DALAM bisnis, untung dan rugi soal biasa. Banyak perusahaan nasional jadi, besar, tapi banyak juga yang tetap kerdil atau bangkrut. Namun, perusahaanperusahaan besar belum tentu tetap jaya. Soalnya, sebagian modal mereka merupakan utang dari bank. Menurut laporan Bank Dunia 1988, rasio utang dari perusahaan-perusahaan di Indonesia umumnya lebih besar dari modal sendiri bisa mencapai 9:1. Kelemahan sistem keuangan di Indonesia itu tak lepas dari bursa modal yang belum sehat. Hal itu diakui Menteri Keuangan J.B. Sumarlin, sebagaimana terungkap dalam pidatonya pada pembukaan seminar Perkembangan Pasar Modal dan Kesempatan-Kesempatan Investasi di Indonesia, Rabu pekan lalu. Pada seminar di Hotel Borobudur, Menkeu Sumarlin meneliti fondasi bursa Jakarta, dengan melontarkan tiga pertanyaan sangat mendasar. Mengapa kita membutuhkan pasar modal? Apa yang menjadi alasan utama diperlukan pasar surat-surat berharga yang lebih berkembang? Mengapa bursa saham penting untuk Indo-nesia? Umumnya dikatakan, peran utama bursa saham dalam pengembanan ekonomi adalah untuk mengumpulkan modal. "Tetapi statement ini terlalu sempit," demikian Menteri dalam pidatonya yang dibacakan Sekjen Depkeu Sugito Sastromidjojo. Menurut Sumarlin, pasar modal yang sehat dan berkembang baik seharusnya bisa memainkan peranan lebih luas. Keadaan bursa Jakarta, yang seperti lesu darah, menyebabkan sektor perbankan muncul sebagai satu-satunya sumber utama penghimpun dan penyalur modal. Akibatnya, perbankan tak punya saingan. Padahal, kalau bursa sehat, tentu efisiensi sistem keuangan Indonesia bisa meningkat. Dan efisiensi pusat-pusat permodalan itu, pada gilirannya, nanti akan mengembangkan stabilitas sistem keuangan nasional. Arti efisiensi, menurut Sumarlin, ialah umber-sumber kapital itu akan bersaing nenawarkan modal semurah mungkin kepada para pengusaha, sekaligus berlomba menjanjikan bunga lebih tinggi bagi penabung. Dan persaingan itu jelas akan terjadi. Sebab apa? Bursa saham memberikan modal permanen kepada pengusaha tanpa kewajiban mengembalikannya. Sedangkan perbankan memberi kredit, yang harus dikembalikan dalam waktu tertentu, itu pun disertai kewajiban membayar bunga yang bisa berubah-ubah. "Ini bisa berbahaya, apalagi jika pinjaman dalam valuta asing," kata Menteri Keuangan RI yang kini repot mengelola utang luar negeri pemerintah. Bursa sehat dan efisien juga dapat menyumbangkan solvency (kemampuan membayar utang) bagi sistem keuangan. Absenya bursa saham dan pasar obligasi cenderung meningkatkan rasio utang permodalan perusahaan-perusahaan. "Hal ini membahayakan pertumbuhan perusahaan, dan juga solvency mereka pada bank-bank," kata Sumarlin. Selain itu, pasar modal juga bisa merangsang pertumbuhan usaha dan kesempatan kerja, selain merangsang pemerataan kesempatan memiliki perusahaan. Dengan demikian, "pemilikan perusahaan tidak terbatas pada segelintir orang kaya atau konglomerat industri-keuangan besar saja," katanya lebih lanjut. Dikatakannya juga akhir-akhir ini telah terjadi kekeliruan dalam pembiayaan pengembangan industri -- bahkan defisit neraca pembayaran -- yakni dengan meminjam dari bank-bank komersial. Hal-hal itu bukannya tidak terjadi di Indonesia. Contoh: pembangunan proyek-proyek Pertamina di tahun 1970-an. Sumarlin melihat bahwa pasar modal yang kuat bisa mengurangi masalah yang menekan berbagai negara akibat utang sejak tahun 1980-an. Menkeu tidak menyebutkan contoh, tapi bisa ditebak, utang pemerintah Indonesia juga bisa diringankan lewat pasar modal Jakarta. Dalam seminar pekan lalu yang diikuti sekitar 200 orang -- 15 orang di antaranya dari lembaga keuangan AS, Jepang, Hong Kong, dan Singapura -- Sumarlin mengatakan bahwa pemerintah (dan peraturan-peraturan pemerintah) tidak bisa menciptakan pasar. Yang bisa dilakukan pemerintah adalah menciptakan iklim untuk merangsang penciptaan pasar modal. Adapun tugas menghidupkan pasar modal itu terpulang pada pihak swasta. Untuk itu perusahaan dan BUMN harus memperbanyak penjualan saham dan obligasi, sementara tugas investor menyediakan dana. Ini tidak berarti pemerintah tidak akan campur tangan lagi. Pemerintah masih harus menganalisa sistem keuangan yang berlaku, mengarahkan perjalanan pasar modal sesuai dengan sasaran program ekonomi, sosial, dan politik secara menyeiuruh, kemudian merancang UU dan peraturan-peraturan pelaksanaannya. Menurut Sumarlin, Departemen Keuangan sudah selesai melakukan analisa kelemahan sistem keuangan, tapi, rupanya, masih diperlukan masukan lain. Dari seminar pekan lalu yang diselenggarakan PT Deemte Sakti Indo (Darmala Group) dan ISEI Jakarta itu, ada beberapa pembicara asing. Takaji Yamashita, pakar ekonomi dari Daiwa Securities Research Institute membahas perkembangan beberapa bursa dan situasi ekonomi internasional. Pembicara dari Singapura, Gcorge E.K. Teo, Wakil Ketua Stock Exchange of Singapore Ltd., menguraikan sistem yangditerapkan di SES -- bursa kedua (over the counter) Singapura. Selain itu, ada dua eksekutif dari Simex (Singapore International Monetary Exchange Ltd.), yakni bursa tempat perdagangan valuta asing untuk penyerahan kemudian financial futures exchanges. Menurut Aw Wah Soon, direktur pemasaran Simex, bursa ini diperlukan bagi para investor untuk mengurangi hedging risiko memegang valuta atau saham asing. Bursa yang seperti ini belum ada di Jakarta. Simex juga mempunyai rencana membuka bursa komoditi perdagangan penyerahan kemudian (fiktif). Barang yang diperdagangkan itu fiktif, alias tak ada. Bursa seperti ini sudah beberapa tahun beroperasi secara tak resmi di Jakarta. Namun, tahun depan, Badan Pengelola Perdagangan Komoditi, yang mengelola bursa komoditi riil (kopi dan karet) di Jakarta, akan membuka bursa komoditi fiktif juga. Max Wangkar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini