MAJALAH Fortune - salah satu dari sekian penerbitan Time Inc. di
Amerika - dalam edisi Oktober lalu antara lain telah mengulas
kemungkinan penanaman modal asing di 14 negara Asia. Mulai dari
Jepang, Vietnam sampai Indonesia. Ditulis oleh Roy Rowan,
anggota dewan redaksinya yang telah sering juga berkunjung ke
Indonesia, tulisan itu mencoba menggambarkan ap saja yang perlu
diketahui oleh para calon investor Amerika sebelum mereka
menanam uangnya di kawasan Asia.
Penulis berpendapat saat sekarang ada iklim yang mulai membaik
untuk penanarnan modal. Ini dikaitkan dengan sikap berbagai
pemerintah di Asia yang sedang bergairah untuk menarik modal
dari Barat untuk diajak patungan dengan pengusaha dalam negeri.
Meskipun diakui masih ada sikap was-was terhadap modal asing,
tapi "kebencian terhadap bekas kaum kolonialis itu jelas sudah
menghilang."
Ada semacam nasehat kepada para kapitalis Barat itu, agar mereka
tak cepat mengambil kesimpulan bila melihat gedung-gedung
pencakar langit yang makin menjulang di banyak negeri Asia. Dan
para pemudanya yang suka pakai musik rock dan pakai blue jean.
"Semua itu hanyalah yang kelihatan di permukaan. Tapi nyatanya
dalam banyak hal, Asia tetap berbeda dengn Barat. Misalnya,
pemikiran dari Barat tentang kejujuran, demokrasi dan sekarang
juga tentang hak-hak asasi, samasekali berlainan dengan konsep
orang Asia tentang soalsoal itu." Fortune memperingatkan, para
investor Amerika bakal kecewa saja kalau mereka ingin
"memaksakan" konsef mereka itu di Asia.
Masalah di atas sudah pula dibicarakan di antara para cerdik
pandai dan dalam Congress, yang mengecam sepak terjang dari
perusanaan trans nasional. Tapi ada yang menarik dalam tulisan
Rowan itu, yang membuat sebuah tabel berwarna berjudul
Investability Index: index tentang kemungkinan penanaman modal
di 14 negara Asia. Index itu memberi nilai terhadap banyak hal.
Mulai dari stabilitas negara, pembatasan dan hambatan birokrasi,
korupsi, komunikasi dan lain-lain (lihat tabel).
Tentang 'Indonesia? Banyak penilaian yang termasuk lumayan,
sekalipun ada juga yang mendapat angka "buruk", seperti dalam
keruwetan birokrasi (red tape) - sedang korupsi, di sini nomor
wahid. Tapi kita boleh senang juga melihat masalah hak-hah asasi
-- yang kini mendapat sorotan Presiden Jimmy Carter - bagi
Indonesia masih 'menang' dibandingkan dengan negra seperti
Korea Selatan, misalnya.
Hanya saja, tulisan itu tak menyebutkan dasar apa yang
dinamakan untuk memberi penilaian seperti buku rapor itu. Juga
kapan sebenarnya penilaian itu dilakukan. Buat Indonesia,
barangkali sebelum adanya Opstib.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini