JEMAAH Masjid Al-Hikmah di Sarinah mungkin merasa lain, ketika khotbah baru dimulai, Jumat lalu. Biasanya, mereka mendengarkan khotbah yang tegas, keras, dan menggelegak. Kali ini tidak. Khatib justru berbicara lembut: mengajak jemaah untuk mengakui bahwa nilai Islam lebih luhur daripada ajaran manusia. Kelembutan khotbah seperti ini tentu melegakan Dewan Masjid Indonesia yang tengah menyelenggarakan muktamar, sejak Senin. Sekitar 380 anggotanya dari seluruh Indonesia, kini berkumpul di Pondok Gede, membahas konsolidasi dan peningkatan peran masjid. Materi khotbah (juga khatibnya), yang sering dinilai merenggangkan hubungan umat Islam dengan pemerintah, tak luput dibicarakan. "Selama ini ada kesenjangan komunikasi antara pemerintah dan masjid," tutur Syafaat Habib, ketua panitia. Pihaknya berusaha menjembatani. Di antaranya melalui muktamar yang di tutup dengan ikrar berbulat tekad menerima asas tunggal Pancasila. Dewan Masjid memang berhak untuk itu. Lebih dari 12 tahun lalu organisasi masjid, seperti Persatuan Masjid Indonesia (Permi), Ikatan Masjid dan Mushalla Indonesia (Imami), sampai Ikatan Masjid Indonesia (Ikmi), dan lima lembaga kemasjidan lain, sepakat membentuknya. Maksud sang pendiri: agar ada lembaga yang mampu mengkoordinasikan semua. Yakni untuk mengembalikan peran masjid sebagai pusat kegiatan masyarakat, seperti pada masa Rasulullah. Mulanya, masjid memang sentral. Hampir semua persoalan dibicarakan di masjid. Namun, seiring dengan bertumbuhnya masyarakat, semakin banyaknya persoalan, masjid terasa kian sempit. Pusat pemerintahan, pendidikan, dan berbagai kegiatan sosial yang dulu berada di masjid kini harus berdiri sendiri. "Itu bukan untuk mempersempit peran masjid, tapi karena terbatasnya sarana fisik," ujar Anton Timur Djaelani, sekretaris jenderal Dewan Masjid Asia Pasifik. Sebagai misal Universitas Al-Azhar di Mesir. Sebagaimana banyak universitas lain, mula-mula Al-Azhar tumbuh dalam ruang masjid, sampai akhirnya tumbuh berdiri sendiri. Dewan Masjid Indonesia memilih langkah praktis untuk mengatasi penyempitan itu. Pihaknya mengurus pembagian 100.000 Alquran, menerbitkan media berkala Panggilan Masjid, menyelenggarakan seminar tentang ketahanan, takmirul, dan arsitektur masjid, serta menatar khatib, imam, dan pengurusnya. Dewan juga berusaha mencetuskan gagasan besar. Usul pembentukan Majelis Ulama, saran terhadap Rancangan Undang-Undang Pokok Perkawinan, serta prakarsa pembentukan Dewan Masjid Asia Pasifik juga berasal dari Dewan Masjid Indonesia. Malahan kehadirannya menjadi inspirasi bagi Rabithah Alam Al-Islami untuk membentuk Dewan Masjid se-Dunia. Tapi tak seluruh citra Dewan meyakinkan. Banyak yang memandang Dewan bicara hanya bagi pemerintah. Tapi M.S. Rahardjodikromo, ketua Dewan, menolak. Ia ganti menuding. Khotbah pedas - yang mengecam pemerintah dan "berbau" politik dinilainya akan memecah belah umat, dan tentu tak sesuai dengan fungsi masjid yang diharapkan bersama. "Khotbah harus berisi petunjuk yang menyejukkan, padat, dan singkat. Bukan mencaci maki dan mengafirkan," ujarnya. Suara Rahardjo mungkin suara yang terdengar resmi, tapi ia bukan pula sendirian. Di Jakarta, misalnya, beberapa masjid memang bisa dianggap lebih sering mengkhotbahkan kemarahan, dengan sikap hitam atau putih. Masjid Al-Arief Proyek Senen dan Masjid Al-Hikmah Sarinah, misalnya, memberi kesan demikian. Pengurus Masjid Al-Hikmah, M. Mufid, menangkis anapan itu. "Terserah kalau orang menyebut keras. Kami biasa-biasa saja." Lagi pula, pengurus masjid yang banyak menyelenggarakan kegiatan bagi remaja itu hanya merasa terikat pada Ikmi, bukan pada Dewan Masjid. Nah, ternyata Dewan bukan cuma satu-satunya pengikat. Ikmi, yang berkantor di Kramat - sekantor dengan Dewan Dakwah Islamiyah bahkan punya wawasan yang berbeda meskipun ia juga ikut membentuk Dewan itu. Persoalan politik, bagi M. Yunan Nasution, pensiunan perwira kerohanian angkatan darat, ketua IKMI, tak bisa dipisahkan dengan agama. Semuanya merupakan problem masyarakat, yang perlu ditampilkan dalam khotbah. Yunan Nasution memang tak menyatakan suatu pendirian baru. Yang merupakan soal (tapi juga bukan sama sekali baru) ialah bagaimana membahas soal duniawi seperti politik itu sebaiknya: dengan panas yang panjang atau sejuk, dengan nada bersengketa atau beramah tamah. Mungkin tak ada pedoman yang berlaku untuk segala tempat segala waktu dalam masalah cara itu: pada akhirnya yang ikut juga menentukan ialah temperamen - dan mungkin pula kepentingan - seorang khatib. Karena itu, sukar juga bicara soal konsep pengelolaan dan peran sehari-hari masjid. Achmad Sadali, pelukis dan pengajar seni yang terkenal itu, yang juga ketua Yayasan Pembina Masjid Salman-ITB, pun mengaku tak memikirkan konsep. Kendati, masjidnya dapat disebut sebagai contoh yang telah menjalankan program dakwah yang menyeluruh. Bukan sekadar mengurus salat dan tablig belaka. Di lingkungan masjid itu terdapat asrama, poliklinik, kantin, toko, percetakan, perpustakaan, dan sarana olah raga yang semuanya dimanfaatkan secara aktif. "Hampir semua kebutuhan masyarakat kampus dapat dipenuhi," ujarnya. Sekitar masjid memang tak pernah sepi. Yang penting, baginya, adalah memahami kebutuhan lingkungan itu, dan memenuhinya. Ibaratnya, seperti yang dilakukan ulama masa lampau. Untuk mendirikan masjid agung, mereka selalu memilih letak di sebelah barat alun-alun. Lapangan rumput di tengah kota itu adalah pusat kegiatan masyarakat. dekat dengan tampuk pemerintahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini