Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI PT Aryaputra Teguharta, perburuan saham PT BFI Finance Tbk bagai mempertaruhkan hidup dan mati. Itu sebabnya, pemegang saham lama ini selalu mempersoalkan rencana penjualan saham BFI Finance. Yang terbaru: mereka menggugat rencana bank komersial asal Italia, Mediobanca, mengambil alih kepemilikan saham Trinugraha Capital & Co SCA di BFI Finance.
Akibatnya, akuisisi sebesar 19,9 persen yang semula dijadwalkan rampung pada akhir 2018 itu meleset dari yang ditetapkan. “Kami menyurati Mediobanca bahwa ada kesalahan. Aryaputra Teguharta adalah pemegang saham yang sah,” kata kuasa hukum Aryaputra Teguharta, Asido Panjaitan, Kamis, 23 Mei lalu.
Aryaputra Teguharta alias APT adalah pemegang saham lama BFI Finance—dulu bernama PT Bunas Finance Indonesia, perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan sewa beli (leasing) kendaraan roda empat dan alat berat. Pemilik lama BFI lainnya adalah Bermuda Trust, Indosuez Singapore, PT Bank Umum Nasional, dan PT Ongko Multicorpora. Sama seperti APT, dua perusahaan terakhir terafiliasi dengan Kaharuddin Ongko, konglomerat era Orde Baru.
Konflik berawal dari krisis moneter yang menerjang Indonesia dan sejumlah negara Asia lain pada 1997-1998. Seperti banyak perusahaan lain, BFI dihantam gelombang krisis. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang nyungsep, dari semula sekitar 2.000 per dolar tiba-tiba menembus 10.000, membuat perusahaan yang rentan terhadap kurs kalang-kabut. Tak sedikit yang terpaksa gulung tikar.
Saat itu, BFI memiliki utang sebesar US$ 300 juta kepada kreditor asing. Merasa tak mampu mengembalikan pinjaman yang mendadak menggelembung—karena kurs melonjak lima kali lipat—BFI menghadap kreditor. Perusahaan menyatakan ketidaksanggupan membayar utang dan meminta restrukturisasi.
Di sisi lain, BFI mempunyai piutang kepada 29 perusahaan di bawah bendera Ongko Group. Total tagihannya bernilai US$ 100 juta. Kelompok usaha ini pun menyatakan tak mampu membayar utang kepada BFI.
Dalam laporan majalah Tempo saat itu, kreditor meminta kepemilikan keluarga Ongko dikeluarkan dari pemegang saham BFI. Manajemen BFI bertemu dengan Ongko dan terjadi kesepakatan secara lisan, dengan syarat utang Grup Ongko dihapuskan. Direksi BFI juga mempertemukan Ongko dengan para kreditor, yang diwakili The Royal Bank of Scotland. Di situ lahirlah perjanjian gadai saham. Aryaputra Teguharta, sebagai pemegang 111 juta saham, dan PT Ongko Multicorpora, pemilik 98 juta saham, menjaminkan sahamnya pada 1 Juni 1999. Perjanjian gadai saham ke BFI ini berlaku selama 12 bulan.
Namun, pada 22 Februari 2000, perjanjian gadai saham diperpanjang enam bulan, sehingga berakhir pada 1 Desember 2000. Sebelum jatuh tempo, APT memberi persetujuan pengalihan saham kepada BFI. Saat perpanjangan itulah terjadi pengalihan hak pembelian 41 juta lebih lembar saham.
Pengalihan hak tersebut menuai gugatan. Menurut Aryaputra, tidak ada lagi ikatan jaminan utang dengan BFI pada 7 Desember 2000. Karena itu, pengalihan hak pembelian saham kepada BFI dinilai tidak sah dan melawan hukum. Aryaputra juga menuduh proses tersebut tanpa persetujuan dan setahu mereka.
Head Corporate Secretariat BFI Finance Budi Darwan Munthe menjelaskan, proses itu telah melalui tahap mendapat kepastian bahwa saham bisa dipindahkan kepada pihak ketiga melalui The Law Debenture Trust Corporation Plc. Hal itu sesuai dengan perjanjian perdamaian tertanggal 7 Desember 2000 di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, 19 Desember 2000.
Bahkan, berdasarkan catatan BFI, rapat umum pemegang saham Aryaputra pada 1999 memberikan persetujuan kepada BFI untuk menjual saham Aryaputra kepada pihak ketiga. “Semua ada dokumennya,” ujar Budi di kantornya di Tangerang Selatan, Senin, 27 Mei lalu. “Yang pasti, hakim pun melihat dan memutuskan bahwa pengalihan saham kepada kreditor itu bisa. Itu yang paling penting.”
•••
GUGATAN perdata yang dilayangkan Aryaputra Teguharta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada akhir Maret 2003 baru diputus pada 14 April 2004. Majelis hakim yang dipimpin Silvester Djuma menyatakan BFI Finance melakukan perbuatan melawan hukum karena telah mengalihkan saham milik Aryaputra di perusahaan tersebut kepada pihak lain.
Pengadilan memerintahkan BFI mengembalikan semua saham yang dijaminkan Aryaputra sebanyak 111.804.732 lembar. Selain itu, BFI wajib membayar ganti rugi atas dividen yang seharusnya diperoleh Aryaputra selama tahun buku 2001 dan 2002 senilai Rp 149,9 miliar sampai ada putusan tetap.
Dalam pertimbangan hukumnya, hakim menilai penjualan saham berdasarkan akta gadai saham yang ditandatangani kedua belah pihak tidak dapat dijadikan dasar bagi pengalihan saham milik Aryaputra. “Persetujuan untuk mengalihkan atau menjual saham yang pernah diberikan penggugat kepada tergugat ketika berakhir pada 1 Desember 2000 tak boleh dialihkan tanpa persetujuan pemilik saham walaupun utang-utang yang dijamin belum lunas,” demikian menurut hakim saat membacakan putusan.
Peresmian kantor cabang BFI Finance wilayah Tangerang di Karawaci, Tangerang, Banten, Agustus 2018.
Putusan pengadilan itu ditindaklanjuti dengan penyitaan dan pembekuan saham milik Aryaputra yang berada di tempat penyimpanan (kustodian). Masalahnya, saham telah berpindah tangan kepada kreditor asing. Para kreditor asing pun memprotes sahamnya yang disita tak bisa dialihkan dan tak bisa diperdagangkan.
Akhirnya BFI dan beberapa tergugat lain mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Tapi Aryaputra telah menyita 400 juta lembar saham BFI. Padahal saham yang dipersengketakan hanya 111 juta lembar.
Belum beres urusan dengan Aryaputra, masalah baru muncul. PT Ongko Multicorpora pun ikut-ikutan menggugat pengalihan saham miliknya. Dalam putusan sela, 2 Juni 2004, majelis hakim menerima permohonan penggugat. BFI tak boleh mengadakan rapat umum pemegang saham. Hakim juga meminta Badan Pengawas Pasar Modal membekukan pencatatan saham BFI di bursa—saat itu Bursa Efek Jakarta.
Sejak itu, gugatan demi gugatan datang silih berganti. Pada Februari 2007, terbit putusan Mahkamah Agung dalam peninjauan kembali kasus sengketa saham bernomor 240/PK/Pdt/2006 atas gadai saham sebanyak 111.804.732 lembar. Aryaputra diputus sebagai pemilik saham-saham tersebut.
Menindaklanjuti putusan itu, Aryaputra mengajukan permohonan sita eksekusi oleh juru sita Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Oktober 2007. Namun, berdasarkan berita acara pendapat sita eksekusi, tidak ada saham Aryaputra di BFI. Walhasil, pengadilan menyatakan eksekusi tidak dapat dilaksanakan alias non-executable. Saham-saham Aryaputra telah beralih tangan sesuai dengan perjanjian jual-beli saham pada 9 Februari 2001. Perjanjian itu dinyatakan sah dalam putusan PK 240.
Aryaputra beberapa kali mengajukan permohonan pembatalan atau pencabutan penetapan status “eksekusi tidak dapat dilaksanakan”. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berkali-kali pula menolaknya.
Pengadilan sempat mencabut status tersebut pada 23 September 2014. Sejak itu, dimulai kembali proses pemanggilan serta permintaan keterangan dan klarifikasi kepada sejumlah pihak, seperti PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI). Di dalam administrasi perusahaan, KSEI menyatakan tidak terdapat pencatatan penitipan saham-saham Aryaputra. Karena itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali menerbitkan surat pada 24 Juni 2015 yang menyatakan eksekusi terhadap putusan PK 240 belum dapat dilaksanakan.
Pada 26 Januari 2018, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kembali mengeluarkan penetapan bahwa obyek eksekusi berupa saham Aryaputra telah dijual dan tidak berada dalam penguasaan para tergugat. Penetapan itu berlaku hingga sekarang.
RETNO SULISTYOWATI, KHAIRUL ANAM
Berebut Saham Perusahaan Pembiayaan
RENCANA Garibaldi “Boy” Thohir menjual saham perusahaan pembiayaan BFI Finance menguak sengketa lama. PT Aryaputra Teguharta, pemegang saham lama, masih merasa berhak atas kepemilikan saham di BFI. Perusahaan pembiayaan yang berdiri pada Agustus 1982 ini memiliki 228 kantor cabang, 173 gerai, dan 22 kantor cabang syariah yang tersebar di Tanah Air.
Penguasa Saham BFI
1999
BFI Finance dan Kaharuddin Ongko menandatangani perjanjian gadai saham. Dalam perjanjian, Aryaputra Teguharta sebagai penjamin Ongko.
27 Januari 2000
Rapat umum pemegang saham luar biasa BFI menyetujui restrukturisasi dan pengalihan saham Aryaputra (milik Ongko) kepada kreditor.
9 Februari 2001
BFI menjual saham milik Aryaputra dan Ongko kepada The Law Debenture Trust Corporation (LDC). Penjualan tanpa persetujuan Aryaputra.
26 Maret 2003
Aryaputra mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mempersoalkan pengalihan 111 juta lembar saham kepada kreditor.
14 April 2004
Pengadilan memerintahkan BFI mengembalikan semua saham yang dijaminkan Aryaputra sebanyak 111 juta lembar.
2006-2007
Mahkamah Agung menyatakan peralihan saham ke LDC melanggar hukum. BFI wajib mengembalikan 111 juta lembar kepada Aryaputra.
2007-2014
Juru sita tak bisa menyita saham lantaran saham tersebut telah dijual ke publik.
2011
PT Trinugraha Capital & Co SCA, yang digawangi Garibaldi “Boy” Thohir, mulai menguasai 44,95 persen saham BFI.
11-30 Mei 2018
Aryaputra mengajukan somasi kepada BFI dan direksinya.
18 Mei 2018
Aryaputra mengajukan laporan pidana ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI dengan dugaan penggelapan atau pencucian uang. Terlapornya: Francis Lay Sioe Hoe, Cornelius Henry Kho, dan Yan Peter Wangkar.
Agustus 2018
Trinugraha Capital & Co SCA menandatangani perjanjian jual-beli 19,9 persen saham dengan Compass Banca SpA. Trinugraha juga menjual 11 persen saham di BFI kepada Star Finance SRL.
1 Oktober 2018
Aryaputra menggugat Trinugraha karena dugaan transaksi ilegal dan pembeli beriktikad buruk.
PUTRI ADITYOWATI SUMBER: BFI DAN BERBAGAI SUMBER
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo