Setelah Perumtel jadi persero, Cacuk berjanji akan meningkatkan pelayanan bagi para pelanggan. Termasuk telepon mobil. ANDA pelanggan telepon? Kalau benar pelanggan, mestinya tahu bahwa Perumtel tidak keberatan bila Anda terlambat melunasi rekening. Sambungan telepon tidak akan diputus -- seperti biasanya -- tapi Anda akan didenda. Semakin lama Anda menunggak, semakin besar denda yang ditimpakan pada Anda. Jadi, berhati-hatilah. Namun, terhitung September depan, tunggak-menunggak tak dibenarkan lagi. Perumtel akan kembali ke gaya lama, yaitu main putus. Ya, itulah tekad yang dicanangkan Dirut Perumtel, Cacuk Sudarijanto. "Pokoknya, setiap terjadi penunggakan yang tidak ada hubungannya dengan keamanan negara akan langsung kami putus sambungannya," Cacuk menegaskan. Sikap yang tidak mengenal tawar-menawar itu baru akan diterapkan bulan depan. Sebab, ketika itulah (kalau tak ada aral melintang) Perumtel akan "bersalin rupa" menjadi PT Telekomunikasi Indonesia (Telekomi). Pergantian dari perusahaan umum menjadi persero ini -- resmi dimulai pada 27 September 1991 -- bukanlah sekadar mengubah status. Lebih dari itu, dengan status baru, BUMN yang memonopoli pasar "halo-halo" itu akan lebih bebas bergerak. Tidak hanya untuk secara langsung memutuskan sambungan telepon, tapi juga, misalnya, untuk melakukan diversifikasi usaha atau memindahkan kantor pusat dari Bandung ke Jakarta. Pemindahan itu, seperti yang pernah diutarakan Cacuk, semata-mata demi meningkatkan efisiensi, khususnya sesudah Perumtel berubah status menjadi persero. Selama ini ia risau karena lebih dari 100 pejabat tinggi Perumtel harus pulang-balik Bandung-Jakarta untuk konsultasi, misalnya. "Banyak waktu terbuang percuma," ujar Cacuk lagi. Kelak, bila disetujui, Perumtel akan berkantor di gedungnya yang bertingkat 17 di Jakarta. Jauh lebih penting dari perpindahan markas besar itu adalah bahwa status barunya akan membebaskan Telekomi secara manajerial -- dari campur tangan Pemerintah. Sebelumnya, ketika masih perum, setiap program kerja terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan Pemerintah. Namun sebagai PT, tidak lagi. "Namanya juga sudah naik pangkat," tutur Cacuk, bergurau. Begitupun dalam pembagian keuntungan. Telekomi tidak lagi wajib menyetorkan pendapatannya pada Pemerintah. Memang ada peraturan yang menetapkan bahwa setiap BUMN harus menyerahkan sebagian dividennya pada Pemerintah, tapi dividen itu bisa saja berjumlah 0%. Artinya, jika dibutuhkan BUMN berstatus persero bisa menanamkan kembali keuntungannya. Tentu, hal ini tergantung negosiasi dengan Pemerintah. Yang pasti berbeda dengan perusahaan umum, yang mau tidak mau tiap tahun harus menyerahkan 55% keuntungan bersihnya (setelah dipotong pajak), kepada Pemerintah. Namun, tidak berarti Telekomi bisa bertindak seperti swasta murni. "Kami tetap BUMN yang harus menjadi agen pembangunan," kata Cacuk. Rencananya, dengan status persero, manajemen Telekomi akan mengayunkan langkah-langkah yang lebih lebar. Selain itu, karena bebas menggunakan dana yang diperoleh, Telekomi juga bisa meningkatkan pelayanan kepada masyarakat konsumen. "Kami bisa membangun satuan sambungan yang lebih banyak. Termasuk pembangunan sarana telepon untuk umum," Cacuk terdengar seperti berjanji. Memang benar, pelayanan pada konsumenlah yang harus diprioritaskan oleh Telekomi. Selama ini tidak sedikit konsumen yang mengeluh karena jasa yang diberikan BUMN ini berkualitas rendah. Mulai dari permintaan sambungan telepon baru, yang sering memakan waktu bertahun-tahun, hingga perbaikan hubungan telepon yang rusak. Atau, coba simak apa yang dialami Grup Kompas-Gramedia. Perusahaan yang bergerak dalam bisnis media ini boleh dikatakan merupakan salah satu pelanggan besar, dengan rekening telepon rata-rata Rp 125 juta per bulan. Kendati pelanggan utama, tetap saja tak lepas dari pelayanan yang mengecewakan. Selain sulit melakukan hubungan ke daerah, "telepon kami sering mengalami induksi," kata Margono, Kepala Bagian Umum Kompas. Namun, masih ada keanehan lainnya. Ini terjadi ketika Kompas mengajukan permohonan untuk memperoleh 30 sambungan baru. Pihak Perumtel menjawab bahwa BUMN itu tak punya dana. Karena kebutuhan yang mendesak, Kompas menyanggupi urun dana Rp 400 juta, pokoknya 30 saluran bisa segera terpasang. Biarpun sudah ada suntikan dana segar seperti itu, 30 sambungan tak juga kunjung berdering. "Tetap saja kami harus menunggu lama," kata Margono. Bagaimana kelak bila sudah jadi persero, apakah Telekomi bisa menaikkan kualitas pelayanannya, seperti yang dijanjikan Cacuk kepada TEMPO? Itulah yang harus dibuktikan, sesudah 28 September 1991 ketika Perumtel resmi berganti rupa menjadi PT Telekomi. Kini setidaknya diperkirakan, pelayanan yang diberikan BUMN ini akan meningkat dalam hal pemasangan telepon mobil. Seperti diketahui, Juli lalu, melalui program pembangunan STKB (Sentral Telepon Kendaraan Bermotor) II, Telekomi akan membangun sarana baru yang mampu menyambungkan 16.000 lebih sambungan telepon mobil. Adapun STKB II ini menggunakan teknologi American Mobile Programming System, yang dikembangkan oleh perusahaan telekomunikasi Amerika, Motorolla, dan direncanakan beroperasi di beberapa provinsi. Yang akan bertindak sebagai investor, sekaligus yang akan memasarkan, adalah empat perusahaan swasta yang ditunjuk oleh Pemerintah. Untuk wilayah Medan, Tebingtinggi, Pematangsiantar, dan Ujungpandang, misalnya, pemasaran dipercayakan kepada PT Elektrindo Nusantara. Di empat kota tersebut, anak perusahaan Bimantara ini akan memasarkan 4.370 sambungan. Di samping Elektrindo, masih ada tiga perusahaan lainnya, yakni PT Telekomindo (perusahaan milik Yayasan Dana Pensiun Perumtel), PT Centralindo Pancasakti, dan PT Rajasa Hasanah Perkasa. Ketiga perusahaan swasta itu akan melakukan investasi sekaligus memasarkan telepon mobil di wilayah Bali, Kalimantan, Batam, dan Jawa Tengah. Akan halnya PT Inti -- BUMN yang punya kaitan paling erat dengan Telekomi -- akan memperoleh "bagian yang agak lain". Dahulu, ketika pembangunan STKB I, yang akan tuntas akhir September depan, BUMN ini hanya memperoleh order pemasangan instalasi radio base station (RBS, berfungsi menghantarkan gelombang dari setiap pesawat telepon). "Kini, di proyek STKB II, Inti tidak hanya memasang, melainkan juga merakit RBS. Selain itu BUMN ini juga mendapat jatah untuk membuat pesawat penerima, yang dipasang di mobil. "Ini pengalaman berharga bagi kami," kata Budi Siswanto, General Manager Pemasaran Inti. Sampai di sini, persoalan proyek STKB II jelas sudah. Namun, ada sebuah pertanyaan yang menggelitik benak beberapa pengusaha. Mereka ingin tahu kriteria apa saja yang dipakai Telekomi untuk memutuskan menunjuk swasta sebagai mitranya. Kriteria itu dipertanyakan karena selama ini yang menjadi mitra Telekomi perusahaan yang itu-itu juga, seperti Elektrindo Nusantara dan Rajasa Hasanah Perkasa. Untuk pertanyaan ini, Cacuk sudah mempunyai sebuah jawaban. Katanya, hanya ada dua syarat yang harus dipenuhi oleh swasta yang ingin menjadi pemasok telepon mobil. Pertama, perusahaan tersebut mempunyai dana yang cukup untuk investasi. Kedua, harus sudah mempunyai pengalaman di bisnis telekomunikasi. Budi Kusumah, G. Sugrahetty (Jakarta), dan Ida Farida (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini