Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari lima kali Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral menulis surat kepada PT Kaltim Prima Coal (KPC) soal divestasi 51 persen saham KPC. Isinya senada: agar divestasi atawa penjualan saham memperhatikan aspirasi pemerintah daerah dan masyarakat Kalimantan Timur (Kal-Tim). Namun, hingga akhir pekan lalu, surat itu nyatanya cuma macan kertas.
Kali ini terbetik kabar Menteri Purnomo Yusgiantoro kembali akan menulis surat. Isinya, divestasi senilai kurang lebih US$ 419 juta itu ditawarkan bukan hanya kepada Pemda Kal-Tim, tetapi juga pihak lain yang berminat. Keputusan itu keluar setelah pemerintah pusat menyatakan tak berminat membelinya. Kepala Biro Hukum Departemen Energi, T.A. Nurwinakun, menyatakan tawaran diberikan kepada pihak lain, termasuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta.
Seperti diketahui, divestasi yang wajib dilakukan KPC akhirnya berlarut-larut dan bahkan berlanjut sengketa ke meja hijau. Semula saham akan dibeli pemerintah pusat. Namun, karena Jakarta tidak punya cukup duit, Pemda Kal-Tim yang akan maju. Belakangan langkah Kal-Tim tak direstui karena kecurigaan adanya perusahaan asing di belakangnya—divestasi mestinya dilakukan perusahaan Indonesia.
Nah, sekarang, dengan menawarkan divestasi itu kepada pihak lain di luar pemda Kal-Tim, Menteri Energi boleh jadi akan dituduh menyerah kepada keinginan dua pemegang saham KPC—Rio Tinto dan BP-Indonesia. Kedua perusahaan asing ini memang menginginkan saham mayoritas tak jatuh ke satu tangan saja, yakni Pemda Tingkat I Kal-Tim. Gubernur dan DPRD Kal-Tim, yang sejak awal terlihat ngotot benar ingin membeli semua saham itu, kini harus memikir ulang karena mesti bersaing dengan BUMN dan beberapa perusahaan swasta yang tiba-tiba saja tertarik dengan batu bara dari lapangan di Sangatta itu. Sampai akhir pekan lalu, empat BUMN mengaku berminat jadi pembeli. Selain itu, masuk pula peminat dari enam perusahaan swasta, pebisnis batu bara maupun yang bukan.
Alhasil, persoalan jual beli KPC masih jauh dari selesai. KPC saat ini masih beperkara dengan Pemda Kal-Tim karena dituduh melakukan korupsi. Perkara semacam itu tentu saja rawan buat investor baru yang mau masuk ke sana.
Sementara itu, urusan pembelian oleh BUMN itu sendiri ternyata belum jelas benar. PT Aneka Tambang (Antam), yang disebut-sebut akan ikut menawar KPC, malah tak tahu persis apakah mereka memang berminat atau tidak. Setidaknya Manajer Humas Antam, Dohar Siregar, kepada TEMPO mengatakan bahwa ia belum tahu soal rencana investasi itu. Menurut dia, saat ini Antam tengah berinvestasi membangun pabrik pengolahan nikel, Feni III, di Pomala, Sulawesi Selatan. Selain itu, masih pula ada hal lain yang harus dilakukan Antam: menyediakan US$ 80 juta untuk membeli 60 persen saham Berau Coal.
Di antara BUMN peminat, PT Tambang Batubara Bukit Asam barangkali yang paling siap. Perusahaan ini punya pendapatan sekitar Rp 1,79 triliun, dan bakal punya dana sekitar Rp 1,4 triliun jika rencana privatisasinya Agustus nanti berjalan lancar.
Sebaliknya dengan PLN dan PT Timah yang kabarnya juga akan ikut menawar KPC. Yang pertama boleh dibilang sudah bangkrut. Sedangkan Timah mungkin masih bisa disebut pembeli potensial, meski perusahaan ini menunda pembayaran dividennya.
Jalan divestasi KPC menuju ujung tampaknya memang masih akan panjang sekaligus penuh liku. Lihat saja, Pemda Provinsi Kal-Tim kini malah bersilang jalan dengan Pemda Kabupaten Kutai Timur, tempat tambang itu berada. Pemda Kutai, kata anggota DPRD Tingkat I Kal-Tim, Kasyful Anwar, tidak mau bermitra dengan PT Intan—yang sudah teken kontrak dengan perusahaan daerah Melati Bhakti Satya untuk membeli KPC. Kutai menunjuk investor sendiri.
Menurut Kasyful, sebetulnya persoalan itu bukan masalah besar karena bisa diselesaikan lewat perundingan antara Bupati Kutai Timur dan Gubernur Kal-Tim. Soal masuknya BUMN, pihak DPRD tak mempermasalahkan, asal menggandeng perusahaan daerah sebagai mitranya. "Kalau tidak," katanya, "rakyat Kal-Tim tak akan mendapat apa-apa."
I G.G. Maha Adi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo