Ibarat pelari, Bursa Efek Jakarta berhasil menjadi kampiun Asia pada paruh pertama tahun ini. Indeks harga saham gabungan (IHSG) melaju paling kencang dibanding di bursa negara-negara Asia yang lain. Sejak Januari lalu, harga saham di Jakarta rata-rata naik hampir 25 persen. Senin pekan lalu IHSG di Bursa Jakarta untuk pertama kali—sejak setahun silam—berhasil menembus angka 500. Pada penutupan perdagangan Kamis lalu, IHSG di BEJ bahkan mencatat rekor 511,1655 titik.
Posisi Bursa Jakarta memang jauh meninggalkan bursa lain di Asia. Hanya Bursa Manila, Kuala Lumpur, dan Singapura yang bisa mendekati kinerja Jakarta. Indeks harga ketiga bursa ini masing-masing naik 10,9 persen, 6,21 persen, dan 4,57 persen. Bursa Hong Kong hanya naik satu persen. Sebaliknya, Bursa Tokyo dan Seoul malah turun masing-masing 0,25 persen dan 3,15 persen. "Bursa kita terlihat naik tajam karena sebelumnya terkoreksi paling banyak," kata Direktur Utama Bursa Efek Jakarta, Erry Firmansyah.
Ada empat hal, menurut Erry, yang menyebabkan Bursa Jakarta terlihat begitu kinclong, yakni naiknya kepercayaan investor terhadap perekonomian Indonesia, rupiah yang terus menguat, dana asing yang deras masuk ke Jakarta, dan harga saham di BEJ yang sudah sangat murah. Pendek kata, Indonesia menjadi surga yang memberikan keuntungan (yield) tertinggi di Asia, antara lain karena suku bunga cenderung turun dan harga saham terlalu murah. Kedua faktor ini membuka peluang bagi investor untuk meraih laba besar. Selain itu, kecilnya dampak sindrom pernapasan akut (SARS) di Indonesia juga menaikkan posisi tawar Jakarta.
Tapi, apakah laju kenaikan ini bakal berlanjut? Analis Danareksa, Erwan Teguh, meragukannya. Menurut dia, membaiknya kondisi makro ternyata belum diikuti membaiknya faktor fundamental perusahaan di Indonesia. Sampai triwulan I tahun 2003, memang banyak perusahaan yang melaba. Sayangnya, sebagian besar berasal dari ongkos produksi yang menurun—karena beban bunga berkurang akibat suku bunga juga menurun. Jadi, bukan karena penjualannya naik. Erwan bahkan mencatat mulai ada trend penurunan permintaan.
Trend penurunan permintaan antara lain terjadi pada rokok, perdagangan eceran (retail), dan sepeda motor. Indikasi lain yang cukup kuat adalah rendahnya tingkat inflasi. "Inflasi yang rendah bisa karena penguatan rupiah, bisa juga karena permintaan yang turun," katanya. Akibat penurunan ini memang belum terlihat sekarang, tapi akan terasa pada semester II nanti. Sialnya, banyak perusahaan mesti membayar pajak setelah lima tahun menikmati bebas pajak akibat rugi kurs. Itu sebabnya, kondisi fundamental perusahaan diramalkan melemah mulai semester kedua tahun ini.
Faktor itulah agaknya yang bisa menurunkan antusiasme pasar. Lalu, investor jangka panjang akan kembali ke trek aman: faktor fundamental. Sementara selama enam bulan pertama investor menubruk saham apa pun, baik yang blue chip maupun yang kelas dua, pada semester kedua diperkirakan mereka akan berkonsentrasi di saham-saham unggulan. Dan lagi, nilai perdagangan saham selama ini juga hanya berkisar Rp 400 miliar per hari, jauh di bawah target BEJ senilai Rp 600 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa investor tak sepenuhnya larut dalam adu cepat di Bursa Jakarta.
Untuk itu, Erwan menyarankan agar pemerintah menerbitkan kebijakan yang bisa memompa permintaan. Dengan demikian, bursa bisa mendapatkan daya dorong pengganti dari dalam negeri. Indonesia bisa mencontoh Thailand, yang menggenjot pembangunan perumahan. Kebijakan ini terbukti membangkitkan industri dalam negeri karena permintaan bahan baku rumah, seperti kayu dan semen, naik.
Selain itu, pemerintah harus menggenjot investasi. Tanpa investasi, ekonomi tak akan tumbuh dan penyerapan tenaga kerja juga rendah. Sayangnya, sampai kini pemerintah belum memberikan sinyal mengenai arah perkembangan politik dalam negeri, terutama yang berkaitan dengan pemilihan umum. Padahal, banyak investor yang menunggu sinyal itu. Tak aneh jika perusahaan lebih banyak melakukan konsolidasi dan bukan ekspansi. Salah satu indikasinya adalah pemanfaatan dana emisi obligasi yang 80 persen di antaranya dipakai untuk membayar utang (refinancing).
Memang, jika ada beberapa IPO (initial public offering) yang menggiurkan, suasana marak di bursa bisa bertahan. Tapi, jika di luar itu tak ada perbaikan di sektor riil, keunggulan makroekonomi yang kini diraih akan tak banyak artinya. Investasi asing di bursa bisa datang dan pergi kapan saja. Kalau Indonesia tak punya tawaran yang menarik, uang itu akan pergi ke tempat lain. Akibatnya, sepanjang semester II nanti, diperkirakan indeks di BEJ akan kembali melemah, atau paling banter bertahan di sekitar 500 titik.
M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini