Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tak hanya Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek yang meminta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan atau BPJS Kesehatan untuk menunda pelaksanaan tiga aturan terkait tak lagi dijamin penuhnya sejumlah layanan kesehatan. Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN bahkan meminta BPJS Kesehatan untuk mencabut tiga peraturan direksi terbaru lantaran dinilai menimbulkan polemik di masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seperti diketahui, pada pekan lalu BPJS Kesehatan merilis tiga aturan yang intinya tak lagi menjamin penuh layanan medis seperti katarak, persalinan dengan bayi lahir sehat dan rehabilitasi medik. Keputusan BPJS Kesehatan itu lalu menimbulkan polemik di masyarakat karena tersebar viral melalui sejumlah media sosial dan dibahas oleh para netizen.
Ketiga aturan itu meliputi Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No.2/2018 tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No. 3/2018 tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan No. 5/ 2018 tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.
Menteri Kesehatan Nila Moeloek menyatakan, seharusnya tidak ada diagnosa bayi lahir sehat atau bayi lahir sakit. Sebab, bayi yang sehat dalam kandungan belum dapat dipastikan akan lahir dalam proses persalinan normal.
Oleh karena itu, kata Nila, terbuka kemungkinan keadaan selanjutnya terdapat komplikasi yang sebelumnya tidak diketahui sehingga memerlukan pemantauan untuk mencegah kematian bayi dan menjaga keselamatan ibunya. “Pelayanan kesehatan wajib memperhatikan mutu dan keselamatan pasien," ujarnya dalam keterangan resmi, Sabtu, 28 Juli 2018.
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) juga meminta BPJS Kesehatan untuk mencabut tiga peraturan direksi terbaru lantaran dinilai menimbulkan polemik di masyarakat. "Memperhatikan polemik di tengah masyarakat mengenai pemberlakuan menjadi persoalan serius dalam pemberian pelayanan kesehatan kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional, DJSN memutuskan memerintahkan Direksi BPJS Kesehatan mencabut," demikian DJSN dalam keterangan tertulisnya, Sabtu 28 Juli 2018.
Ketua DJSN, Sigit Priohutomo, menjelaskan, keputusan pihaknya itu didasarkan pada tiga pertimbangan. Pertama, direksi BPJS Kesehatan tidak berwenang menetapkan manfaat Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dapat dijamin. Manfaat JKN diatur dalam peraturan presiden yang ditetapkan oleh presiden.
Kedua, penyusunan dan penetapan ketiga peraturan direktur tersebut tidak didahului dengan kajian yang dikonsultasikan dengan DJSN dan para pemangku kepentingan.
Ketiga, peraturan tersebut dikeluarkan tidak mengikuti tata cara penyusunan peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang No. 12/2011. "Menyikapi berbagai persoalan penyelenggaraan JKN, DJSN membuat rekomendasi komprehensif kepada presiden untuk memperbaiki kebijakan dan tata kelola pelaksanaan JKN," kata Sigit.
Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Nopi Hidayat sebelumnya mengatakan penerbitan tiga peraturan ini untuk memastikan peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) memperoleh manfaat pelayanan kesehatan bermutu, efektif, efisien. Di samping itu, tetap memperhatikan keberlangsungan Program JKN-KIS.
Hal ini, tutur Nopi, juga dilakukan sebagai tindak lanjut dari Rapat Tingkat Menteri awal 2018 yang membahas tentang sustainibilitas Program JKN-KIS. "(Hasil rapat itu) BPJS Kesehatan harus fokus pada mutu layanan dan efektivitas pembiayaan,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis, 26 Juli 2018.