KINI mulai banyak komponen dan hasil pabrikasi industri lokal digunakan kontraktor minyak asing untuk mendukung kegiatan penambangan. Di ladang Lalang di lepas pantai Kabupaten Bengkalis, Riau, yang pekan ini akan di resmikan Kepala Negara, Hudbay Oil Malacca Strait Ltd., misalnya, menggunakan menara penambat tanker buatan PT Gunanusa Utama Fabricators. Di menara yang berharga US$ 100.000 itulah tanker Hudbay Riau nantinya ditambatkan untuk menampung 950.000 barel minyak sebelum diekspor. Menurut Wijarso, bekas dirjen migas, pemakaian komponen dan hasil pabrikasi industri lokal seperti itu sesungguhnya sudah diwajibkan pemerintah sejak 11 tahun lalu. Dia memberikan contoh bahwa kontraktor minyak asing selama ini sudah lazim menggunakan pipa tekanan rendah, semen, lumpur, heat exchanger kecil, dan low pressure well head buatan lokal. Berapa persisnya komposisi pemakaian komponen lokal itu, Wijarso, yang dikenal punya hubungan luas di kalangan kontraktor minyak asing tadi, sulit memastikannya. Namun, komposisi pemakaian komponen lokal itu hari-hari mendatang tampaknya akan semakin besar sesudah Menteri Pertambangan dan Energi, Subroto, akhir bulan lalu mendengungkan kembali persoalan itu dalam wawancara dengan TVRI. Hanya dengan cara itulah, tampaknya, pemerintah berusaha membantu industri lokal untuk menyedot sebanyak mungkin biaya eksplorasi (cost recovery) kontraktor yang terikat Kontrak Bagi Hasil (KBH) dengan Pertamina. Ceceran dolar dari 75 perusahaan minyak KBH yang bisa disedot industri lokal itu tampaknya cukup besar mengingat, tahun ini, mereka diperkirakan bakal menyisihkan anggaran eksplorasi sebesar US$ 1.645 juta, sedangkan tahun lalu baru US$ 1.481 juta. Penghasil pipa tekanan rendah seperti PT Bakrie & Brothers, tentu, akan berusaha memanfaatkan angin baik itu. Tahun lalu, di tengah lesunya kegiatan penambangan minyak, penghasil pipa jenis line pipe, yang mutunya sudah diakui API (American Petroleum Institute) itu, bisa menjual barang logam tadi sebesar 35.000 ton. Sedangkan tahun ini, penjualan pipa itu diharapkan mencapai 60.000 ton, terutama sesudah perusahaan ini berhasil memenangkan kontrak pemasangan pipa Pertamina Cilacap-Bandung dan Cilacap-Yogya, dengan bobot total 45.000 ton. Menurut Aburizal Bakrie, wakil presiden PT Bakrie & Brothers, separuh dari produksi pipanya diserap kontraktor minyak asing (Caltex sctiap tahun menyerap 10.000 ton), separuhnya lagi praktis diambil Pertamina. Diakui oleh Bakrie bahwa pipa buatannya rata-rata memang lebih mahal 15% dibandingkan pipa serupa eks impor. Tapi kontraktor minyak asing tampaknya tidak keberatan menghadapi kenyataan itu. Franz Mutter, kepala Bagian Material Tesoro Petroleum Indonesia, misalnya, menganggap mahalnya pipa eks Bakrie wajar mengingat perusahaan itu belum mencapai skala produksi tinggi untuk menghasilkan barang secara efisien. Anggapan itu tampaknya benar, karena belum seluruh kapasitas terpasang Bakrie & Brothers, yang 120.000 ton setahun itu, terpakai seluruhnya. Bagi kontraktor, "Yang terpenting adalah tersedianya stok cukup dan kualitas, sedangkan soal harga nomor tiga," ujar Santoso Kismomihardjo, staf ahli Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri. Dari Bakrie & Brothers itu, tahun ini Tesoro merencanakan membeli pipa tekanan rendah senilai US$ 900.000, atau 75% dari seluruh rencana pembelajaan pipanya, yang mencapai US$ 1,2 juta. Sedangkan untuk pembelian bahan-bahan kimia, lumpur, dan semen lokal disediakan anggaran US$ 320.000 dari rencana seluruh pembelian yang US$ 886.000. Semen dari Indocement dan lumpur dari Baroid Indonesia itu akan digunakannya untuk mendukung kegiatan di lapangan Sanga-sanga dan Tarakan, Kalimantan Timur. Pendeknya, "Sekitar 60% dari material yang kami butuhkan akan kami beli dari dalam negeri," ujar Franz Mutter. Untuk meraih pasar lebih besar lagi, Bakrie & Brothers sedang merencanakan membangun pabrik penghasil pipa tanpa las (seamless pipe) untuk sumur minyak. Investasi di situ, kata Aburizal, ditaksir meliputi US$ 600 juta. Pipa jenis ini biasanya digunakan untuk mengalirkan minyak dan gas dari dalam tanah ke permukaan tanah, dan mengalirkan cairan yang sangat mudah menggerogoti barang logam (corrosive). Selain oleh Bakrie & Brothers, kenaikan angka penjualan juga diharapkan PT Gunanusa Utama Fabriators, yang mengkhususkan diri dalam produksi alat-alat berat pengeboran minyak di Merak. Hari-hari ini, Gunanusa tengah menyelesaikan pembuatan tujuh offshore platform pesananan Arco, dengan nilai US$ 17 juta, yang harus diselesaikannya Desember mendatang. April lalu, perusahaan ini baru saja menyelesaikan perlengkapan serupa sebanyak enam buah, dengan nilai US$ 4,5 juta, pesanan IIAPCO. Menurut Iman Taufik, direktur utama Gunanusa, sekitar 80% bahan baku, terutama baja, masih harus diimpornya dari Jepang - sedangkan perlengkapan elektronik diimpor dari AS. Kendati demikian, kata Taufik, perusahaannya masih bisa bersaing dalam menawarkan harga, mengingat "Biaya tenaga kerja di sini jauh lebih murah." Karena itulah, biaya pabrikasi pun disini bisa ditekan jadi US$ 850 per ton - sedangkan di AS US$ 2.200, di Korea Selatan US$ 1.200, dan di Singapura US$ 1.300. Rendahnya biaya pabrikasi itu mendorong perusahaan ini melebarkan sayap dengan mengikuti tender di Brunei, Malaysia, dan Bangladesh. Tapi jalan memang masih panjang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini