KEPUTUSAN resmi tentang perubahan rencana membangun proyek
bydrocracker di Dumai akhirnya keluar juga. Dir-Ut Pertamina
Piet Haryono, selesai bertemu dengan Presiden akhir bulan lalu,
mengatakan: "Proyek itu sepenuhnya akan dibiayai oleh
pemerintah."
Tadinya, dengan maksud tak mengganggu dana pemerintah,
proyek pengilangan untuk mengolah jenis minyak berat itu akan
dibangun sebagai usaha patungan. Yaitu antara Pertamina dengan
suatu konsorsium Spanyol-Taiwan. Konsorsium itu sedianya
akanmenguasai 51% dari saham proyek patungan tersebut.
Tapi yang menarik adalah bantahan Piet Haryono bahwa proyek
yang masih dalam rencana itu kini sudah menggelembung biayanya
menjadi sekitar US$ 1 milyar. "Sampai sekarang masih tetap
sekitar US$ 800 juta, dan pemerintah Indonesia akan membiayai
dari anggaran dalam negeri sekitar US$ 350 sampai US$ 400 juta,"
katanya. Dengan demikian, sisanya yang sekitar US$ 400 juta akan
dicari dari utang komersial perbankan di luar negeri.
Tarohlah rencana pembiayaan proyek itu tidak berubah. Tapi
manfaat apakah yang akan diperoleh dengan membenamkan US$ 800
juta ke proyek di Dumai itu? Para pendukung gagasan proyek Dumai
mengemukakan akan adanya penhematan devisa yang berasal dari
penghematan impor. Menurut mereka, selama ini setiap tahun
Indonesia telah m>nghabiskan US$ 200 juta untuk mengirnpor
minyak tanah, bensin dan solar dari Singapura.
Menurut mereka, dengan penghematan devisa sebarlyak itu,
maka dalam waktu lima tahun investasi proyek Dumai akan kembali.
Seperti diketahui, proyek hydrocracker bertujuan untuk memproses
residu lilin berkadar belerang rendah (low sulphur waxy residue)
Menjadi beberapa hasil minyak seperti minyak tanah, bensin
dan solar. LSWR merupakan bagian dari hasil produksi kilang-kilang
Pertamina di Riau, yang menyuling minyak mentah dari lapangan PT
Caltex Pacific Indonesia (CPI), dikenal dengan Minas crude atau
Sumatran Light crude. Setiap barrel Minas menghasilkan tak
kurang dari 55% LSWR. Hasil sampingan itulah sejak beberapa
tahun lalu sulit mendapat pasaran di luar negeri.
Pendapat yang melihat perlunya proyek hydrocraker ini
terutama didukung oleh bank American Express (Amex) cabang
Hongkong. Pihak Amex mengharapkan bisa memimpin suatu sindikat
bank-bank di Eropa, untuk mencari kredit sejumlah US$ 200 juta
bagi proyek di Dumai. Tadinya ada kabar bahwa rencana Amex itu
juga dibatalkan, karena Pertamina sendiri bisa membiayai yang
US$ 200 juta. Tapi ternyata kemudian usaha Amex tetap disetujui
oleh pemerintah Indonesia.
Seorang pejabat Amex di Hongkong dalam suatu keterangan
kepada koran The Asian Wall Street Jornal berkata yakin: "Proyek
Dumai sangat layak bagi Indonesia." Demikian pula C.F. Braun,
perusahaan pembangun hydrocracker di AS berkesimpulan:
"Investasi di Dumai merupakan investasi yang sangat penting bagi
Indonesia."
Ragu-ragu
Dir-Ut Piet Haryono yang hari itu banyak senyum, menerangkan
proyek itu sudah mulai dipersiapkan. Dia optimistis seluruh
pekerjaan raksasa itu akan bisa selesai di akhir tahun 1982.
Kapasitas penyulingan bydrocracker itu diperkirakan
berjumlah 80.000 barrel sehari, sekalipun ada yang beranggapan
cuma sekitar 62.000 barrel sehari. Yang pasti, jumlah tersebut
jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan yang akan dihasilkan
oleh penyulingan di kilang minyak Cilacap dan Balikpapan, kalau
pekerjaan perluasan kedua kilang itu selesai nanti:
masing-masing 200.000 barrel sehari dengan jumlah biaya yang
kurang lebih sama.
Agaknya itu pula yang membuat beberapa kalangan perbankan di
Indonesia mulai merasa ragu-ragu terhadap kelayakan proyek Dumai
itu. Menurut mereka, seperti dikutip koran yang terbit di
Hongkong itu, harga residu lilin yang tadinya tak laku kini
sudah membaik. Maka mereka berpendapat akan lebih efisien kalau
Indonesia tetap mengimpor dari Singapura ketimbang
menginvestasikan duit sebanyak US$ 800 juta.
Proyek di Cilacap dan Balikpapan akan dikerjakan oleh
perusahaan Fluor dan Bechtel, keduanya dari AS, yang sudah
mempunyai reputasi dalam soal soal membangun kilang-kilang
besar. Tapi yang di Dumai, meskipun tak lagi berupa proyek
patungan, akan tetap dikerjakan oleh dua kontraktor Spanyol,
yakni Centurion dan Technicas Reunidas. Kedua perusahaan itu
dianggap belum berpengalaman dalam soal-soal membuat kilang
minyak, sekalipun Technicas kabarnya pernah membangun proyek
hydrocracker berkapasitas 20.000 barrel sehari di Argentina.
Beberapa sumber yang dihubungi TEMPO secara tak langsung
mengakui memang kedua Spanyol itu tak sehebat kontraktor
Amerika. Maka setiap peralatan yang akan mereka kirim ke
Indonesia nanti, menurut seorang pejabat Migas, "akan
dirundingkan bersama dengan pihak Indonesia." Juga, kata pejabat
itu, "peralatan yang akan digunakan dari Spanyol akan dijamin
memiliki suatu pengakuan internasional."
Jaminan lain diungkapkan oleh Dr. Willibald Pahr, Menlu
Austria. Berada di Jakarta sebagai tamu Menlu Mochtar
Kusumaatmadja dua pekan lalu, Menlu Pahr menyatakan kesediaan
negerinya untuk memberi kredit ekspor sebanyak US$ 150 juta
untuk rencana kilang di Dumai. Tapi sebagaimana kedua swasta
Spanyol, kontraktor Voest Alpine dari Austria--yang menurut
rencana akan ikut membangun hydrocracker itu--belum sampai pada
tahap meneken kontrak.
Seperti halnya kontraktor Technicas Reunidas, perusahaan
Voest Alpine, menurut seorang anggota rombongan Menlu Austria
itu, pernah mempunyai pengalaman membuat kilang hydrocracker di
Argentina. Seorang ahli hydrocracker yang rupanya ikut dalam
rombongan Menlu Pahr, ketika dihubungi, menolak menjelaskan
kapasitas hydrocracker yang pernah dibuat oleh Voest Alpine.
Kalau yang mereka bangun adalah kilang yang dikerjakan oleh
Technicas, mudah diduga kedua kontraktor itu akan bertemu
kembali di Dumai nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini