Sepucuk surat itu membuat Baihaki Hakim benar-benar geram. Direktur Utama Pertamina yang dikenal low profile itu tak lagi peduli bahwa sang penulis surat adalah Mark Baird, petinggi Bank Dunia di Indonesia yang kini sudah ditarik kembali ke Washington, Amerika Serikat. Baihaki meradang tak lain karena surat yang ditujukan kepada Menteri Keuangan Boediono itu mengusulkan agar pemerintah Indonesia segera menghentikan praktek monopoli Pertamina di bisnis perminyakan.
Dan tidak hanya itu. Bank Dunia juga mengusulkan agar pemerintah mendirikan satu atau dua perusahaan pengolahan dan pemasaran minyak baru di luar Pertamina. Perusahaan baru itu akan diminta menangani kilang minyak Cilacap dan Balikpapan, yang selama ini dikelola Pertamina. ”Restrukturisasi di sektor hilir itu akan membuka peluang bagi investor untuk melakukan kegiatan bisnis yang sama,” tulis Bank Dunia dalam surat yang dikirim akhir Mei lalu itu.
Usul Bank Dunia ini memang ada kaitannya dengan rencana pemerintah untuk mengubah status Pertamina menjadi perusahaan persero. Seiring dengan itu, pemerintah juga akan membuka pasar bahan bakar minyak (BBM) Indonesia ke pemain asing, pada tahun 2005 yang akan datang.
Tapi mengapa Baihaki berang? Bukankah praktek monopoli selayaknya dihapus dan restrukturisasi sektor perminyakan tentu tak dapat dielakkan, karena hal itu justru diatur dalam Undang-Undang Minyak dan Gas No. 22/2001?
Ternyata sikap keras Baihaki tak ada kaitannya dengan Undang-Undang Minyak & Gas, yang sejak awal didukung penuh oleh bos Pertamina ini. Singkat cerita, Baihaki tidak keberatan sedikit pun, baik terhadap rencana penghapusan monopoli maupun pembenahan sektor perminyakan.
Yang membuat mantan Presiden Direktur Caltex Indonesia ini meradang adalah permintaan Bank Dunia agar memisahkan kilang Cilacap dan Balikpapan dari Pertamina. ”Mengapa mereka tak bicara tentang kilang Pangkalan Brandan, Dumai, atau Cepu dan lainnya yang sudah tua?” kata Baihaki dengan nada tinggi.
Baihaki yakin bahwa pihak asing yang meminta pemerintah untuk melepas dua kilang yang dikelola Pertamina itu jelas menyimpan niat buruk. Soalnya, kilang Cilacap dan Balikpapan adalah pabrik minyak besar yang efisien yang dikelola Pertamina. ”Ibaratnya ujung tombak yang andal disuruh patah kakinya. Ya, tidak bisa mencetak gol, dong,” tutur Baihaki, tanpa menyembunyikan rasa jengkelnya.
Menurut pengamat perminyakan Kurtubi, dengan integrasi di sektor hilir antara kilang, perkapalan-transportasi, dan jaringan distribusi, selama ini Pertamina bisa menekan harga pokok BBM. Berdasarkan data April tahun lalu, biaya pokok BBM Pertamina cuma Rp 1.998, padahal harga pasar ketika itu sudah mencapai Rp 2.797.
Kemampuan Pertamina menekan harga itulah yang membuat pemain asing sulit masuk ke Indonesia. Perusahaan-perusahaan minyak asing tentu tak akan memasarkan produknya dengan harga rendah. Soalnya di luar negeri mereka bisa menjual minyak dengan harga lebih tinggi.
Nah, kemampuan melakukan sinergi dan efisiensi itu akan hilang bila kilang-kilang yang besar dan efisien diceraikan dari Pertamina. Struktur biaya Pertamina akan menjadi lebih tinggi. Akibatnya, Pertamina harus menjual minyaknya ke konsumen dengan harga mahal. Pada saat itulah perusahaan-perusahaan minyak asing akan masuk. Kalau benar, dalam tempo singkat para pemain asing itu akan menjadi mahajuragan minyak di negeri ini. Akibatnya, bukan hanya Pertamina yang celaka, tapi juga masyarakat konsumen Indonesia.
Diperkirakan, tanpa peran Pertamina yang mampu mendikte harga, ada kemungkinan perusahaan minyak asing bisa mengerek harga minyak lebih tinggi lagi hingga mencekik leher konsumen. ”Jangan kaget bila harga BBM di Indonesia bisa mencapai Rp 3.000-4.000 per liter,” ujar Baihaki mengingatkan.
Cara perusahaan minyak asing menjepit Pertamina—dengan menggunakan corong Bank Dunia—jelas tidak fair. Terlebih dari segi postur bisnis, Pertamina sebetulnya bukan lawan yang seimbang bagi mereka. Semua kilang Pertamina sekarang cuma menghasilkan minyak 1 juta barel per hari. Bandingkan dengan kilang milik perusahaan minyak asing di Singapura, yang dalam sehari bisa menghasilkan 4 juta barel minyak.
Minyak yang diolah Pertamina itu pun cuma memenuhi 70 persen kebutuhan BBM di dalam negeri. Jadi, 30 persen lagi masih harus diimpor. ”Kalau ada pesaing, untuk apa Pertamina repot-repot mengimpor?” kata Baihaki menyoal. ”Biar saja mereka yang mengimpor langsung.”
Bagaimana dengan armada perkapalan? Saat ini Pertamina cuma memiliki 30 tanker. Kapal lain, sejumlah 100 buah, dioperasikan dengan cara sewa. Dari segi distribusi, Pertamina juga masih kekurangan depo penyimpanan minyak.
Jadi, kalau mau masuk ke Indonesia, pemain asing sebetulnya masih punya banyak peluang. Apalagi kebutuhan minyak bagi penduduk Indonesia yang jumlahnya 200 juta jiwa ini selalu bertambah. Mereka bisa membangun depo atau terminal kecil yang biayanya cuma US$ 50 juta. Mereka bahkan tak perlu membangun kilang karena jarak Singapura-Jakarta relatif dekat. Jadi, cukup mengerahkan tanker atau membangun pipa.
Tapi agaknya mereka ingin langsung memetik hasil tanpa susah payah menanam modal. Bila harga BBM bisa dikerek tinggi, pemain asing bisa masuk ke Indonesia tanpa melakukan investasi. ”Mereka cukup modal dengkul,” kata Baihaki lagi, gusar.
Sayang, Baihaki tampaknya harus berjuang sendiri menahan gempuran asing. Koleganya di pemerintahan justru tak keberatan menampung usul Bank Dunia. ”Usul Bank Dunia itu wajar. Pertamina yang akan menjadi persero harus siap menghadapi pola bisnis perminyakan dunia,” ujar Deputi Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Bidang Industri Strategis, Telekomunikasi, dan Pertambangan, Roes Ariawidjaja.
Lantaran sikap kerasnya menentang usul Bank Dunia, ada kemungkinan Baihaki akan dicopot. ”Sekarang sedang dicari orang yang cocok untuk melakukan restrukturisasi di Pertamina,” kata anggota Komisi Energi DPR, Arifin Panigoro. Salah satu nama yang disebut-sebut bakal menggantikan Baihaki, ya, Roes Arya, sang Deputi Menteri Negara BUMN itu. ”Kalau diminta, demi nusa dan bangsa saya siap,” kata birokrat ini dengan wajah berseri.
Baihaki sendiri tidak terkejut menanggapi gosip tentang rencana melengserkan dirinya. ”Kalau rapor saya dinyatakan merah, yah silakan ganti,” ujar praktisi minyak yang selama ini terkenal dengan disiplin dan etos kerja yang tinggi itu.
Nugroho Dewanto, Levi Silalahi, Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini