Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah dan DPR sedang membahas aturan pembatasan penjualan Pertalite.
Pembatasan penjualan Pertalite dapat memicu lonjakan inflasi sebesar 1,3-1,5 persen poin.
Target pertumbuhan ekonomi 2024 sebesar 5,2 persen akan sulit dicapai.
IQBAL Ramadhan, 28 tahun, mengaku khawatir mendengar rencana pembatasan penjualan Pertalite yang akan diberlakukan pada tahun ini. Sebab, pria yang bekerja sebagai tenaga lepas di sebuah lembaga hukum di Jakarta ini merupakan pengguna Pertalite. Dia menghitung pembatasan akses terhadap bahan bakar minyak (BBM) dengan RON 90 tersebut akan mempengaruhi kondisi keuangannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan pernah menggunakan BBM nonsubsidi, seperti Pertamax. Namun selisih harga di antara dua jenis bahan bakar tersebut cukup besar baginya. “Selisihnya bisa Rp 500 ribu sebulan untuk mobil,” katanya kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan adanya pembatasan penjualan, Iqbal menuturkan, konsumen akan beralih ke BBM nonsubsidi yang harganya lebih mahal. Saat ini Pertalite dijual seharga Rp 10 ribu per liter. Sementara itu, BBM nonsubsidi termurah, seperti Pertamax, dijual seharga Rp 12.950 per liter.
Iqbal yang tinggal di Bintaro, Jakarta Selatan, ini menyatakan sebenarnya tidak mempermasalahkan pembatasan penjualan Pertalite asalkan kualitas transportasi publik dan jalur pedestrian ditingkatkan. Dia berujar, akses transportasi publik di Jakarta dan sekitarnya masih terbatas serta belum terintegrasi.
Pembatasan penjualan Pertalite akan diatur dalam revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menyatakan hanya kendaraan jenis tertentu yang boleh mengkonsumsi Pertalite serta solar.
“Umumnya kendaraan pengangkut bahan pangan dan angkutan umum," kata Arifin di Jakarta, 8 Maret 2024. Pemerintah menargetkan pengerjaan revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 akan selesai dalam beberapa bulan ke depan sehingga pembatasan Pertalite dapat diterapkan pada tahun ini.
Draf rencana revisi itu pertama kali diusulkan oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas). Revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 dinilai penting untuk mengendalikan konsumsi Pertalite agar tidak melampaui kuota yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Baca Juga Infografiknya:
Pengisian bahan bakar pertalite di SPBU Kuningan, Jakarta, 12 Maret 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Dapat Memicu Lonjakan Harga Pangan
Wakil Ketua Komisi Energi DPR Eddy Soeparno mengimbuhkan, revisi Perpres No. 191 Tahun 2014 sudah dibahas sejak pertengahan 2022. Namun revisi tersebut tidak kunjung disahkan lantaran mempertimbangkan imbasnya pada inflasi.
Pembatasan penjualan Pertalite, ucap dia, akan membuat konsumen beralih ke BBM nonsubsidi yang lebih mahal dan memicu lonjakan inflasi sebesar 1,3-1,5 persen poin. Artinya, jika inflasi tahunan Februari 2024 yang sebesar 2,75 persen dijadikan acuan, inflasi tahunan akibat pembatasan penjualan Pertalite bisa menembus 4,25 persen.
Dengan pertimbangan tersebut, pemerintah baru berani membatasi penjualan Pertalite pada tahun ini. Menurut anggota Fraksi Partai Amanat Nasional ini, DPR akan membahas kriteria penerima Pertalite dalam rapat dengar pendapat bersama Menteri Energi pekan depan.
Ia berharap kriteria penerima Pertalite mencakup angkutan umum; pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); ojek daring; ambulans; dan kendaraan yayasan kemanusiaan. “Batasannya perlu dijelaskan lagi dengan rinci,” ujarnya kepada Tempo, kemarin.
Adapun peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M. Rizal Taufikurahman, menyebutkan pembatasan penjualan Pertalite akan memicu kenaikan harga komoditas pangan serta nonpangan secara cepat. “Akibatnya, daya beli masyarakat tertekan, terutama rumah tangga berpendapatan menengah ke bawah.”
Kalau kondisi tersebut dibiarkan tanpa antisipasi, dia menambahkan, target pertumbuhan ekonomi 2024 sebesar 5,2 persen akan sulit dicapai akibat daya beli turun. Begitu pula kinerja investasi akan terganggu. "Apalagi realisasi investasi masih menghadapi tantangan di tahun politik ini," katanya.
Pembatasan penjualan Pertalite juga dapat memicu peningkatan jumlah penduduk miskin dari posisi per Maret 2023 yang sebanyak 25,9 juta orang. Karena itu, Rizal menyarankan pembatasan dilakukan ketika pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat sedang tinggi.
Sebagai perbandingan, ketika pemerintah menaikkan harga Pertalite pada 3 September 2022 dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter dan solar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter, inflasi tahunan pada bulan yang sama mencapai 5,95 persen, melonjak dibanding inflasi tahunan pada Agustus 2022 yang sebesar 4,69 persen.
Pengisian bahan bakar di SPBU Kuningan, Jakarta, 12 Maret 2024. TEMPO/Tony Hartawan
Harga Keekonomian Pertalite
Eddy Soeparno menimpali, selama ini anggaran subsidi ataupun kompensasi BBM cukup besar. Pada 2024, pemerintah menargetkan subsidi energi sebesar Rp 186,9 triliun, yang terdiri atas subsidi BBM dan elpiji sebesar Rp 113 triliun dan subsidi listrik Rp 73,6 triliun. Pagu tersebut meningkat dari realisasi subsidi energi pada 2023 sebesar Rp 164,29 triliun. "Karena itu, aturan pembatasan diharapkan dapat menurunkan beban subsidi."
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Dadan Kusdiana menuturkan pemerintah menetapkan kuota penyaluran Pertalite pada 2024 sebanyak 31,7 juta kiloliter, lebih tinggi dari realisasi penyaluran Pertalite pada 2023 yang sebanyak 30 juta kiloliter.
Ia berujar, harga keekonomian Pertalite fluktuatif, bergantung pada kurs rupiah dan indeks harga Mean of Plats Singapore (MOPS). “Saat ini harga keekonomian Pertalite di kisaran Rp 13 ribu per liter,” ujarnya. Pemerintah harus menanggung selisih antara harga keekonomian alias harga jual formula dan harga jual bahan di stasiun pengisian bahan bakar umum dalam bentuk pemberian kompensasi kepada PT Pertamina (Persero).
Pertamina melaporkan, pada tahun lalu, pemerintah membayar dana kompensasi BBM sebesar Rp 132,44 triliun (termasuk pajak pertambahan nilai/PPN) atau Rp 119,31 triliun (tidak termasuk PPN). Dana tersebut terbagi atas pembayaran triwulan I-III 2023 sebesar Rp 82,73 triliun, 2022 sebesar Rp 49,14 triliun, dan 2021 sebesar Rp 569 miliar.
Juru bicara Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, mengungkapkan pembayaran tersebut diberikan untuk jenis BBM tertentu solar dan jenis BBM khusus penugasan Pertalite. Perihal rencana pembatasan penjualan Pertalite, dia menegaskan, Pertamina akan mengikuti kebijakan pemerintah. “Kami menunggu aturan ditetapkan dan siap untuk menjalankannya.”
Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, aturan pembatasan akan sulit diimplementasikan. Ia mencontohkan, kalau menggunakan kriteria tahun mobil, akan sulit menilai siapa yang lebih berhak antara mobil mewah keluaran 1990-an dan mobil low cost green car keluaran terbaru.
“Sedangkan jika dibatasi berdasarkan volume mesin mobil, sekarang banyak mobil turbo dengan cc kecil, seperti BMW dan Civic turbo,” katanya. Karena itu, Komaidi menyarankan agar subsidi diberikan langsung ke perorangan dengan menggunakan data penduduk.
Hingga kemarin, BPH Migas belum membeberkan secara rinci kategori dan kriteria pengguna Pertalite dalam rancangan revisi Perpres No. 191 Tahun 2014. Tempo sudah mencoba menanyakan hal tersebut kepada Kepala BPH Migas Erika Retnowati, tapi belum direspons.
***
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Riri Rahayu berkontribusi dalam penulisan artikel ini.