Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Bank Central Asial Tbk. atau BCA Jahja Setiaatmadja mengaku optimistis perekonomian akan terus menggeliat seiring pergerakan bisnis yang memasuki new normal. "Hambatan-hambatan akan tetap ada, tapi bisnis bisa menggeliat," ujarnya dalam BCA Virtual Editor Meeting, Senin, 13 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jahja menjelaskan, dengan kondisi pembatasan sosial berskala besar atau PSBB transisi, berarti ada masa memasuki transisi ke normal baru. Misalnya, restoran dibuka 50 persen ataupun toko buka tutup bergantian. "Kita harapkan tidak terjadi negative growth di kuartal ketiga. Jangan cepat-cepat pesimistis. Harus lihat masa depan masih bagus."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kinerja perekonomian di Tanah Air, menurut Jahja, sudah sangat bagus saat ini karena baru sekali ini mengalami pertumbuhan negatif yakni di kuartal satu. "Di kuartal satu Cina sudah negatif, kita bersyukur masih positif. Kalau di kuartal kedua ini negatif, wajar karena ada PSBB dan segala macam. Sedangkan kalau bisa positif, wah super banget," ucapnya.
Oleh karena itu yang menjadi perhatian bersama adalah bagaimana kondisinya di kuartal ketiga tahun ini. Jahja pun mengaku optimistis karena ada pergerakan di sektor riil yang menggembirakan dan terlihat dari investor asing yang masih percaya dengan iklim investasi di Indonesia.
Jahja menyebutkan pernah mendengar pengarahan dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan. Pengarahan Menteri Luhut kepada sejumlah bank swasta beberapa waktu lalu, kata Jahja, mencontohkan sejumlah investor yang merealisasikan penanaman modalnya di sejumlah daerah.
"Ada investor nikel dan bauksit di Batam, Bangka Belitung, Riau, nilai investasi puluhan miliar dolar AS. Ada juga di Morowali proyek alumina, nikel. Investor asing mau masuk ke situ," kata Jahja menirukan Luhut. Artinya, investor asing masih percaya, melihat Indonesia sebagai tempat yang baik untuk investasi.
Meski begitu, kalaupun, sampai di kuartal ketiga ini pertumbuhan ekonomi tercatat negatif, Jahja menilai hal tersebut bukan masalah besar. "Itu wajar. Itu masalah di seluruh dunia. Kalau dibandingkan GDP growth rata-rata tiap kuartal itu negatif semua. Kita masih bersyukur, cuma 1 kuartal yang negatif," ucapnya.
Adapun Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memprediksi perekonomian Indonesia akan mulai membaik pada triwulan ketiga hingga keempat tahun ini. Kondisi tersebut seiring dengan adanya relaksasi PSBB dan direalisasikannya sejumlah paket kebijakan pemberian stimulus dari pemerintah.
"Sehingga secara keseluruhan, perkiraan pertumbuhan ekonomi (2020) pada kisaran 0,9 persen sampai 1,9 persen," ujar Perry dalam rapat bersama Komisi XI DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Senin, 22 Juni 2020.
Pemulihan ekonomi juga didorong oleh membaiknya perekonomian global dan masuknya kembali arus modal asing. Dengan demikian, Perry memprediksi pertumbuhan ekonomi pada 2021 bisa merangkak naik pada kisaran 5-6 persen.
Di samping itu, Perry mengatakan neraca pembayaran Indonesia pada triwulan II diprediksi mulai membaik. "CAD (current account deficit) juga turun terlihat dari data Mei 2020 yang menunjukkan neraca perdagangan surplus US$ 2,09 miiar," tuturnya.
Meski, kata Perry, surplus itu terjadi karena adanya kontraksi impor yang cukup dalam dibandingkan degan penurunan ekspor. "Namun demikian, tetap terjadi perbaikan."
Proyeksi kontraksi atas pertumbuhan ekonomi Indonesia di antaranya disampaikan oleh Dana Moneter Internasional atau IMF. Dalam prediksinya, IMF menghitung Indonesia akan mengalami kontraksi atau tumbuh minus 0,3 persen pada tahun 2020 ini. Hal tersebut dicantumkan dalam World Economic Outlook (WEO) Juni 2020 IMF yang dirilis pada Rabu, 24 Juni 2020.
Meski begitu, IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami rebound hingga ke kisaran lebih dari 6,1 persen. Jika dibandingkan dengan negara-negara dengan ekonomi berkembang, kontraksi ekonomi Indonesia disebut lebih rendah.
Sebagai contoh, Argentina mengalami kontraksi hingga -9,9 persen, Brasil -9,1 persen, India -4,5 persen, Korea -2,1 persen, Malaysia -3,8 persen, Meksiko -10,5 persen, Thailand -7,7 persen dan Filipina -3,8 persen.
Dalam proyeksinya, IMF menyebutkan dua poros ekonomi besar dunia Cina dan Amerika Serikat mengalami perbedaan yang signifikan. Amerika Serikat diperkirakan mengalami kontraksi perekonomian hingga 8 persen. Sementara itu, Cina selamat dari kontraksi dengan pertumbuhan 1 persen tahun 2020.
RR ARIYANI | FRANCISCA CHRISTY | BISNIS