AKHIR pekan lalu, Hotel Savoy Homann diramaikan oleh ketawa berderai. Bukan acara dansa-dansi, sebagaimana lazimnya terjadi di Bandung tempo dulu. Suasana yang tampak santai sebenarnya bagian dari sebuah seminar serius. Temanya: Pengembangan Strategi Perdagangan Luar Negeri dan Industri Barang Ekspor Indonesia dalam Pelita V. Tak kurang dari lima pembicara yang bergelar doktor tampil ke atas mimbar. Acara itu diselenggarakan oleh ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia) Bandung, dengan sponsor Fakultas Ekonomi Universitas Pasundan. Susunan pembahasan rupanya cukup terarah. Mulai dari pemrasaran Gubernur BI Adrianus Mooy, yang menandaskan mengapa ekspor itu penting. Pembicara kedua Menteri Muda Perdagangan yang sampai pada kesimpulan: perlunya penekanan ekspor di bidang manufaktur/industri. Selanjutnya penjelasan kebijaksanaan perindustian nasional, berbekal makalah dari Dirjen Aneka Industri Sotion Arjanggi. Pembicaraan terasa ringan dan segar, mungkin juga karena berbagai komentar jenaka dari moderatornya, Fikri Jufri. Pokoknya, ekspor adalah sektor utama, lalu, apa yang mesti diekspor, itulah yang menjadi pokok pembicaraan. Dalam kaitannya dengan itu, pembicara kedua, Menmud Perdagangan Soedrajad D jiwandono, mengatakan perlunya pembatasan-pembatasan. Sebab, ia melihat adanya kontradiksi. Pemakaian teknologi misalnya, telah menyebabkan kapasitas produksi dalam negeri meningkat. Tapi di luar negeri, teknologi maju menyebabkan pemakaian bahan baku justru menjadi lebih irit. Sehingga, naiknya sisi penawaran bertentangan dengan sisi permintaan. Akibatnya, ekspor bahan baku dari Indonesia mendapatkan harga yang murah. Maksud Soedrajad barangkali, penemuan sumber-sumber energi baru (sinar matahari) yang mengurangi permintaan minyak. Atau teknologi kabel telepon serat kaca yang menyebabkan pemakaian tembaga untuk industri kabel berkurang. Kesimpulannya, peluang ekspor produk primer (hasil-hasil hutan, pertanian, dan pertambangan) tidak cerah. Jadi, "Prospeknya terletak pada ekspor hasil industri," kata Soedradiad memastikan. Bisa dimengerti kalau dewasa ini pemerintah mulai membatasi ekspor bahan-bahan mentah seperti rotan, karet, kelapa sawit. Bahkan Pertamina sudah mulai dipersiapkan untuk membangun industri pengilangan minyak guna keperluan ekspor. Dalam diskusi lanjutan, cukup menarik pendapat yang dilontarkan Dr. Mari Pangestu. Pengamat ekonomi yang mengajar di FE UI ini melihat, pertumbuhan ekspor nonmigas yang dramatis -- 32% per tahun pada 1986-87 dibandingkan 7-11% pada tahun-tahun sebelumnya -- belum bisa dikatakan menggembirakan. Ia melihat, perkembangan pesat itu dipengaruhi beberapa faktor. Pertama, kebijaksanaan pemerintah yang ditujukan langsung terhadap investasi, produksi, dan ekspor (SKB tiga menteri yang melarang ekspor gelondongan), rangsangan sertifikat ekspor, dan deregulasi. Kedua, dampak kebijaksanaan ekonomi makro, yakni pengekangan inflasi dan peniagaan nilal tukar riil, tepatnya: devaluasi. Sebagian juga karena kebijaksanaan moneter, yang mempertahankan tingkat bunga perbankan yang tinggi, guna mencegah pelarian modal. Ketiga, kelesuan pasar dalam negeri telah memaksa produsen mencari pasar di luar negeri. Keempat, keadaan pasar luar negeri yang kebetulan agak bergairah. Menurut Mari, rangsangan ekspor secara umum masih harus dilanjutkan, perlu pengarahan ekspor untuk produk-produk bernilai tambah lebih, perlu diversifikasi produk serta perluasan pasar ekspor. Semua itu memang tidak mudah, tetapi beberapa syarat, toh, sudah terjabarkan. M.W. dan Gatot Triyanto (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini