Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mencermati Divestasi Indosat

Ledakan bom di Bali tidak membuat pembicaraan dengan calon investor tertunda. Masalah regulasi dan kenaikan tarif dipertanyakan oleh mereka.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU Badan Penyehatan Perbankan Nasional mengaku proses penjualan asetnya terganggu gara-gara ledakan bom di Bali, bagaimana nasib divestasi Indosat? Seperti diketahui, ledakan yang terjadi di Kuta, Bali, Sabtu malam 12 Oktober lalu, telah berdampak negatif terhadap pasar uang dan pasar modal. Setidaknya pada Senin, 14 Oktober, nilai rupiah melemah 320 poin terhadap dolar, sedangkan indeks harga saham gabungan (IHSG) anjlok dari 402 ke 337 titik. Saham Indosat sendiri sempat turun sekitar 12 persen menjadi Rp 6.450 per lembar. Jelaslah ini bukan pertanda yang menggembirakan, karena nilai divestasi untuk 41,94 persen saham Indosat yang ditargetkan pemerintah bisa saja tidak tercapai. Syukurlah, kendati prospeknya tidak secerah semula, proses awal divestasi Indosat tetap terlaksana sesuai dengan jadwal. Sejak dua pekan lalu, Indosat kedatangan calon-calon pembeli, dari Telekom Malaysia, Singapore Technologies Telemedia, sampai Maxis Communications dari Malaysia dan Telstra dari Australia. Kedatangan mereka bisa ditafsirkan sebagai isyarat bahwa minat tamu-tamu penting itu terhadap Indosat masih tetap besar. Sejauh ini dilaporkan bahwa pembicaraan berlangsung mulus. Kedua belah pihak bertukar informasi tentang struktur manajemen Indosat dan hal-hal yang berkaitan dengan sisi operasional perusahaan ini. Tapi, menurut Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi Djamhari Sirat, mereka juga menanyakan kepastian regulasi di sektor telekomunikasi, interkoneksi, serta kompetisi di masa depan. Bagi investor asing, soal regulasi memang penting, terutama karena Indonesia terkenal dengan kebijakan yang sering berubah-ubah. Nah, dalam upaya mendorong proses privatisasi, Presiden Megawati kabarnya akan segera meneken seperangkat peraturan baru yang antara lain dimaksudkan untuk mengakhiri monopoli fixed line yang sejak dulu dipegang Telkom. Tapi sumber TEMPO mengatakan ada beberapa hal yang masih mengganjal di hati investor. Tiadanya kebijakan pemerintah yang mengatur kenaikan tarif secara baku, misalnya. Begitu juga masalah interkoneksi. Pemerintah mesti dengan tegas menetapkan siapa yang bertanggung jawab terhadap sambungan baru di daerah-daerah terpencil. Apalagi biaya untuk membangun 750 ribu satuan sambungan—seperti tercantum dalam cetak biru telekomunikasi—tidaklah sedikit. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah kepemilikan saham seri A yang selama ini dipegang pemerintah. Jika itu tak dilepas, pemerintah tetap memegang kontrol penuh atas Indosat. Dan ini membuat risau para calon investor Indosat itu. Di sisi lain, Deputi Menteri Negara BUMN, Roes Ariawidjaja, mengungkapkan bahwa pemerintah tetap akan mempertahankan saham seri A tersebut. Alasannya, keputusan-keputusan penting seperti penjualan saham tetap harus ditentukan oleh pemerintah. Tapi ini bukan berarti para investor akan tidak punya kendali terhadap Indosat. Menurut Roes, keputusan yang menyangkut strategi perusahaan, misalnya, tetap ditentukan oleh investor. Sebetulnya wajar jika para investor gusar. Pasalnya, dana yang harus dikeluarkan dari kocek mereka juga tidak sedikit. Untuk menguasai sekitar 42 persen saham Indosat, diperkirakan sekitar Rp 6 triliun harus digelontorkan ke perusahaan ini. Jadi, diperlukan kepastian agar pengucuran uang itu tidak sia-sia. Pemerintah Indonesia sendiri rupanya juga pusing memilih investor yang layak bersanding dengan Indosat. Menurut sumber di Indosat, sebetulnya investor dengan cadangan dana kuat lebih cocok dibandingkan dengan mereka yang berpengalaman sebagai operator. ”Sebab, financial advisor tidak terlalu banyak ikut campur dalam masalah manajemen perusahaan dibandingkan dengan operator,” kata sumber tersebut. Memang tak mudah memilih satu di antara belasan calon. Apalagi hampir semua investor pernah bermitra dengan Indosat. Dan menurut praktisi telekomunikasi Rudiantara, para peserta tender juga punya keunggulan masing-masing. Sebut saja Singapore Technologies Telemedia, yang kinerjanya tak jauh berbeda dengan Indosat. Sebetulnya mereka bisa berbagi pengalaman di bidang multimedia. Atau Telekom Malaysia, yang dengan serius membahas divestasi Indosat ini. Juga Maxis Communications, yang memiliki 2,5 juta pelanggan dan mampu menjaring pendapatan sekitar Rp 7,5 triliun tahun lalu. Memang sulit untuk menentukan pilihan, apalagi jika kualitas para calon hampir berimbang. Namun pemerintah masih punya waktu untuk membuat kalkulasi yang cermat—setidaknya agar saham Indosat tidak sampai dijual murah. Lagi pula tender tahap awal (preliminary bid) baru akan berakhir 7 November mendatang. Dewi Rina Cahyani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus