata, ikut mengerem minat banyak perusahaan yang memperoleh pinjaman dari luar negeri untuk bermain swap. Mereka tampaknya tak begitu kecut melihat penurunan nilai rupiah, sejak devaluasi Maret tahun lalu, hanya mencapai 5,15% sampai pekan lalu. Karena itu, masuk akal bila swap, yang merupakan kontrak pembelian dolar berjangka (30, 90, dan 180 hari) untuk mengamankan rugi kurs ini, menurut catatan Bank Indonesia, hingga pertengahan Juli nilai kontraknya "tak seberapa banyak". Swap, yang diperkenalkan sejak lima tahun lalu oleh BI, belakangan ini memang semakin populer digunakan bank dan nasabahnya untuk melindungi diri dalam menghadapi tekanan perubahan kurs dolar yang sulit ditebak. Untuk memanfaatkan fasilitas ini, setiap pembeli dolar diwajibkan membayar premi, yang besar kecilnya ditentukan jangka waktu valuta asing kelak diserahkan kepada penutup transaksi. Premi 6% setahun, misalnya, dikenakan untuk pembelian dolar dengan jangka penyerahan 180 hari kemudian. Bila transaksi swap dengan jangka selama itu datang dari seorang nasabah kepada bank, lembaga keuangan ini diwajibkan melakukan swap ulang nasabahnya tadi ke BI, dengan premi 5,75O setahun. Dengan fasilitas semacam itulah PT Gobel Dharma Nusantara berusaha mengamankan utang-utang luar negerinya. Tapi, sejauh ini, agen tunggal barang-barang elektronik merk National itu mengaku tidak terlalu besar menutup transaksi pembelian dolar tadi - dengan premi 5,5%-6%. Sebab, transaksi itu baru dianggap menguntungkan, "Kalau dolar nilainya naik cepat," ujar Jamien A. Tahir, direktur Gobel Dharma Nusantara. "Tapi kalau lamban 'kan malah jadi rugi." Untuk menghitung apakah suatu transaksi bakal menguntungkan atau tidak, Jelas diperlukan kepandaian untuk membuat perkiraan mengenai naik turunnya kurs dolar pada suatu periode - saat utang luar negeri perusahaan harus dilunasi. Para pengusaha tampaknya tidak menduga, selama hampir 16 bulan scsudah devaluasi, dolar hanya mengalami kenaikan 5,15% terhadap rupiah, tapi bunga untuk nasabah utama sudah 13%. Jika selama periode itu ada perusahaan menutup swap, yang preminya ternyata masih lebih tinggi dari persentase kenalkan nilai dolar, maka bisa dipastikan mereka bakal menyesal: rugi. Karena alasan itulah Trenggono Purwosuprodjo, direktur keuangan PT Federal Motor, menganggap fasilitas swap merupakan "barang langka dan tidak terlalu murah". Harus digunakan dengan penuh perhitungan. Menurut pejabat perakitan sepeda motor Honda itu, biaya memanfaatkan fasilitas tadi, saat ini, masih "lebih mahal dibandingkan pinjaman dengan rupiah". Juga depresiasi rupiah yang kini terjadi, sesudah dihitung, persentasenya lebih kecil dibandingkan dengan selisih bunga pinjaman rupiah (24%) dengan dolar (14%). Sebaliknya, kalau perkiraan depresiasi itu persentasenya lebih besar, maka meminjam dolar dengan swap dianggapnya baru menguntungkan. Betapa pun, bagi industri substitusi impor seperti cderal Motor dan Gobel Dharma Nusantara, utang dengan valuta asing untuk membiayai impor suku cadang memang tak bisa dihindari. Volume utang, dan juga risiko rugi kurs, tentu akan semakin besar jika tingkat Isian komponen Impor mereka makm besar. Singkat kata, naiknya gengsi dolar, menurut Soebronto Laras, presiden direktur Indo Mobil Utama, menyebabkan "Biaya produksi naik paling tidak sekitar lima persen." Kenaikan biaya produksi sebcsar itu, di tengah masih lesunya pasar, memang tidak hanya dihadapi agen Suzuki ini saja. Toh ada saja jalan para pengusaha untuk mengurangi kenaikan biaya produksi itu. Federal Motor, misalnya, berusaha mengurangi kenaikan itu dengan menekan biaya dana. Pinjaman valuta asing selalu dikombinasikannya dengan pinjaman rupiah. Dengan cara begitu, "Komposisi bunga pinjaman jadi tidak terlalu tinggi," ujar Trenggono. Kombinasi pembiayaan semacam ini tentu harus diubah setiap saat mengikuti perkembangan naik turunnya kurs dolar serta tingkat suku bunga dolar dan rupiah. Lagi-lagi di sini dibutuhkan keterampilan membuat perkiraan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus