MENCARI minyak di bumi Indonesia agaknya, masih cukup menarik bagi para investor asing. Apalagi setelah Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita mengeluarkan Paket Insentif Kontrak Production Sharing (KPS) pada akhir Agustus lalu. Sampai awal November ini telah ditandatangani 10 kontrak KPS, padahal tahun sebelumnya hanya 7 KPS yang ditandatangani. "Insya Allah pada akhir tahun ini masih akan ada lagi beberapa penandatanganan KPS maupun perpanjangan kontrak lama," kata Ginandjar pada pidato penandatanganan kontrak KPS Pertamina -- Amoco Java Sea Petroleum Co., dan Teikoku Oil Co. Ltd. di Gedung Pertamina Pusat, Jumat pekan lalu. Penandatanganan kontrak untuk eksplorasi di lepas pantai timur laut Laut Jawa (Amoco) dan daratan Sembakung (Teikoku), Kalimantan Timur itu seolah menjawab laporan tahunan yang dikeluarkan oleh Kedubes Amerika Serikat di Jakarta, The Petroleum Report Indonesia. Laporan yang dikeluarkan pada bulan September 1988 itu mengungkapkan bahwa kegiatan eksplorasi selama tahun 1987 hanya 82 -- terendah sejak 1970. Dan kalau temuan cadangan minyak hanya kecil, tahun lalu cuma 120 juta barel, dikhawatirkan kita akan mengimpor seluruh kebutuhan minyak pada tahun 2012. Rendahnya angka eksplorasi itu, menurut laporan setebal 157 halaman itu, adalah akibat pukulan ganda yang menerpa industri perminyakan. Selain harga minyak yang anjlok dan pengeluaran perusahaan minyak yang diperketat, juga ada keluhan terhadap pengenaan pajak berdasar Harga Jual Pemerintah (GSP) yang jauh dari harga realistis di pasar internasional. Dari Paket Insentif yang diberikan Ginandjar kepada para kontraktor, yang paling menonjol adalah perubahan insentif perpajakan dan penyisihan minyak dari produksi atau First Tranch Oil, FTO. Insentif perpajakan diberikan tiap bulan, dengan maksud untuk mengatasi perbedaan GSP dan harga realisasi. "Sekarang ini sudah tidak jadi masalah. Sebab, insentif pajak yang diberikan besarnya sama persis dengan marketing allowance yang diberikan pada pembeli-pembeli minyak kita," kata Ginandjar. Menurut laporan wartawan TEMPO Seiichi Okawa dari Tokyo, besarnya marketing allowance untuk penyerahan bulan Oktober lalu di Jepang mencapai US$4,36, sedangkan untuk bulan November ini mencapai US$5,46. Begitu minyak dipompa dari bumi, sebanyak 20% langsung disisihkan untuk menjamin perolehan Pertamina, dengan mengabaikan cost of recover kontraktor. Tapi dari 20% itu masih dipilah antara bagian Pertamina dan bagian kontraktor (85:15 atau 80:20 untuk daerah-daerah baru). "Kalau tidak begitu, bisa-bisa pemerintah tidak dapat apa-apa. Bisa habis untuk menutup cost of recovery kontraktor saja," ujar Ginandjar. Selain itu, juga ada perubahan pada harga minyak yang dijual untuk keperluan BBM di dalam negeri (DMO). DMO untuk lahan baru akan dibeli dengan tarif 10% dari harga ekspor, sedangkan pada lahan lama dibeli dengan tarif lama yang US$0,20 per barel. Ginandjar menyarankan agar Paket Insentif itu dilihat sebagai satu kesatuan. Langkah Ginandjar melicinkan jalan menuju investasi baru ini disambut baik oleh kalangan perminyakan di sini. "Semuanya ini adalah hasil dialog para pengurus Indonesian Petroleum Association dengan Pertamina dan Departemen Pertambangan & Energi," kata H.K. Accord, Presiden Mobil Oil, pada pertemuan dengan para wartawan di hari terakhir Konvensi IPA akhir bulan lalu. R. Craig Hanson, President dan Resident Manager Amoco Indonesia Petroleum Co., seusai pendandatanganan menyatakan pada TEMPO, "Kami masih melihat adanya kesempatan pengembangan ladang-ladang minyak di Indonesia." Bagi Ginandjar upaya menuju iklim investasi di bidang eksplorasi ini belum selesai. "Masih ada insentif-insentif yang kami perhatikan," ujarnya sembari tersenyum. Bachtiar Abdullah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini