Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyarankan subsidi kendaraan listrik lebih baik untuk transportasi publik. "Tambah armada dan konversi bus atau angkutan kota ke baterai. Itu lebih berguna bagi masyarakat sekaligus mengurangi emisi karbon," ujar dia kepada Tempo pada Selasa, 27 Desember 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini kebijakan insentif kendaraan listrik tersebut masih dibahas kementerian terkait. Nantinya, setiap konsumen bakal mendapatkan insentif Rp 80 juta dalam pembelian mobil listrik. Sedangkan untuk motor listrik insentifnya sebesar Rp 8 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak hanya itu, pembeli mobil hybrid pun bisa mendapat potongan Rp 40 juta. Sedangkan konversi motor listrik bakal menerima insentif Rp 5 juta. Namun insentif itu hanya berlaku pada kendaraan listrik yang dibuat di pabrik Indonesia.
Bhima menuturkan jika mobil listrik disubsidi dikhawatir menambah kemacetan terutama di kota-kota besar. "Jumlah kepemilikan kendaraan bermotor sudah tembus 150,7 juta unit, artinya lebih dari setengah total penduduk punya kendaraan bermotor," ucap Bhima.
Sekain itu, Bhima juga menyarankan, sebelum menyalurkan subsidi kendaraan listrik harus di-mitigasi efek banjirnya impor komponen dan kendaraan listrik jadi. Memang , kata dia, ada ketentuan TKDN, tapi dia mempertanyakan apakah membuat pabrik mobil listrik apa bisa secepat itu, sementara subsidinya segera diberlakukan.
"Butuh 3-5 tahun dari proses investasi pabrik hingga beroperasi. Khawatir impor mobil listrik dan hybrid serta komponennya tetap akan melonjak," tutur Bhima.
Dia pun menuturkan bahwa saat ini banyak mobil dan sepeda motor listrik impor, begitu juga suku cadangnya. Jangan sampai, Bhima mewanti-wanti, pemerintah subsidi barang impor pakai uang anggaran pendapatan dan belanja negara atau APBN. Artinya, dia berujar, itu jelas tidak tepat sasaran.
"Karena masih lempar wacana, sebaiknya dikaji dulu bentuk subsidi yang ideal tanpa jadi beban APBN sekaligus tepat sasaran ke transisi energi," kata Bhima.
Termasuk juga soal besaran insentinya. Menurut Bhima, perlu ditinjau ulang karena kondisi APBN tahun depan masih butuh anggaran untuk antisipasi resesi. Dia mencontohkan, misalnya dana ketahanan pangan naik, begitu juga dengan perlindungan sosial.
Bhima juga menyitir kajian dari Asian Development Bank (ADB) yang menunjukkan upaya pensiun 50 persen PLTU batu bara mampu menurunkan emisi karbon setara 61 juta kendaraan bermotor di Indonesia, Vietnam dan Filipina. Jadi, menurut Bhima, bukan dengan subsidi mobil listrik, jawabannya ada di percepatan mengganti PLTU dengan energi baru terbarukam (EBT).
"Karena penggunaan mobil listrik akan kontradiksi dengan masifnya batu bara di hulu energi primer yang mencapai 60 persen dari total bauran energi," ujar Bhima.
Presiden Joko Widodo alias Jokowi menuturkan kebijakan insentif kendaraan listrik tersebut masih dalam tahap finalisasi. Menurut dia, insentif berpeluang diberikan kepada angkutan umum. Namun jumlahnya bakal berbeda dari mobil listrik, mobil hybrid dan motor listrik.
"Nanti kalau sudah ada hitung-hitungannya final keputusan ini, final betul baru akan kita sampaikan," katanya.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita menjelaskan saat ini subsidi kendaraan listrik masih dipelajari dan dihitung oleh pemerintah. “Sekarang lagi dipelajari dan dihitung, oke. Ini semuanya bertanya soal insentif mobil listrik, sedang dipelajari oleh pemerintah,” ujar Agus pasa Selasa, 20 Desember 2022.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.