Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dua Permata Pertamina

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Pertamina, kilang minyak Cilacap dan Balikpapan agaknya ibarat permata kesayangan. Kedua kilang itu merupakan kilang raksasa yang menjadi penyumbang utama produksi minyaknya. Setiap hari kilang Balikpapan mengucurkan minyak 260 ribu barel, sedangkan kilang Cilacap menghasilkan 348 ribu barel. Dari kedua kilang itu saja sudah terkumpul 60 persen minyak produksi Pertamina yang jumlahnya total 1 juta barel per hari. Sisanya dipasok oleh kilang-kilang lain yang relatif sudah tua dan mulai rusak, seperti Pangkalan Brandan, Dumai dan Sungai Pakning, Cepu, Plaju, Balongan serta Kasim di Sorong. Kilang Balikpapan berfungsi memasok minyak untuk kawasan Indonesia timur. Kawasan ini sangat luas dengan banyak daerah terpencil, sehingga membuat biaya transportasi cukup tinggi. Adapun kilang Cilacap menjadi pemasok utama minyak untuk Pulau Jawa, yang berpenduduk padat. Dari segi perbandingan masukan dan hasil, kilang Cilacap dan Balikpapan disebut-sebut sebagai pabrik pengolahan minyak yang sehat. ”Keduanya sangat efisien,” kata Baihaki Hakim berulang kali. Seberapa efisien? Tentang efisiensi ini, Baihaki tak merinci lebih jauh. Juga data tentang pendapatan kilang-kilang gendut itu tak tersedia sama sekali. Maka tak terlalu salah bila Arifin Panigoro mengecam Pertamina dengan tudingan bahwa perusahaan negara itu tidak mengelola pabrik-pabrik minyaknya secara terbuka. ”Kita tak tahu kilang-kilang itu menjadi sumber pendapatan atau kerugian bagi Pertamina?” ujar Arifin, yang juga pengusaha minyak dan juragan Kelompok Medco. Sejauh ini cuma ada berbagai isyarat yang bisa digunakan untuk mereka-reka tingkat kesehatan kedua kilang tersebut. Baihaki, misalnya, menyebut biaya produksi kilang Pertamina yang sehat menyamai kilang di Singapura yang cuma Rp 1.200 per liter. Tapi kinerja yang kinclong itu tertutup oleh kinerja kilang-kilang tua yang biaya produksinya Rp 1.800 per liter. Akibatnya rata-rata biaya produksi kilang minyak di Indonesia masih terbilang tinggi: sekitar Rp 1.500 per liter. Isyarat lain terdapat dalam data keuangan Pertamina Hilir tahun lalu, yang mencapai Rp 133,4 triliun, namun biaya yang dikeluarkan menyundul angka Rp 135,7 triliun. Ini berarti Pertamina Hilir merugi Rp 2,3 triliun. Dari jumlah itu Rp 1,4 triliun merupakan koreksi subsidi tahun 2000. Alhasil, kerugian bersih Pertamina Hilir tahun 2001 ”cuma” Rp 900 miliar. Perusahaan mana saja yang menyumbang kerugian bagi Pertamina? Ternyata penyumbang kerugian itu adalah kilang Balongan, kilang Kasim di Sorong, usaha retail LPG, usaha non-BBM, dan usaha Petrokimia. Kilang Cilacap dan Balikpapan tak termasuk di dalamnya. Dari situ secara logika kedua kilang tersebut agaknya memang sehat dan menguntungkan. Tak salah bila Baihaki ngotot mempertahankan keduanya agar tak dicerai dari Pertamina. Kalau Mark Baird berada dalam posisi Baihaki, mungkin dia akan melakukan hal yang sama. Akhirnya, satu pertanyaan masih tersisa: jika kilang Cilacap dan Balikpapan memang subur, sehat, dan gagah, mengapa tak pamer otot saja, seperti para binaragawan? ND, Levi Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus