WALAUPUN rambutnya sudah sedikit beruban, dia kelihatan lebih
muda daripada usianya - 57 tahun. Gerak dan bicaranya lincah.
Itulah Ny. Soedarmilah Soeparto, yang secara teratur minum Jamu.
Bu Darmi -- begitu panggilannya juga terkenal menjual jamu.
Demikian sukses dia sampai berceramah di sanasini termasuk di
layar TV-RI. Namanya telah ditetapkan sebagai salah satu dari
kesepuluh pengusaha teladan 1977 (TEMPO, 16 Juli) oleh Bang Ali
selagi masih menjadi Pj. Gubernur DKl. Minggu depan dia malah
akan diutus oleh Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) untuk
menghadiri pameran di Wina. Di ibukota Austria itu, jamu dan
produk Indonesia lainnya akan dipromosikan. Tahun lalu BPEN juga
mengutus Ny. Soeparto ke Jerman untuk menghadiri pameran
obat-obat tradisionil.
Sekarang kurs dirinya menanjak dan profesi sebagai penjual jamu
sudah dirasakannya cukup keren. Tapi ketika memulai tahun 1966,
demikian ceritanya kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO "kami
betul-betul dalam kesulitan. Bapak baru saja tabrakan uang baru
dipotong." Bapak itu adalah suaminya, Brigjen Pol Soeparto, 60,
bekas Pangdak IX Jawa Timur dan terakhir menjabat Komandan
Komando Pendidikan AKRI menjclang pensiun.
Pindah dari Surabaya ke Jakarta pada 1966, keluarga Soeparto
mengkontrak umah di daerah Grogol. Suatu hari anaknya yang
nomor dua (terkecil) meminta satu rupiah (uang baru) untuk
membeli beras kencur. "Coba kalau mama bisa bikin, saya 'kan
'nggak perlu beli," kata si anak yang membuat mama mulai
berpikir. Kebetulan seorang tetangga, karyawan Toserba Sarinah,
bercerita tentang kios jamu di Sarinah itu yang kurang laku dan
menawarkan apakah Ny. Soeparto berminat memperbaikinya.
Kalau Bapak Tahu
Maka dengan modal Rp 200 (uang baru) keluarga itu menggiling
beras kencur dan memperkenalkan "Jamu Jawa Asli Darmi" di
Sarinah. Tak sedikit isteri perwira tinggi Polisi merasa kikuk
melihat rekan berdagang jamu. apalagi kalau dihubungkan dengan
korps. Satu hari datang pula saudaranya ke tempat dia berjualan.
"Mi," kata saudara itu, "kalau bapak tahu kau seperti ini tentu
dia akan marah "
Bapak yang dimaksudnya itu (sudah meninggal dunia) adalah Raden
Soediman Hadiatmodjo yang menjadi bupati Tuban di zaman Jepang
dan bupati Pasuruan setelah 1945. 'Saya pikir," sambut Ny.
Soeparto, "bapak akan lebih marah kalau saya hidup mewah dari
penghasilan yang tak sah". Maka dia, walaupun anak raden dan
Isteri perwira tinggi, merasa tak canggung berjualan.
Sekarang selain di Sarinah, dia juga membuka kios jamu di Blok M
Kebayoran Baru. Bahan jamu diolah di rumahnya di Pancoran. Usaha
ini masih tergolong industri rumah, tentunya. Para langganannya
boleh disebut golongan menengah ke atas, termasuk orang asing.
Keluarga duta besar yang jauh di luar negeri juga memesan jamu
Darmi. Jika mau, Ny. Soeparto mungkin akan bisa mengembangkan
bisnis sampai ke pembukaan pabrik. Tapi dia tidak berambisi ke
arah itu. Kepuasannya lebih tertuju pada segi mempopulerkan
janu, terbukti dari kegiatannya berceramah dan memberi
konsultasi. Dengan latarbelakang pendidikan formilnya - tingkat
III di Sekolah Tinggi Kedokteran NIAS dulu di Surabaya -- dia
nampak berwibawa membicarakan soal jamu itu.
Dalam bisnis dia sebenarnya bergantung pada ketrampilan suami,
terutama sesudah pensiun. "Suami saya rupanya punya bakat
terpendam," katanya. Maksudnya, sang suami pandai memegang uang.
"Sampai-sampai untuk beli baju saja sulit," kata isteri lagi.
Sebenarnya, menurut Ny. Soeparto, yang pantas menerima piagarn
pengusaha teladan adalah "suami saya". Tapi Pak Parto yang
rupanya di belakang la yar mengelola perusanaan juga bukanlah
pengusaha yang bercita-cita membuka pabrik. "Kami tak mau
repot," kata Soeparto. "Baik begini saja."
Walaupun "begini saja", penjualan merka sudah terbilang puluhan
juta rupiah. Produksi mereka yang dulunya dimulai dengan kencur
kini meningkat ke 20 macam jamu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini