Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Energi dari Sebuah Garasi

Benarkah orang Indonesia cuma bisa menjiplak? Yana Suryana Rahardja membuktikan lain. Dari sebuah garasi, ia berhasil mengembangkan perangkat wartel.

8 Juni 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yana Suryana memang memulai usahanya dari sebuah garasi. Penemu komputer Apple, Steve Jobs, sama saja. Sementara Apple sudah mendunia pada era 1980-an, hasil karya Yana berupa perangkat warung telekomunikasi kini baru merambah ke Malaysia. Ia berhasil menembus pasar negeri jiran ini tak lain karena perangkat warung telekomunikasi (wartel) hasil rekayasanya sudah diakui mutu dan kecanggihannya. Selain sukses membuat perangkat telekomunikasi pengganti, perusahaan Yana, PT Quasar Cipta Mandiri (QCM), juga telah mendesain PBX (private branch exchange), telepon umum tunggu, Sentral Telepon Otomat Rakyat Mandiri (STOman), dan pelbagai perangkat telekomunikasi lain yang laris di pasaran. Itulah hasil perjuangan selama 12 tahun sejak Yana mengendus fenomena wartel ini—simbol komunikasi cepat, murah, dan merakyat. Kini, pemuda berusia 38 tahun itu sudah dikenal luas sebagai pembuat perangkat wartel. Dari usaha kecil-kecilan, perusahaannya, yang berkantor di Jalan Palasari, Bandung, mulai berkembang pesat. Didukung 400 distributor—Yana lebih suka bermain di pasar ketimbang mengandalkan proyek pemerintah—tiap bulan PT Quasar mampu menjual 2.000-3.000 unit produk. Bila harga setiap produk sekitar Rp 3 juta-4 juta, berarti pendapatan Quasar mencapai Rp 6 miliar-12 miliar sebulan. Alkisah, minat Yana berbisnis sudah terpacu sejak di bangku kuliah. Bermula pada tahun 1987, Yana bersama lima teman kuliahnya dari Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung mencoba mendesain alat pemindai untuk membaca hasil ujian dan membuat program antivirus komputer. Semua itu dilakukan di garasi rumah orang tuanya dengan peralatan yang sangat sederhana. Keuletan mereka membuahkan produk-produk yang bisa dipakai, tapi mereka belum mampu meyakinkan pemilik modal supaya menanamkan uangnya pada usaha yang baru dirintis itu. "Padahal, lantaran program antivirus itu, saya sempat dimuat di Majalah TEMPO," ujar Yana, tertawa. Setelah beberapa kali gagal, kelompok Yana dan kawan-kawan akhirnya membubarkan diri. Tapi hal itu baru terjadi setelah mereka lulus dari ITB. Ada yang kemudian bekerja di perusahaan asing, ada pula yang memilih bekerja di Pusat Antar-Universitas (PAU) ITB sebagai asisten peneliti. Yana termasuk dalam kelompok yang disebut terakhir ini. Salah satu program PAU adalah menjadi inkubator bagi wirausahawan di bidang elektronik. Kesempatan itu dimanfaatkan Yana untuk mengenal jaringan pengusaha elektronik. Sadar bahwa ia tak bisa mengandalkan keterampilan teknis semata, Yana memutuskan mengambil program master of business administration (MBA) di Institut Manajemen Prasetiya Mulya, Jakarta. Di sana, selain beroleh tambahan ilmu manajemen, ia juga memperoleh relasi. Salah satu dosennya malah memberi rekomendasi supaya bekerja di Siemens. Ia kemudian bergabung di perusahaan telekomunikasi Jerman itu, yakni di bagian distribusi perangkat telekomunikasi. Kebetulan di tahun 1991 muncul fenomena wartel. Yana yakin, PT Telkom akan mematikan telepon umum koin dan kartu dan mengembangkan wartel sebagai penggantinya. Ia segera mencium peluang bisnis. "Saya ingin mengembangkan software untuk wartel," ujarnya. Namun, Siemens tak bisa memenuhi kebutuhan itu. Soalnya, mereka tak punya program pengembangan usaha. Jadi, produk Siemens mesti dikombinasikan dengan produk lokal. Untuk mengisi kekosongan itu, Yana mulai membuat perangkat yang memungkinkan laporan penggunaan telepon dicetak lengkap dengan total biaya, pajak, lama pembicaraan, tanggal, dan jam penggunaannya. Dengan demikian, pemilik wartel bisa secara mudah menghitung keuntungan bisnisnya dan merasa aman dalam berinvestasi. Proyek pembuatan perangkat itu mempertemukan Yana kembali dengan teman-teman lama di PAU-ITB. Pada 1995, mereka bersama-sama mendirikan PT Quasar Cipta Mandiri. Nama Quasar, kata Yana, diambil dari benda langit yang belum diketahui jenisnya tapi energinya sangat kuat—mirip tekad yang ada di dada mereka waktu itu. Tiga tahun kemudian, ketika badai krisis ekonomi melanda Indonesia, Yana memutuskan keluar dari Siemens dan sepenuhnya mengurus Quasar. Saat itu harga produk elektronik melambung tinggi. Tapi Yana bisa menjual produknya dengan harga relatif murah karena tak perlu membayar hak cipta. "Dalam bisnis elektronik, yang paling mahal itu hak cipta," ujarnya. Dari sini produknya mulai dilirik pelanggan. Sejalan dengan merebaknya wartel, perangkat elektronik-telekomunikasi buatan Yana pun makin menyebar dan dikenal orang. Kini produk Quasar telah menembus pasar Malaysia. Wartel di negeri jiran itu memang mulai berkembang lantaran para pendatang perlu telepon untuk berkomunikasi dengan sanak saudara di negeri asal. Nugroho Dewanto, Bobby Gunawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus