Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

FSC: Korindo Terbukti Rusak Hutan untuk Buka Perkebunan Sawit

Forest Stewardship Council (FSC) menyatakan Korindo Group (Korindo) bersalah dalam merambah hutan secara besar-besaran di Papua dan Maluku Utara.

29 Juli 2019 | 21.51 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Shutterstock.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Bonn - Lembaga internasional untuk pengelolaan hutan dan akreditasi produk kehutanan Forest Stewardship Council (FSC) menyatakan Korindo Group (Korindo) bersalah dalam praktek perambahan hutan secara besar-besaran di Papua dan Maluku Utara. Korindo disebut bersalah karena melanggar hak tradisional dan hak asasi manusia di sekitar perkebunan sawit mereka. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dari hasil investigasi FSC, diketahui bahwa cara-cara Korindo mengkonversi hutan dan membuka perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah mengarah pada penghancuran nilai-nilai konservasi. "Yang mengarah pada penghancuran nilai konservasi, tinggi," ujar Direktur Jenderal FSC International, Kim Carstensen, Selasa, 23 Juli 2019. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi dilakukan FSC selama dua tahun. Investigasi dijalankan lembaga itu setelah mereka menerima laporan Mighty Earth, sebuah koalisi lembaga swadaya masyarakat global yang mengajukan gugatan terhadap Korindo. Korindo kemudian diselidiki oleh FSC di bawah kebijakan asosiasi (PfA).

Investigasi FSC menyimpulkan bahwa Korindo telah mengubah hutan menjadi lahan perkebunan sawit di Indonesia dengan metode yang malah menghancurkan konservasi. Meski tuduhan bahwa Korindo secara langsung membakar hutan untuk perkebunan sawit ditolak, tapi secara keseluruhan investigasi menemukan ada bukti pelanggaran kebijakan FSC.

Meski Korindo berkukuh bahwa perusahaannya telah mengikuti semua undang-undang dan peraturan pemerintah di Indonesia, laporan FSC memastikan bahwa kegiatan mereka tidak sepenuhnya sesuai dengan kebijakan FSC. Selain itu, penyelidikan menemukan pelanggaran atas Persetujuan Tanpa Paksaan (Free and Prior Informed Consent) dalam hubungan Korindo dengan masyarakat adat yang tidak sesuai dengan persyaratan yang diminta oleh FSC. 

Dalam bagian lain rilisnya, FSC menegaskan bahwa mereka telah belajar bahwa mengeluarkan perusahaan begitu saja dari keanggotaan FSC, tidak memberi solusi atas  kerusakan lingkungan dan sosial yang telah dilakukan oleh perusahaan. Dalam sejumlah kasus, perusahaan yang sudah dikeluarkan berusaha kembali ke FSC dengan harapan bisa mengakhiri dis-asosiasi dan memperbaiki cara kerjanya. Namun hal ini biasanya hanya terjadi setelah bertahun-tahun lewat, yang berarti banyak waktu berharga hilang sebelum tindakan memperbaiki dan mengkompensasi kesalahan masa lalu itu dilakukan. 

Oleh karena itulah, dalam kasus ini, FSC memutuskan tidak mengeluarkan Korindo karena perusahaan itu telah membuat komitmen jelas untuk sertifikasi FSC. Korindo juga setuju bekerja sama dengan FSC untuk meningkatkan kinerja lingkungan dan sosial mereka untuk menyediakan solusi dari sejumlah dampak yang timbul dari kegiatan mereka di hutan.

Lebih jauh FSC menyatakan keyakinannya bahwa cara paling efektif untuk memastikan Korindo agar cepat memperbaiki lingkungan adalah dengan melakukan sejumlah perubahan efektif dalam mengoperasikan hutan sesuai FSC. Oleh karena itu, Dewan Direksi Internasional FSC memutuskan untk mempertahankan hubungan dengan Korindo. 

Direktur Jenderal FSC International, Kim Carstensen menyatakan pihaknya yakin dis-asosasi bukan jalan keluar ideal. "(FSC tidak memutuskan hubungan dengan Korindo) dengan memastikan Korindo berkomitmen terhadap serangkaian persyaratan, untuk memperbaiki kondisi di masa lalu dan mengevaluasinya agar tak ada lagi kejadian berulang di masa mendatang," kata Kim.

Dengan keputusan ini Korindo diwajibkan melanjutkan penangguhan konversi hutan dan deforestasi. Mereka juga wajib mendapatkan sertifikasi FSC untuk seluruh kegiatan kehutanannya dan memenuhi prinsip FPIC dalam berhubungan dengan masyarakat adat. Korindo juga wajib mengantisipasi dampak negatif dari pembukaan perkebunan sawit di lahan hutan dan memastikan pemulihannya. 

FSC akan memantau kemajuan Korindo dalam menjalankan keputusan FSC tersebut. Jika ke depan, perusahaan itu gagal memenuhi kewajibannya, hal tersebut akan jadi dasar FSC memutuskan hubungannya dengan Korindo. 

Sementara itu, Direktur Kampanye Mighty Earth, Deborah Lapidus, mendesak FSC tak hanya mengumumkan putusan, tapi juga membuka secara lengkap hasil investigasi. Dia menilai pernyataan FSC tidak menyoroti seberapa parah pelanggaran yang dilakukan Korindo, termasuk dalam pembakaran hutan. “Penting bagi masyarakat dan pemangku kepentingan yang terkena dampak untuk membaca sendiri hasil temuan tersebut, sebelum Korindo mampu memutarbalikkan fakta,” kata Deborah.

Adapun Public Relations Manager Korindo Group, Yulian Mohammad Riza, memastikan perusahaannya akan melanjutkan moratorium yang diberlakukan sejak 21 Februari 2017. Pemberlakuan moratorium ini meliputi penundaan konversi area hutan hingga penilaian terhadap seluruh nilai konservasi tinggi (HCV) dan stok karbon tinggi (HCS) selesai dilakukan. 

Korindo Group, kata Yulian, senantiasa memiliki iktikad baik untuk berkolaborasi dan bekerja sama secara konstruktif, tidak hanya bersama FSC. "Namun juga dengan semua pemangku kepentingan, dalam mengimplementasikan tindakan-tindakan yang tepat,” ujarnya.

VINDRY FLORENTIN | RR ARIYANI

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus