Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dipagari Fatwa Ulama

Dewan Syariah Nasional membahas penggunaan keuntungan asuransi haji. Tujuannya baik, agar dana asuransi bermanfaat bagi umat. Juga agar tidak menguap begitu saja.

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Musim haji sudah dekat. Berbagai lembaga penyelenggara rukun Islam kelima ini mulai berkemas, termasuk pemerintah. Terlebih karena mulai tahun ini pemerintah—maksudnya Departemen Agama—akan menjadi pemegang polis asuransi bagi semua jemaah. Timbul pertanyaan, apakah pihak departemen tidak terlalu sibuk, sehingga bersedia menangani urusan asuransi juga. Sibuk atau kurang sibuk, pasti ada hal-hal lain yang jadi pertimbangan, misalnya jumlah dana asuransi yang lumayan besar, mudah didapat, dan jangka waktunya singkat. Untuk asuransi, setiap jemaah akan menyetor Rp 110 ribu. Katakanlah jumlah calon haji 220 ribu orang, total premi yang dijala tak kurang dari Rp 24,2 miliar. Dengan klaim diperkirakan sebesar Rp 12 miliar, dana yang masih tersisa mencapai Rp 12,2 miliar. Ini jumlah yang tidak sedikit. Menurut Direktur Jenderal Pembinaan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Taufik Kamil, selama ini asuransi haji dilakukan oleh bank yang menerima setoran ongkos naik haji (ONH). Tentu saja bank memetik keuntungan dari situ, setidaknya karena setoran itu bisa diputar dahulu. Bandingkan dengan pengelolaan asuransi yang ditangani oleh Tabung Haji Malaysia yang juga swasta. Pada akhir tahun 1996, lembaga ini sudah menghimpun dana asuransi setara dengan Rp 11 triliun. Laju investasinya selalu naik 15 hingga 20 persen tiap tahunnya. Padahal dana ini diperoleh dari laba penyelenggaraan haji, termasuk keuntungan asuransi haji. Agar laba asuransi haji di Indonesia juga bisa dimaksimalkan kegunaannya, Departemen Agama berencana membentuk konsorsium yang terdiri dari lima asuransi syariah dengan ketua Asuransi Bumiputera. " Ini memang duit besar," kata Taufik. Sebagai kompensasinya, Departemen Agama akan mendapat bagian keuntungan dari bisnis ini. Kemudian, laba itu akan dibagikan dengan pihak asuransi penyelenggara haji. Masalahnya, apakah birokrasi—dalam hal ini Departemen Agama—boleh terlibat dengan kegiatan bisnis seperti asuransi. Bukankah selama ini partisipasi departemen tersebut hanya sebatas pada penyelenggaraan ibadah haji, tapi tidak mengelola dana yang terkait dengan itu? Jadi, agak mengherankan bila Taufik berbicara tentang laba asuransi yang akan dihimpun dalam rekening dana abadi umat, atas nama Menteri Agama. Rekening ini memang telah ada sejak zaman Menteri Tarmidzi Taher. Jumlah dananya kini mencapai Rp 375 miliar dan US$ 15 juta. Penggunaannya selama ini tak pernah diketahui publik. Tapi, menurut Taufik, biasanya dipakai untuk kegiatan sosial, pendidikan, dan rumah ibadah. Diharapkan, dana keuntungan asuransi haji bisa menambah gemuk rekening dana abadi ini sebesar Rp 4 miliar hingga Rp 5 miliar tiap tahun. Sementara itu, mencuat pemikiran lain dari M. Syakir Sula, Direktur Operasional Asuransi Takaful—salah satu anggota konsorsium. Syakir berpendapat, semestinya keuntungan ini dikembalikan kepada pemegang polis, yakni para jemaah haji. Namun, jika hal ini dilakukan, selain jumlahnya tidak seberapa, proses pembagiannya juga merepotkan. Berdasarkan pertimbangan itu, Syakir berpendapat, pemerintah sebagai pemegang polis tunggal akan menjadi tempat parkir bagi dana tersebut. Lalu dana itu akan diapakan? Menurut Syakir, bisa saja laba asuransi dijadikan faktor pengurang bagi premi asuransi tahun berikutnya. Sehingga setiap tahun jemaah haji akan membayar premi yang semakin kecil. Lalu selama beberapa bulan antara dua musim haji, dana itu bisa diputar untuk kegiatan produktif. Rupanya dana keuntungan asuransi haji ini juga menjadi perhatian Dewan Syariah Nasional (DSN). Akhir pekan lalu telah diadakan pertemuan antara DSN dan konsorsium asuransi syariah pengelola haji. Menurut K.H. Ma'ruf Amin, Ketua Harian DSN, pertemuan ini selain membahas fatwa tentang asuransi haji syariah juga akan menetapkan fatwa penggunaan dana dari keuntungan asuransi. "Biar manfaatnya kembali ke umat," kata Ma'ruf. DSN mengusulkan agar dana ini dijadikan wakaf uang. Sebagai wakaf, dana ini akan tetap utuh sepanjang masa dan bisa dipakai untuk kegiatan produktif atau diinvestasikan seperti yang dilakukan Tabung Haji Malaysia. Setelah itu, barulah hasilnya digunakan untuk kegiatan keagamaan dan sosial. Masalahnya, siapa yang layak menjadi pengelola dana tersebut. Ma'ruf menjawab, pengelolaan bisa dilakukan oleh Departemen Agama, Majelis Ulama Indonesia (MUI), atau lembaga lain yang dipercaya. "Yang penting, kita tetapkan dulu fatwa penggunaan dana itu," Ma'ruf menegaskan. Dengan adanya fatwa, siapa pun yang menjadi pengelolanya akan mudah dikontrol. Tentu, kata Ma'ruf, dengan beberapa syarat tambahan, yakni transparan, amanah, dan profesional. Agus Hidayat, Agus S. Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus