Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Diskusi besar dengan sang bankir

Kunjungan presiden Bank Dunia, A.W Clausen di Indonesia, meninjau kembali situasi ekonomi, Indonesia disarankan agar berhati-hati, mengkritik tindakan proteksi negeri industri.(eb)

6 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK kurang dari sebelas sedan Volvo biru 264-GL nampak parkir di halaman sempit gedung Bank Indonesia, di Jalan Kebun Sirih, Jakarta, Jumat yang lalu seberapa sopir kelihatan santai, ada pula yang tertidur, menunggu para menteri yang sejak pukul 10 pagi berada di situ, dan baru keluar gedung itu sekitar pukul 2.30 siang. Ada apa? Mulut usil tentu akan mengira kesebelas menteri dan beberapa pejabat tinggi yang hadir sedang membicarakan suatu tindakan moneter baru. Tapi rupanya pertemuan empat setengah jam itu telah mereka manfaatkan untuk tukar-menukar pendapat (brainstorming) dengan Presiden Bank Dunia A.W. Clausen, yang punya acara ketat selama kunjungan 6 hari di Indonesia. "Kami meninjau kembali situasi ekonomi," kata seorang pejabat. Clausen, yang menilai Indonesia sebagai contoh negara berkembang yang berhasil, rupanya tak ingin melihat ekonomi Indonesia menjadi mundur gara-gara kesulitan menimba dana-dana dari dalam dan luar negeri. Ia pun mengulangi salah satu saran penting yang termuat dalam laporan Bank Dunia 1982, agar para pemimpin di Indonesia "berhati-hati, sehingga kemajuan-kemajuan yang berhasil dicapai di masa-masa lampau tidak hilang". Banyak yang dibicarakan bankir tulen yang punya pengalaman 32 tahun di sank of America, dan Bank America Corporation. Antara lain, supaya para pengelola ekonomi di Indonesia, bisa "memobilisasikan dana-dana dalam negeri." Akan halnya resesi yang sampai sekarang masih mencekam, Clausen memperkirakan masih akan merayap agak lama. Kalaupun resesi dunia itu mulai akan pulih pada kuartal I tahun depan--seperti diharap-harap banyak orang -mungkin masih belum berarti banyak, baru antara 1 sampai 2%. Dan efeknya terhadap hasil-hasil ekspor nonminyak negara-negara berkembang, seperti Indonesia, praktis belum terasa manfaatnya. Itu pula mungkin sebabnya, dalam pertemuan dengan pers di akhir kunjungannya Sabtu pagi, orang No. 1 Bank Dunia merasa prihatin terhadap tembok-tembok proteksi yang dipasang oleh berbagai negara industri terhadap barang-barang ekspor dari negara-negara berkembang. "Kami mendengar betapa tindakan-tindakan proteksi telah menyulitkan kemampuan Indonesia untuk mendorong ekspor nonminyak," katanya. Ia lalu menunjuk pada pertemuan GATT tingkat menteri yang akan berlangsung di Jenewa pada 24 November. Ia menghimbau agar dalam sidang itu ditegaskan "penolakan terhadap tekanan-tekanan proteksi dan menjamin tumbuhnya suasana perdagangan yang terbuka . . . yang bisa bermanfaat bagi semua negara, yang maju dan berkembang." Merosotnya ekspor, dan meningkatnya impor selama tahun anggaran 1982/1983 di Indonesia, oleh pemerintah diperkirakan akan menelan defisit transaksi berjalan neraca pembayaran sebesar US$ 4,5 milyar, dengan tingkat harga minyak rata-rata US$ 34 per barrel dan produksi rata-rata 1,6 juta barrel sehari. Dengan menurunnya harga minyak, dan pembatasan produksi menjadi 1,3 juta barrel sehari, defisit itu pasti sudah membesar. Ada yang memperkirakan di bawah US$ 10 milyar, ada pula yang menduga defisit tersebut akan mencapai US$ 14 milyar. Mana yang benar, entahlah. Tapi dalam empat tahun mendatang, defisit neraca pembayaran kita diproyeksikan akan mencapai US$ 13 milyar. Berdasarkan proyeksi itu pula Bank Dunia menganjurkan Indonesia meminjam sebanyak US$ 9 milyar dari IGGI. Mengingat Indonesia setiap tahun rata-rata memperoleh kredit dari IGGI antara US$ 2,2 dan US$ 2,5 milyar, saran Bank Dunia itu nampaknya memang cukup berhati-hati. Sisanya yang US$ 4 milyak, oleh Bank Dunia disarankan agar dicari dari utang komersial. ADA pejabat yang merasa khawatir juga. Tapi Gubernur Bank Sentral Rachmat Saleh, dalam suatu keterangan kepada Fikri Jufri dari TEMO, menilai anjuran itu "cukup fair", mengingat dalam lima tahun belakangan ini, pinjaman Indonesia dari konsorsium perbankan internasional telah mencapai US $5 milyar lebih. Untuk membangun proyek-proyek lesar di Indonesia, Clausen juga menganjurkan agar dibiayai bersama (joint financing), antara Bank Dunia dengan bank-bank swasta internasional. Cara ini sudah ditempuh beberapa negara berkembang, antara lain di Amerila Batin. "Indonesia tak usah khawatir melalui pembiayaan bersama itu, Bank Dunia akan menekan komitmennya," kata Shahid Husain, Wakil Presiden Regional untuk Asia Timur dan Pasifik. Selama ini kredit untuk Indonesia baik yang lunak maupun setengah lunak, telah mencapai US$ 5,5 milyar. Itu kurang lebih separuh dari seluruh kredit setengah lunak yang dikeluarkan IBRD, cabang Bank Dunia. "Dalam tahun fiskal kami yang sedang berjalan, kami merencanakan tambahan pinjaman unruk Indonesia sekitar US$ 800 juta," kata Presiden Clausen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus