Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pengawas Indonesia Business Council (IBC) Arsjad Rasjid menanggapi kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang disebut-sebut akan memengaruhi ekonomi global. Ia berharap, Indonesia dapat mengambil peluang dari kebijakan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan proteksionis Trump dicirikan dengan bea masuk yang tinggi terhadap impor dari berbagai negara, terutama Cina. Dengan kebijakan itu, Arsjad justru berharap pengusaha dari Negeri Tirai Bambu dapat mengalihkan sasaran investasi ke Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Karena kalau enggak, Cina enggak bisa jualan. Itu sisi positifnya,” ujar eks Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia ini saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat, Rabu, 12 Februari 2025.
Arsjad menambahkan, pemerintah juga bisa mengupayakan langkah proaktif terhadap pemerintahan AS. Ia mencontohkan, Indonesia atau ASEAN, ujar dia, dapat menawarkan diri menjadi bagian dari rantai pasok di negara itu.
Presiden Direktur PT Indika Energy ini mengatakan, diskusi ihwal efek Trump kini tengah berlangsung di mana-mana. Topik ini juga akan dibahas dalam Indonesia Economic Summit (IES) yang akan digelar oleh IBC di Jakarta, pekan depan.
Sejak meletus pada 2018, perang dagang Amerika-Cina, Indonesia tak berhasil mengambil peluang menggantikan posisi Cina sebagai eksportir ke Negeri Abang Sam. Yang banyak meraup manfaat justru negara-negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia.
Tingginya Incremental Capital Output Ratio (ICOR) dinilai sejumlah kalangan menjadi alasan para investor AS dan Cina enggan berinvestasi di Indonesia. ICOR merupakan rasio yang menunjukkan besarnya tambahan investasi yang diperlukan untuk menambah satu unit output. Makin kecil angka ICOR, biaya investasi untuk menghasilkan output tertentu akan makin efisien.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2022, ICOR Indonesia berada di level 6,25 persen. Angka ini lebih tinggi dari Malaysia yang sebesar 4,5 persen, Thailand 4,4 persen, Vietnam 4,6 persen, dan Filipina 3,7 persen.