Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah mengatakan penyebab pailitnya PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) bukanlah Permendag Nomor 8 Tahun 2024, melainkan tata kelola perusahaan yang salah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Piter menyebut kondisi Sritex telah memburuk jauh sebelum Permendag 8/2024 yang mengatur tentang kebijakan impor itu diterbitkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Makanya kita tidak bisa buru-buru mengatakan ini disebabkan oleh Permendag 8/2024, apalagi sampai menyebutnya monster bagi industri tekstil,” ujarnya dikutip dari keterangan tertulis, Rabu, 6 Oktober 2024.
Menurut dia, pendeknya rentang waktu antara terbitnya Permendag 8/2024 pada Mei 2024 dan pailitnya Sritex pada Oktober 2024, memperlihatkan tidak adanya keterkaitan antara keduanya.
Lebih lanjut, Piter mengatakan industri tekstil dalam negeri sudah sakit cukup lama sebelum Permendag 8/2024 disahkan. “Oleh karena itu, dari pandangan saya, Permendag 8/2024 bukan monster yang mematikan Sritex,” kata dia.
Sebelumnya, Komisaris Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk. (Sritex) Iwan Setiawan Lukminto mengatakan Peraturan Menteri Nomor 8 Tahun 2024 yang mengatur tentang relaksasi impor sejumlah komoditas mengganggu operasional industri tekstil dalam negeri.
“Secara nyata pasti ya (mengganggu), karena teman-teman kami di industri ini juga banyak yang kena,” ujar Iwan saat ditemui awak media usai audiensi di kantor Kementerian Perindustrian, Senin, 28 Oktober 2024.
Iwan menyebut dampak yang timbul dari regulasi itu sebagai permasalahan klasik yang sudah diketahui oleh semua orang. Ia mengatakan, banyak pelaku industri tekstil yang terdisrupsi terlalu dalam bahkan sampai menutup pabrik akibat Permendag 8/2024. “Jadi dampaknya sangat signifikan,” kata dia.
Hal ini senada juga disampaikan oleh Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita. Ia mengatakan, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 20 menimbulkan permasalahan dalam industri tekstil. Menurut dia, hal ini bahkan telah menjadi pengetahuan umum bagi pihak-pihak yang menekuni industri manufaktur, khususnya tekstil.
“Orang-orang yang menekuni industri manufaktur itu paham betul memang ada problem yang tercipta sebagai dampak dari terbitnya Permendag 8,” ujarnya melalui sambungan telepon pada Senin, 28 Oktober 2024.
Agus mengatakan permasalahan industri tekstil tak hanya berkaitan dengan pasar ekspornya yang lesu. Ia menyebut, jika pasar global sedang lesu, seharusnya pemerintah melindungi pasar dalam negeri. Sehingga produk yang dihasilkan oleh industri dalam negeri dapat diserap oleh pasar domestik.