Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pada mulanya: beras kencur

Ny sudarmilah suparto, 57, penjual jamu yang pernah menjadi pengusaha teladan 1977, akan menghadiri pameran di wina. kisah perjalanan hidupnya sebagai penjual jamu.

6 Agustus 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WALAUPUN rambutnya sudah sedikit beruban, dia kelihatan lebih muda daripada usianya - 57 tahun. Gerak dan bicaranya lincah. Itulah Ny. Soedarmilah Soeparto, yang secara teratur minum Jamu. Bu Darmi -- begitu panggilannya juga terkenal menjual jamu. Demikian sukses dia sampai berceramah di sanasini termasuk di layar TV-RI. Namanya telah ditetapkan sebagai salah satu dari kesepuluh pengusaha teladan 1977 (TEMPO, 16 Juli) oleh Bang Ali selagi masih menjadi Pj. Gubernur DKl. Minggu depan dia malah akan diutus oleh Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) untuk menghadiri pameran di Wina. Di ibukota Austria itu, jamu dan produk Indonesia lainnya akan dipromosikan. Tahun lalu BPEN juga mengutus Ny. Soeparto ke Jerman untuk menghadiri pameran obat-obat tradisionil. Sekarang kurs dirinya menanjak dan profesi sebagai penjual jamu sudah dirasakannya cukup keren. Tapi ketika memulai tahun 1966, demikian ceritanya kepada Zulkifly Lubis dari TEMPO "kami betul-betul dalam kesulitan. Bapak baru saja tabrakan uang baru dipotong." Bapak itu adalah suaminya, Brigjen Pol Soeparto, 60, bekas Pangdak IX Jawa Timur dan terakhir menjabat Komandan Komando Pendidikan AKRI menjclang pensiun. Pindah dari Surabaya ke Jakarta pada 1966, keluarga Soeparto mengkontrak umah di daerah Grogol. Suatu hari anaknya yang nomor dua (terkecil) meminta satu rupiah (uang baru) untuk membeli beras kencur. "Coba kalau mama bisa bikin, saya 'kan 'nggak perlu beli," kata si anak yang membuat mama mulai berpikir. Kebetulan seorang tetangga, karyawan Toserba Sarinah, bercerita tentang kios jamu di Sarinah itu yang kurang laku dan menawarkan apakah Ny. Soeparto berminat memperbaikinya. Kalau Bapak Tahu Maka dengan modal Rp 200 (uang baru) keluarga itu menggiling beras kencur dan memperkenalkan "Jamu Jawa Asli Darmi" di Sarinah. Tak sedikit isteri perwira tinggi Polisi merasa kikuk melihat rekan berdagang jamu. apalagi kalau dihubungkan dengan korps. Satu hari datang pula saudaranya ke tempat dia berjualan. "Mi," kata saudara itu, "kalau bapak tahu kau seperti ini tentu dia akan marah " Bapak yang dimaksudnya itu (sudah meninggal dunia) adalah Raden Soediman Hadiatmodjo yang menjadi bupati Tuban di zaman Jepang dan bupati Pasuruan setelah 1945. 'Saya pikir," sambut Ny. Soeparto, "bapak akan lebih marah kalau saya hidup mewah dari penghasilan yang tak sah". Maka dia, walaupun anak raden dan Isteri perwira tinggi, merasa tak canggung berjualan. Sekarang selain di Sarinah, dia juga membuka kios jamu di Blok M Kebayoran Baru. Bahan jamu diolah di rumahnya di Pancoran. Usaha ini masih tergolong industri rumah, tentunya. Para langganannya boleh disebut golongan menengah ke atas, termasuk orang asing. Keluarga duta besar yang jauh di luar negeri juga memesan jamu Darmi. Jika mau, Ny. Soeparto mungkin akan bisa mengembangkan bisnis sampai ke pembukaan pabrik. Tapi dia tidak berambisi ke arah itu. Kepuasannya lebih tertuju pada segi mempopulerkan janu, terbukti dari kegiatannya berceramah dan memberi konsultasi. Dengan latarbelakang pendidikan formilnya - tingkat III di Sekolah Tinggi Kedokteran NIAS dulu di Surabaya -- dia nampak berwibawa membicarakan soal jamu itu. Dalam bisnis dia sebenarnya bergantung pada ketrampilan suami, terutama sesudah pensiun. "Suami saya rupanya punya bakat terpendam," katanya. Maksudnya, sang suami pandai memegang uang. "Sampai-sampai untuk beli baju saja sulit," kata isteri lagi. Sebenarnya, menurut Ny. Soeparto, yang pantas menerima piagarn pengusaha teladan adalah "suami saya". Tapi Pak Parto yang rupanya di belakang la yar mengelola perusanaan juga bukanlah pengusaha yang bercita-cita membuka pabrik. "Kami tak mau repot," kata Soeparto. "Baik begini saja." Walaupun "begini saja", penjualan merka sudah terbilang puluhan juta rupiah. Produksi mereka yang dulunya dimulai dengan kencur kini meningkat ke 20 macam jamu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus