Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Irfan Setiaputra membeberkan masalah fundamental yang dihadapi perusahaan yang dipimpinnya. Hal tersebut menyebabkan struktur biaya menjadi tidak ideal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Salah satunya adalah biaya sewa pesawat yang sangat tinggi hingga 24,7 persen dari total revenue atau 4 kali lipat dari rata-rata industri," ujar Irfan dalam pemaparan publik pada hari ini, Kamis, 20 Oktober 2022. pada Kamis, 20 Oktober 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilai biaya sewa yang cukup tinggi itu sangat membebani kinerja perseroan. Akibatnya, operasionalisasi beberapa rute, khususnya internasional sulit untuk membukukan keuntungan. Apalagi, kata Irfan, adanya pandemi Covid-19 semakin memperparah kondisi perusahaan.
Sejak pandemi, total pendapatan Garuda Indonesia anjlok hinga 70 persen. Sebelum pandemi, Irfan mengungkapkan pendapatan BUMN penerbangan itu bisa tembus US$ 235 juta per bulan. Tapi kini pendapatan Garuda Indonesia menjadi hanya rata-rata US$ 60 juta per bulan.
Ia menjelaskan, hal tersebut dialami seluruh industri transportasi udara baik internasional maupun domestik karena adanya pemberlakuan kebijakan pembatasan perjalanan. Walhasil, likuiditas perusahaan begitu tertekan hingga akhirnya perseroan turut mengalami permasalahan solvabilitas.
"Pandemi bukan satu-satunya penyebab perseroan mengalami masalah likuiditas dan solvabilitas. Namun juga, structure cost kita yang tidak ideal memperparah kondisi tersebut," ucapnya.
Selanjutnya: Biaya tetap perusahaan sebelum pandemi mencapai US$ 100 juta per bulan.
Adapun nilai biaya tetap atau fix cost perseroan pada awal tahun 2020 sebelum pandemi berkisar US$ 100 juta per bulan. Irfan menyatakan nilai yang begitu besar itu sangat membebani perseroan yang juga harus berupaya menjaga keberlangsungan operasionalnya.
Dengan memperhatikan kondisi keuangan dan operasional perseroan tersebut, Garuda Indonesia menyusun beberapa program korporasi. Salah satunya adalah melakukan restrukturisasi secara komperhensif terhadap kegiatan operasional dan keuangan.
Program-program korporasi itu, di antaranya mencakup restrukturisasi kontrak pesawat dan menyederhanakan tipe pesawat. Sementara dari sisi komersial, strategi yang dijalankan meliputi restrukturisasi dan resizing network plan, yang kini berfokus kepada rute domestik dan hanya beberapa rute internasional. Garuda Indonesia juga tengah bersinergi dengan maskapai Citilink.
Ada juga strategi keuangan yang diambil meliputi restrukturisasi keuangan maupun utang, pengendalian keuangan, dan program efisiensi biaya. Perseroan juga sedang mencari alternatif penghimpun dana, serta mengimplementasikan budaya taat asas dan budaya risiko.
Sementara di sisi strategi pendukung, Garuda Indonesia melakukan perbaikan organisasi, diversifikasi portofolio bisnis anak perusahaan, termasuk di dalamnya melakukan likuidasi dan divestasi, dan peningkatan kontribusi pendapatan lainnya di luar pendapatan penumpang. "Terakhir yang tak kalah penting yang sedang dilakukan adalah transformasi budaya atau culture transformation," kata Irfan.
Baca juga: Direksi Garuda Akan Beberkan Kondisi Perseroan ke Publik, Suspensi Saham GIAA Segera Dibuka?
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini