PENDUDUK Depok, Jawa Barat, geger. Seorang mantri kesehatan, yang cukup dikenal penduduk, E. Supriyadi, 44 tahun, Selasa malam pekan lalu, ditemukan tewas berlumuran darah di ruang prakteknya. Dua hari kemudian Kepala Polres Depok, Letkol. Robert B. Hutagaol, membuat pengumuman yang lebih mengagetkan: korban dibunuh oleh Sofyan, pasangan homoseksualnya. "Pengungkapan kasus itu hanya memakan waktu 42,5 jam," kata Hutagaol bangga. Sofyan, 21 tahun, adalah pembantu Supriyadi, di rumahnya di Jalan Melati Perumnas, Depok. Disitu pula Supriyadi, yang sehari-hari pegawai RSCM, membuka praktek pengobatan sejak 1977. Ia, yang oleh pasiennya dipanggil "babe", rupanya bertangan dingin. Pasiennya banyak, mengalahkan dokter yang berpraktek di samping rumahnya. Sejak buka praktek itu pula Supriyadi, yang hidup membujang, mengajak anak tetangganya, Sofyan, untuk ikut membantunya. Pemuda lepasan SLA ini, yang sebelumnya bekerja sebagai loper koran, digaji Supriyadi RP 1.500 sehari di samping gaji bulanan Rp 15 ribu. Berkat kebaikan Supriyadi itu pula, Sofyan anak ketiga dari sembilan bersaudara -- bisa melanjutkan kuliahnya di Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Ciputat. Di rumah Supriyadi, Sofyan sehari-hari bekerja layaknya pembantu. Tugasnya membersihkan rumah serta membayar rekening listrik dan air. Dan di rumah itu ia diberi pula kamar sendiri dan kunci duplikat. Tapi di balik semua itu, menurut Sofyan, ia diperlakukan pula sebagai pembantu komplet. "Tiga minggu setelah itu, saya dipaksa melakukan 'begituan'," kata Sofyan, yang mengaku sembahyang lima waktu itu, malu-malu. Perbuatan itu, katanya, dilakukan Supriyadi berulang-ulang. Hanya karena takut dipecat, katanya, ia tak pernah menolak permintaan "majikan"-nya itu. "Adik-adik saya kan masih kecil-kecil, dan saya kasihan melihat ibu saya," kata Sofyan kepada TEMPO. Belakangan, cerita Sofyan, ia muak melihat cara hidup Supriyadi. Sebab, selain berhomo dengan dirinya, Supriyadi juga mempunyai lima orang teman "kencan" -- dua di antaranya dari Cilodong dan Cilandak, Jakarta Selatan. Jika pasangan "insidentil" Supriyadi itu datang, menurut Sofyan, ia disingkirkan. "Tapi saya sebetulnya tidak cemburu atau dendam," kata Sofyan, yang mengaku tetap normal dan masih tertarik pada wanita. Ia, katanya, baru berniat membunuh majikannya setelah menemukan sebuah hadis dari buku 400 Hadits Pilihan, yang berbunyi: "Apabila kamu mendapatkan seseorang berbuat seperti perbuatan kaum Luth (homoseks), bunuhlah keduanya -- baik yang aktif maupun yang pasif." Begitulah, Selasa pagi itu, Sofyan membeli pisau seharga Rp 250 di pasar Depok, yang kemudian disimpan di bawah kasur kamarnya. Siangnya, ia kuliah dan pulang pukul 17.30. Sesampai di rumah Supriyadi, ia melihat ruang tamu berantakan tanda baru saja ada tamu dari situ. Di meja tamu ada lima buah gelas bekas minuman. Inilah saatnya untuk membunuh, pikirnya. Ia segera mengambil pisaunya dan sebuah batako dari luar rumah. Pelan-pelan ia masuk ke kamar praktek majikannya. Supriyadi, yang saat itu lagi asyik membungkus ramuan obat, menoleh begitu ia datang. Ketika itulah, Sofyan menghantamkan batako itu ke wajah Supriyadi, disusul sebuah tikaman pisau ke leher korban. Pisau itu patah dan menancap di leher korban. Supriyadi roboh tak berkutik. Sofyan mengelap percikan darah itu ke gorden dan langsung pulang ke rumahnya, menukar baju. Dan setelah itu, ia kembali ke rumah majikannya. Ketika ia baru saja sampai di dalam rumah, ceritanya, tiba-tiba pintu diketuk seorang pasien. "Astaghfirullah," teriaknya untuk mengelabui pasien itu. Setelah itu, ia membuka pintu dan segera berteriak kepada pasien tadi. "Tolong, Pak Mantri dibunuh." Kepada polisi, Sofyan mula-mula mengaku menemukan majikannya itu telah tewas ketika ia baru pulang kuliah. Pada saat itu pula, katanya, seorang pasien mengetuk pintu. Ceritanya itu tak bisa mengelabui polisi. Kapolres Hutagaol, yang datang berpakaian preman, saat itu juga sudah mencurigai Sofyan: Sebab, ia tampak menghindar setiap kali ditatap polisi. Malam itu juga polisi menciduk Sofyan. Kamis malam polisi mendatangi rumah orangtua Sofyan. Di sltu polisi menemukan sebuah ember bernoda darah -- bekas tempat merendam baju tersangka. Polisi sempat berebut ember itu dengan ibu Sofyan. Berkat bukti baru itu, selesai sembahyang Jumat dinihari, Sofyan membuka mulut. "Saya sangat menyesali perbuatan saya. Saya kasihan sama Ibu dan keluarga saya. Nama mereka tercemar gara-gara perbuatan saya," katanya. Tapi apa sebenarnya motif pembunuhan itu. Hutagaol belum berani memberikan kesimpulan. Tentang Hadits Pilihan itu, "bisa saja hanya sebagai pembenaran atas tindakannya," kata Hutagaol. Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini