TAK kurang dari sebelas sedan Volvo biru 264-GL nampak parkir di
halaman sempit gedung Bank Indonesia, di Jalan Kebun Sirih,
Jakarta, Jumat yang lalu seberapa sopir kelihatan santai, ada
pula yang tertidur, menunggu para menteri yang sejak pukul 10
pagi berada di situ, dan baru keluar gedung itu sekitar pukul
2.30 siang.
Ada apa? Mulut usil tentu akan mengira kesebelas menteri dan
beberapa pejabat tinggi yang hadir sedang membicarakan suatu
tindakan moneter baru. Tapi rupanya pertemuan empat setengah jam
itu telah mereka manfaatkan untuk tukar-menukar pendapat
(brainstorming) dengan Presiden Bank Dunia A.W. Clausen, yang
punya acara ketat selama kunjungan 6 hari di Indonesia.
"Kami meninjau kembali situasi ekonomi," kata seorang pejabat.
Clausen, yang menilai Indonesia sebagai contoh negara berkembang
yang berhasil, rupanya tak ingin melihat ekonomi Indonesia
menjadi mundur gara-gara kesulitan menimba dana-dana dari dalam
dan luar negeri. Ia pun mengulangi salah satu saran penting yang
termuat dalam laporan Bank Dunia 1982, agar para pemimpin di
Indonesia "berhati-hati, sehingga kemajuan-kemajuan yang
berhasil dicapai di masa-masa lampau tidak hilang".
Banyak yang dibicarakan bankir tulen yang punya pengalaman 32
tahun di sank of America, dan Bank America Corporation. Antara
lain, supaya para pengelola ekonomi di Indonesia, bisa
"memobilisasikan dana-dana dalam negeri."
Akan halnya resesi yang sampai sekarang masih mencekam, Clausen
memperkirakan masih akan merayap agak lama. Kalaupun resesi
dunia itu mulai akan pulih pada kuartal I tahun depan--seperti
diharap-harap banyak orang -mungkin masih belum berarti banyak,
baru antara 1 sampai 2%. Dan efeknya terhadap hasil-hasil ekspor
nonminyak negara-negara berkembang, seperti Indonesia, praktis
belum terasa manfaatnya.
Itu pula mungkin sebabnya, dalam pertemuan dengan pers di akhir
kunjungannya Sabtu pagi, orang No. 1 Bank Dunia merasa prihatin
terhadap tembok-tembok proteksi yang dipasang oleh berbagai
negara industri terhadap barang-barang ekspor dari negara-negara
berkembang. "Kami mendengar betapa tindakan-tindakan proteksi
telah menyulitkan kemampuan Indonesia untuk mendorong ekspor
nonminyak," katanya. Ia lalu menunjuk pada pertemuan GATT
tingkat menteri yang akan berlangsung di Jenewa pada 24
November.
Ia menghimbau agar dalam sidang itu ditegaskan "penolakan
terhadap tekanan-tekanan proteksi dan menjamin tumbuhnya suasana
perdagangan yang terbuka . . . yang bisa bermanfaat bagi semua
negara, yang maju dan berkembang."
Merosotnya ekspor, dan meningkatnya impor selama tahun anggaran
1982/1983 di Indonesia, oleh pemerintah diperkirakan akan
menelan defisit transaksi berjalan neraca pembayaran sebesar US$
4,5 milyar, dengan tingkat harga minyak rata-rata US$ 34 per
barrel dan produksi rata-rata 1,6 juta barrel sehari. Dengan
menurunnya harga minyak, dan pembatasan produksi menjadi 1,3
juta barrel sehari, defisit itu pasti sudah membesar. Ada yang
memperkirakan di bawah US$ 10 milyar, ada pula yang menduga
defisit tersebut akan mencapai US$ 14 milyar.
Mana yang benar, entahlah. Tapi dalam empat tahun mendatang,
defisit neraca pembayaran kita diproyeksikan akan mencapai US$
13 milyar. Berdasarkan proyeksi itu pula Bank Dunia menganjurkan
Indonesia meminjam sebanyak US$ 9 milyar dari IGGI. Mengingat
Indonesia setiap tahun rata-rata memperoleh kredit dari IGGI
antara US$ 2,2 dan US$ 2,5 milyar, saran Bank Dunia itu
nampaknya memang cukup berhati-hati. Sisanya yang US$ 4 milyak,
oleh Bank Dunia disarankan agar dicari dari utang komersial.
ADA pejabat yang merasa khawatir juga. Tapi Gubernur Bank
Sentral Rachmat Saleh, dalam suatu keterangan kepada Fikri
Jufri dari TEMO, menilai anjuran itu "cukup fair", mengingat
dalam lima tahun belakangan ini, pinjaman Indonesia dari
konsorsium perbankan internasional telah mencapai US $5 milyar
lebih.
Untuk membangun proyek-proyek lesar di Indonesia, Clausen juga
menganjurkan agar dibiayai bersama (joint financing), antara
Bank Dunia dengan bank-bank swasta internasional. Cara ini sudah
ditempuh beberapa negara berkembang, antara lain di Amerila
Batin. "Indonesia tak usah khawatir melalui pembiayaan bersama
itu, Bank Dunia akan menekan komitmennya," kata Shahid Husain,
Wakil Presiden Regional untuk Asia Timur dan Pasifik.
Selama ini kredit untuk Indonesia baik yang lunak maupun
setengah lunak, telah mencapai US$ 5,5 milyar. Itu kurang lebih
separuh dari seluruh kredit setengah lunak yang dikeluarkan
IBRD, cabang Bank Dunia. "Dalam tahun fiskal kami yang sedang
berjalan, kami merencanakan tambahan pinjaman unruk Indonesia
sekitar US$ 800 juta," kata Presiden Clausen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini